31 Des 2015

Masa Kritis...

5 Desember 2015

Hari pertama Papa di ruang ICU.

Di lorong ruang tunggu ICU, ada sebuah telepon yang terletak di sudut dinding. Telepon itu adalah telepon yang digunakan dokter dan perawat di dalam ruang ICU untuk memanggil keluarga pasien yang sedang menunggu di luar.

Aku dan Mama tidur tidak jauh dari telepon itu. Setiap kali telepon berbunyi, darah kami berdesir. Menduga-duga bagaimana keadaan Papa di dalam sana.

Sepertinya hanya pagi itu, ketika aku dan Mama masih tidur, telepon berdering tepat pukul tujuh. Aku langsung terbangun, dalam keadaan kaget bercampur cemas, berlari mengangkat telepon.

“Hallo,” sahutku.

“Hallo, bisa bicara dengan keluarga Pak Hermon?” suara wanita dari seberang telepon.

Deg. Mendadak jantungku tak karuan iramanya.

25 Des 2015

The Day of CABG

4 Desember 2015

Aku hanya tidur 2 jam. Aku tertidur jam 12 dan bangun jam 2 dini hari dan tidak bisa tidur lagi sampai subuh. Dengan penampakan seperti zombie karena kebanyakan nangis dan kurang tidur, jam setengah 5 pagi aku sudah berada di rumah sakit.

Saat aku masuk kamar, ternyata Papa sedang mandi. Setelah Papa berganti pakaian dan sholat subuh, seorang dokter masuk ke kamar Papa. Beliau adalah dokter anastesi jantung, dokter yang akan membius Papa ketika operasi nanti. Namanya Dr. Muslim.

Dr. Muslim sedikit memberi gambaran kepada Papa tentang apa yang akan dilakukannya sebagai dokter bius. Tubuh Papa nanti akan dipasang banyak sekali selang. Selang dari mulut ke paru-paru untuk pernapasan, selang ke dalam perut untuk membuang sisa darah pasca operasi, selang yang bisa mengukur tekanan darah, kadar gula, detak jantung, dan masih banyak lagi.

“Jadi, nanti kalau Bapak sadar, satu hal yang harus Bapak lakukan adalah bernapas. Itu satu-satunya tugas Bapak. Kalau Bapak melihat dan merasa banyak selang di leher, tangan, perut, jangan hiraukan itu semua. Ibaratnya kalau Bapak lagi tidur terus ada anak kecil yang gangguin Bapak, jangan dipedulikan. Nanti alat-alat itu akan satu-persatu kita cabut kalau keadaan Bapak berangsur membaik,” kata Dr. Muslim.

24 Des 2015

H-2 Operasi CABG

2 Desember 2015

Kami ke RS pada pukul 9 pagi. Setelah selesai mengurus administrasi, Papa diantar ke kamar perawatan. FYI, Papa masuk kamar rawat dalam keadaan (seperti orang) sehat. Papa berjalan seperti biasa, tidak duduk di kursi roda. Lalu sesampainya di kamar, Papa diminta untuk ganti baju dengan seragam pasien. Gelang pasien juga sudah melingkar dipergelangan tangannya.

Melihat semua pemandangan itu lagi-lagi perasaan gentar muncul. Sebab sebelumnya Papa tidak pernah dirawat di RS dan aku tidak pernah melihat Papa memakai baju pasien.

Hari pertama dirawat di RS, Papa melakukan serangkaian medical check up. Beberapa kali perawat datang untuk mengambil sample darah Papa, melakukan rontgen dada, rekam jantung, mengukur tensi, dan fisioterapi. Malam itu hanya Mama yang menemani Papa di RS, sedangkan aku pulang kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang dan memindahkannya ke kos-kosan di belakang RS yang sudah aku sewa  untuk seminggu.

3 Desember 2015

Aku sudah di RS sejak jam 9 pagi dan sudah selesai memindahkan barang-barang. Setibanya di kamar, Mama bercerita kalau semalam Papa mendapat transfusi darah satu kantong, karena HB darah Papa rendah, tidak memenuhi syarat operasi.

Kemudian aku duduk di samping tempat tidur Papa, berbicara banyak hal tentang transfusi darah. Saat itu Papa menasihatiku agar suatu hari mau melakukan donor. Aku memang tidak pernah donor darah karena takut jarum suntik. Alasan klasik.

