Aku adalah
gadis kecilmu yang dulu sering kau taruh di pundakmu.
Aku adalah gadis
kecilmu yang dulu tiap kali menangis, maka kau akan berkata, “Jangan nangis, gak ada orang
yang jual air mata. Nanti kalau air matanya habis gimana?”
Aku adalah
gadis kecilmu yang dulu merengek minta sepeda padahal sama sekali tidak bisa
naik sepeda. Namun pada akhirnya kau tetap membelikanku sepeda dengan tambahan
dua roda kecil di belakang. Sepeda yang kemudian kutuntun sepanjang perjalanan
pulang.
Aku adalah
gadis kecilmu yang dulu minta dibelikan meja belajar. Tapi untuk
mendapatkannya, kau memberiku syarat, harus masuk tiga besar dalam peringkat.
Kau mengajarkanku bahwa untuk mendapatkan sesuatu, aku harus berjuang terlebih
dahulu.
Aku adalah
gadis kecilmu yang dulu tidak pernah kau antar jemput ke sekolah. Kau bilang
aku harus mandiri. Kau mengajarku untuk bisa melakukan apapun sendiri, kau
mengajarku agar menjadi gadis kecil pemberani.
Ayah, gadis
kecilmu itu kini telah dewasa, dan menjadi seorang gadis seutuhnya. Walaupun
kadang kau lupa, hingga tetap memperlakukanku sebagai gadis kecilmu yang harus
selalu kau awasi, jaga, dan tidak boleh lepas dari pandangan mata.
Banyak orang
yang bilang kalau aku adalah anak kesayangan. Apa yang aku minta, tidak mungkin
kau bisa menolaknya. Aku hanya tertawa mendengarnya. Mereka tidak tau saja,
bahwa kau mengajarkanku untuk berpikir seribu kali setiap akan meminta sesuatu.
Mereka hanya
tidak tau bahwa apapun yang kau berikan padaku, itu artinya aku sudah
memintanya sejak dulu. Kau mengajarkan bahwa di dunia ini tidak ada yang
instan.
Ayah, kau
tau betul bahwa aku tidak pernah bisa menolak permintaanmu. Apalagi membantah
ucapanmu. Aku tidak berani bukannya karena kau kutakuti, namun lebih pada alasan
bahwa kau adalah sosok yang sangat kuhormati dan sayangi.
Aku selalu
bersyukur pada Tuhan karena aku memiliki Ayah sepertimu. Kau tidak sempat
mengecap bangku sekolah, namun kau pintar karena gemar membaca dan tidak pernah
malu untuk bertanya. Kau tidak berasal dari keluarga kaya, tapi kau bisa
menghidupi keluarga kecilmu ini dengan sempurna. Kau berusaha sekuat tenaga
untuk mencukupi semua kebutuhan ketika keadaan ekonomimu pas-pasan.
Tentu saja
aku mengingat cerita ketika dulu kau tidak jadi membelikan Abang Nitendo harga
seratus ribu karena kau tidak punya cukup uang dan penjualnya pun tidak mau
ditawar. Aku juga masih ingat bagaimana dengan polosnya aku pernah bertanya
pada mama, “Ma, papa dulu kan gak punya uang. Tapi kenapa adek bisa makan bubur
cerelac? Itu kan mahal ya Ma?”
Sudah tak
terhitung banyaknya ajaranmu yang sampai saat ini kuterapkan. Ada banyak didikan
yang telah kau tanamkan. Sungguh, aku bangga menjadi putrimu, dan selamanya
rasa bangga itu akan selalu ada.
Kini ketika
rambutmu mulai beruban, ketika kantung di bawah matamu semakin dalam, ketika
pundak dan bahumu tak lagi sekuat dan setegap dulu, bahkan ketika air matamu menjadi
mudah sekali luruh, aku menyadari bahwa waktu telah begitu banyak mengubahmu
dan aku tidak suka itu.
Ayah,
kesehatanmu adalah yang terpenting bagiku. Jangan pikirkan aku, apalagi
kuliahku. Sekarang kau harus berjuang agar kekuatan dan semangatmu kembali lagi.
Kau mau melakukannya, kan? Berjanjilah padaku untuk tidak pernah menyerah. Ini
permintaanku yang harus kau kabulkan tanpa syarat.
Tertanda,
Aku yang
menyebut namamu dalam setiap doa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D