Road to CABG (part 3)

Setelah jadwal operasi resmi ditunda menjadi tanggal 29 Oktober 2015, kami pun pulang. Tinggal di Jakarta dalam waktu sebulan tidak memungkinkan, mengingat biaya hidup yang harus dikeluarkan bisa membuat sakit kepala.

Dalam rentang waktu menunggu itu, muncul keraguan Papa. Alasannya adalah untuk beberapa hari kondisi tubuhnya fit dan tidak merasa sakit apa-apa.

“Udah 3 hari ini gak terasa sakit. Apa pantas Papa dioperasi?” kata Papa.

“Pa, kalau gak sakit hari ini, apa ada jaminan bakal gak sakit selama-lamanya? Udah jelas penyumbatan pembuluh darahnya 100%, kok masih nanya pantas apa nggaknya dioperasi,” aku mulai gemas.

Dan biasanya, hanya beberapa jam setelah mempertanyakan apakah ia pantas dioperasi atau tidak, sakitnya kambuh lagi.

Perbincangan seperti di atas tidak hanya terjadi sekali dua kali. Terkadang, kalau kesabaranku sudah habis, karena Papa bersikeras mengatakan bahwa kondisinya belum terlalu parah sehingga tidak pantas untuk dioperasi, maka aku akan bilang.

22 Des 2015

Road to CABG (part 2)

Operasi. Keputusan yang telah diambil Papa dan mendapat dukungan penuh dariku, mama, juga abang. Walaupun jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam kami tidak menginginkan itu. Tapi terkadang hidup memang menawarkan sebuah jalan keluar yang tidak mudah untuk dilalui.

Okay, step selanjutnya adalah menemui dokter bedah jantung. Papa mempercayakannya pada Dr. Tarmizi Hakim SP.BTKV. Siapa itu Dr. Tarmizi (sepertinya aku akan membuat satu chapter khusus tentang Dr. Tarmizi karena banyak hal yang ingin aku ceritakan tentang beliau)? Singkat cerita, Dr. Tarmizi adalah dokter yang sudah pernah menangani beberapa orang saudara Papa yang juga melakukan operasi jantung dan operasi tersebut berjalan sukses. Jadi, Papa ingin dipegang oleh dokter yang sama, berharap akan memperoleh hasil yang sama pula.

Kesan yang kutangkap ketika pertama kali bertemu Dr. Tarmizi adalah optimismenya tentang keberhasilan operasi yang akan dijalani Papa.

“Untuk operasi By Pass, ada empat syarat yang harus dipenuhi pasien. Pertama, usia di bawah 70 tahun. Bapak masih 56 tahun, jadi masih masuk kategori aman untuk operasi. Lain cerita kalau sudah 70 tahun ke atas, itu umur yang lebih beresiko. Kedua, fungsi pompa jantung itu minimal 30-40%. Dari hasil echo, fungsi pompa jantung Bapak juga masih bagus, ada 70%. Ketiga, kondisi ginjal. Hasil lab pun menunjukkan kalau ginjal Bapak tidak ada masalah. Yang terakhir, Bapak tidak ada riwayat stroke. Pasien yang pernah stroke itu resikonya lebih tinggi untuk melakukan operasi,” jelas Dr. Tarmizi panjang lebar.

17 Des 2015

Road to CABG (part 1)

Dulu aku pernah berjanji pada Papa untuk menuliskan ceritanya di sini. "Kalau Papa udah selesai operasi, nanti tulisin di blog ya dek," begitu ucapnya. Dan kini aku ingin memenuhi janji itu. Tulisan ini akan sedikit panjang, aku akan berusaha bercerita sedetail mungkin, dengan harapan bahwa tulisan ini nantinya mampu memberi gambaran mengenai operasi jantung by pass.

So, here we go.

Papa divonis menderita jantung koroner di tahun 2013. Tepatnya saat bulan puasa, Papa pernah mendapat serangan jantung sebanyak 3x dan menyebabkan Papa dilarikan ke UGD. Kemudian, sekitar akhir tahun 2013, ketika Papa sedang di Jakarta, Papa kembali memdapat serangan dan langsung di bawa ke rumah sakit jantung Harapan Kita. Setelah melakukan serangkaian test seperti treadmill, EKG, echo, dsb, maka dokter pun akhirnya memastikan bahwa pembuluh darah jantung Papa mengalami penyumbatan. Dokter menyarankan Papa untuk segera melakukan kateterisasi jantung untuk melihat berapa banyak penyumbatan yang ada di jantung Papa.

14 Des 2015

Matikan Rokok Sekarang Juga!

Sebelumnya, aku tidak pernah punya masalah dengan para perokok. Sejak dulu aku sudah dikelilingi oleh para perokok. Mulai dari Papa, Abang, hingga teman-teman. Aku tidak pernah protes tentang asap yang (terpaksa) kuhirup. Aku tidak pernah (merasa) terganggu dengan bau asap rokok yang menyengat. Aku tidak pernah komplen dengan baju dan kerudungku yang bau rokok setiap kali bertemu mereka.

Tapi setelah aku lulus kuliah dan tidak lagi bertemu dengan teman-teman perokok, juga setelah Papa berhenti merokok 2 bulan lalu, secara otomatis aku pun berubah menjadi sangat sensitif terhadap bau rokok. Sekarang hidungku tidak lagi bisa menghirupnya dan menganggap bahwa baunya biasa saja. Aku tidak bisa lagi dekat-dekat dengan para perokok karena baunya benar-benar menggangguku. Bahkan sekarang ketika melihat laki-laki merokok, walaupun dia adalah Lee Min Ho wannabe, maka besar kemungkinan dia akan kucoret dari daftar calon pasangan yang potensial.

Tapi, lebih dari semua alasan itu, alasan paling utama yang membuatku tidak lagi bisa kompromi terhadap perokok adalah karena melihat Papa sakit.

Aku adalah saksi mata dari perjuangan Papa melawan penyakit jantung koronernya. Aku mengingat dengan baik bagaimana Papa melewati hari-harinya 2 tahun belakangan ini, sejak divonis menderita jantung oleh dokter. Bagaimana Papa harus menahan rasa sakitnya. Bagaimana Papa harus tergantung dengan obat-obatan yang menjadi pertolongan pertama setiap jantungnya mendapat serangan. Bagaimana Papa menjalani pengobatan tradisional ke Serpong, Tanjung Alam, Banyuwangi, Kepanjen, Pandaan, yang dijalani hingga berbulan-bulan. Bagaimana pada akhirnya Papa harus menyerah dengan pengobatan tradisional itu dan kemudian memutuskan untuk dilakukannya tindakan medis. Bagaimana menyiapkan mentalnya di hari-hari menjelang operasi. Bahkan hingga saat ini, bagaimana Papa harus bersabar melewati masa pemulihan pasca operasi.

12 Des 2015

Berbagi Cerita Manusia

Dari sekian banyak hal yang kubenci, ternyata ada satu hal yang membuatku menyukai rumah sakit. Ya, di sini, aku bertemu dengan banyak orang yang punya banyak cerita.
Seperti mbak Lala yang pernah kuceritakan di postingan sebelum ini.

Seperti mbak-mbak berkerudung panjang yang kutemui di ruang tunggu ICU. Yang bercerita tentang paru-paru ibunya yang terendam air. Yang mengatakan kalau usianya sudah 39 tahun walaupun aku bersikukuh bahwa ia masih terlihat sangat muda dan aku mengira usianya masih 28-an.  Yang menceritakan pengalamannya dan menasihatiku untuk mulai memikirkan masalah jodoh dari sekarang. Yang mengatakan bahwa ia sangat bersyukur memiliki suami yang sangat sabar dan mampu mengimbangi sifatnya yang keras.

Seperti mas-mas pramusaji yang biasa mengantar makanan ke kamar Papa. Yang membangunkanku saat aku tertidur di selasar rumah sakit. Yang dengan sangat ramah menyapaku setiap kali kami berpapasan. Yang menanyakan banyak hal mulai dari umur, pendidikan, pekerjaan, sampai mempertanyakan apakah aku sudah punya pacar.

Seperti mas-mas yang tempat tidurnya di depan tempat tidur Papa. Yang bercerita bahwa ia menderita infeksi radang tenggorokan. Ia yang berasal dari Cirebon dan tidak punya keluarga di Jakarta sehingga ia harus sendirian di rumah sakit. Yang cukup kesulitan untuk ke kamar mandi karena harus membawa tiang infus sendiri. Yang sudah pernah menikah namun bercerai di usia yang masih sangat muda.

8 Des 2015

Belajar Dari Mbak Lala

"Mbak, bapaknya sakit apa?"

"Stroke ama ginjal," jawab perempuan berkerudung panjang itu.

Itulah awal mula perkenalanku dengan mbak Lala, teman baruku di rumah sakit.

Mbak Lala menjaga ayahnya yang berusia 74 tahun bernama Bapak Syamsudin. Walaupun sesekali bergantian jaga dengan sang adik, tapi mbak Lala lah yang paling sering menjaga. Tempat tidur Papa di rumah sakit bersebelahan dengan pak Syamsudin, sehingga membuat aku dan mbak Lala sering bertukar cerita.

Dari mbak Lala aku mengetahui kalau ayahnya adalah pensiunan Pertamina yang dulunya bekerja di kapal. Saat masih muda, Pak Syamsudin sering dengan sengaja menaikkan tekanan darahnya supaya diijinkan turun kapal. Setelah berhasil membuat tekanan darahnya tinggi, Pak Syamsudin diperbolehkan turun ke darat untuk berobat ke rumah sakit, kemudian ia akan naik kapal lagi setelah tekanan darahnya kembali normal. Inilah yang sering dilakukan Pak Syamsudin setiap kali ia ingin turun ke darat. Suatu tindakan yang memberikan dampak buruk di masa tuanya. Beliau sudah sering terkena stroke, dan kini ditambah lagi ginjal yang tak lagi berfungsi yang menyebabkan ia harus cuci darah 2x seminggu.

Dan yang ingin kuceritakan di sini adalah tentang rasa kagumku pada mbak Lala yang dengan sangat sabar dan telaten merawat ayahnya.

Well, penderita stroke biasanya emosian dan cepat marah. Begitu juga dengan Pak Syamsudin. Walaupun ia hanya terbaring di tempat tidur dan tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, Pak Syamsudin masih bisa marah. Beliau akan mengerang tiap kali merasakan sesuatu yang tidak membuatnya nyaman, seperti perawat yang menusukkan jarum suntik ke tangannya ataupun perawat yang membersihkan kerongkongannya dengan menggunakan selang. Untuk kegiatan membersihkan kerongkongan ini tak jarang mbak Lala ikut turun tangan.

"Maaf yaa Pap, maaf banget. Buka dong mulutnya. Sebentar lagi selesai kok. Maaf ya Pap," ujar mbak Lala sembari menyemprotkan selang.

Tidak hanya itu, mbak Lala juga sering mengajak ayahnya ngobrol, walaupun sang ayah tidak lagi bisa memberi respon terhadap apa yang mbak Lala katakan.

"Hallo Pap, Assalamu'alaikum", itulah sapaan yang biasa digunakan mbak Lala kepada ayahnya sesaat ia tiba di rumah sakit.

"Pap, bangun. Jangan tidur terus. Nih pacarnya dateng nih," kata mbak Lala kepada ayahnya ketika sang ibu datang menjenguk.

Apa yang mbak Lala ucapkan atau caranya berbicara dengan sang ayah sering membuatku senyum-senyum sendiri. Caranya memperlakukan ayahnya dengan sangat manis benar-benar membuatku salut. Ia selalu menyapa ayahnya dengan senyum, lembut, dan sayang. Walaupun penyakit yang diderita Pak Syamsudin tidak dapat dikatakan sebagai penyakit ringan, tetapi mbak Lala tetap tersenyum menghadapi ayahnya.

Itulah sebabnya aku senantiasa menjadi penonton setia tiap kali mbak Lala berinteraksi dengan Pak Syamsudin.

Tidak hanya itu, Ibu Syamsudin juga memperlakukan suaminya dengan sangat baik. Ibu pyang hanya selisih umur 2 tahun lebih muda dari si bapak akan duduk di samping tempat tidur. Lalu tangannya akan mengelus-ngelus kepala suaminya itu dengan lembut.

"Yang kuat ya, Pap. Yang sabar.." ucap Ibu Syamsudin tiap kali suaminya marah atau rewel. Dan ajaibnya, si Bapak akan dengan mudah reda dan kembali kalem setelah si Ibu mengatakan hal itu.

Ini benar-benar pemandangan yang membuatku terenyuh. Inilah yang namanya the power of love, dan dalam kasus ini istilah itu tidak lagi terdengar bullshit.

Mbak Lala dan Ibu Syamsudin secara tidak langsung mengajarkan padaku cara memperlakukan orang sakit dengan baik, mengajarkan bagaimana caranya memberi support dan semangat kepada yang sedang sakit. Menurutku ini adalah bagian yang paling sulit, tetap tersenyum di depan orang yang kita khawatirkan keadaannya. Pretend to be okay is never easy. Terlebih aku tipikal yang buruk dalam berpura-pura. Tapi mbak Lala dan Ibunya bisa melakukan hal itu dengan sangat baik.

Aku percaya bahwa apapun yang kita lihat, baik ataupun buruk, sejatinya adalah pengingat untuk diri sendiri. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan, dan selalu ada kemungkinan untuk kita berada di posisi orang lain yang dulu mungkin pernah kita lihat.

Perkenalanku dengan mbak Lala mungkin adalah salah satu cara Tuhan mengingatkanku tentang bagaimana cara merawat dan menjaga Mama Papa dengan baik. Apalagi kalau mengingat sifatku yang tidak sabaran dan cukup emosional. Ehehehe.

Sekarang tiap kali melihat mbak Lala dengan ayahnya, aku seolah mendengar bisikan, "Masih mau ngelawan, ngedumel, marah-marah sama orang tua? Tuh liat ada anak yang lebih bisa memperlakukan orang tuanya dengan baik,"

Rasanya kayak digampar bolak-balik.

Ah, makasih banyak mbak Lala karena sudah secara tidak langsung memberi contoh dan mengingatkanku untuk selalu berbakti pada orang tua. Semoga Pak Syamsudin lekas sembuh. Amin

5 Des 2015

Mati

Malam kedua di lorong ruang ICU.

Sejak menempati lorong ini dari kemarin sore, sudah ada 3 pasien yang meninggal di sini. Tampaknya malaikat maut sedang sangat sibuk menjalankan tugasnya. Di tempat yang sama, 3 kehidupan telah diambil dalam waktu kurang dari 24 jam. Debaran jantung, kecemasan, kegelisahan, mencuat dari diri kami -keluarga pasien- setiap kali telepon di lorong ini berdering. Telepon dari perawat ruang ICU yang ingin menyampaikan kabar baik ataupun kabar buruk.

Di sebuah blog pribadi seorang dokter yang pernah kubaca, kematian bagi para pekerja medis adalah hal biasa yang mereka temui. Mengutip kalimat dari dokter tersebut, ia mengatakan bahwa mati sepasti inti matahari yang berfusi.

Kalimat yang sangat kusukai.

4 Des 2015

An Uphill Battle

Mungkin ini adalah malam yang paling berat.
Ketika melihat lelaki yang paling kuat dan tegar yang pernah kukenal, menangis pilu di dalam pelukan orang-orang yang ia cintai.
Ketika detik yang berdetak seolah menjadi kesempatan terakhir untuk bercerita, tertawa, atau hanya untuk sekadar bertatap muka.
Ketika rasa takut kehilangan berada di titik tertinggi dan doa-doa baik mengalir tiada henti.
Ketika menyadari bahwa manusia adalah selemah-lemahnya makhluk yang tidak akan pernah bisa menentukan hidup dan mati.

Lets do our best, Pa. Setelah itu biarkan Tuhan mengerjakan bagiannya. Konon katanya, selain ilmu syukur, di dunia ini kita juga harus mempelajari ilmu ikhlas. Be tougher. Be brave. You should through it well, then I'll keep my promise to write down your stories here.

Warmest hug,
Your little daughter.

21 Nov 2015

Jadi Dukun Curhat (Part 1)

Dukun curhat.

Sepertinya ini udah menjadi pekerjaan sambilan saya karena saking seringnya jadi tempat curhat teman. Sebenarnya, saya senang-senang aja kok menjalankan profesi ini. Mungkin karena saya pun menyebut diri sendiri sebagai people's life observer.

Hehehe.

Tapi memang mendengar kisah hidup orang lain itu menyenangkan. Termasuk di dalamnya tentang kehidupan romansa. Rasanya gak jauh beda sama baca novel atau nonton drama korea. Bedanya, di sini saya harus menyediakan telinga sebaik mungkin. Dan juga kesabaran seluas samudra karena ada orang-orang tertentu yang tiap kali dia curhat, rasanya saya pengen nendang dia ke jurang aja. #eh

I do like to become a listener. Tapi, terkadang ada orang-orang yang menyalahgunakan waktu dan kesempatan yang dikasih oleh listener-nya dengan cuma-cuma ini hanya untuk menceritakan seberapa bodoh dan dungunya dia dalam menjalani hubungan. Ups, pardon my words.

15 Nov 2015

Menemukan Alasan

Mereka bilang cinta tidak butuh alasan. Tentu aku tidak pernah setuju pada hal itu, sebab bagiku untuk mencintai seseorang akan selalu butuh alasan. Sebab jika benar-tidak ada alasan, harusnya kita tidak perlu pilih-pilih pasangan, bukan? Jadi, akan selalu ada alasan mengapa kita mencintai seseorang. Ini bukan tentang keberadaan alasan yang disadari atau tidak, namun lebih pada apakah alasan itu diakui atau tidak. Ini hanya tentang pengakuan. Ini tentang kejujuran pada diri sendiri.

Beberapa waktu yang lalu, seorang lelaki mendekatiku. Dia baik. Tentu saja ini alasan yang sangat general untuk menjelaskan mengapa aku membiarkannya memasuki duniaku. Tapi alasan lainnya adalah karena dia ‘normal’. Dia tidak seperti lelaki lain sebelumnya yang hampir setiap hari mengirimkan pesan menanyakan kabar dan akan mengulanginya lagi walaupun aku sudah tidak membalas pesannya hari ini. Pick up line yang sangat basi dan dilakukan berulang kali dan membuat keinginanku untuk menghapus kontaknya dari BBM semakin besar. Lelaki yang mengejar wanita secara membabi buta adalah lelaki yang menurutku tidak normal. Lelaki seperti ini harus diberi pencerahan terlebih dahulu tentang bagaimana mendekati wanita dengan cara yang elegan.

Tapi untungnya dia tidak seperti itu. Dia mendekatiku dengan berperilaku sebagai pria sebagaimana mestinya. Dia pintar membuat obrolan, dia mau mendengarkan, dan dia sangat perhatian. Lebih dari semua itu, dia adalah pria yang straight to the point. Tidak cukup dengan sikapnya yang sangat jelas menunjukkan kalau dia menyukaiku, dia juga mengatakannya secara langsung. Dia tidak sekalipun membuatku berada dalam keadaan bingung, menebak-nebak, dan bertanya-tanya apakah dia menyukaiku atau tidak.

10 Nov 2015

Bukalapak: Belanja Online Asik cuma Sekali Klik!

Dulunya aku tidak pernah sekalipun berbelanja secara online. Kenapa? Alasan yang sangat sederhana, karena aku tidak percaya pada online shop yang ada. Maraknya berita penipuan seputar kegiatan jual beli di dunia maya, juga cerita dari beberapa teman yang ditipu oleh pedagang online membuatku semakin anti berbelanja secara online. Aku lebih merelakan diri menjelajahi satu persatu toko atau pusat perbelanjaan untuk mendapatkan benda yang kucari.

Namun di pertengahan tahun 2014 aku harus mematahkan prinsipku tentang say no to belanja online ini. Hal ini terjadi ketika aku sedang mengerjakan skripsi dan membutuhkan sebuah buku yang tidak bisa kutemukan di toko-toko buku manapun. Akhirnya pilihan mencari buku tersebut via online tidak lagi bisa kuhindari. Kemudian ketika aku mengetikkan judul buku tersebut pada searching engine, muncul sebuah nama situs jual beli online yang pada saat itu masing sangat asing di telingaku. Yap, inilah kali pertama aku berkenalan dengan Bukalapak.

Dan… pengalaman pertama berbelanja online di Bukalapak yang sangat memuaskan akhirnya membuatku ketagihan.

Kalau dulu aku harus membuka website Bukalapak melalui laptop setiap kali ingin berbelanja, saat ini hal merepotkan seperti itu tidak perlu lagi kulakukan. Bukalapak sepertinya benar-benar ingin memanjakan customer-nya dengan menghadirkan aplikasi Bukalapak pada smartphone pelanggannya. Tentu saja aplikasi ini semakin memudahkan kita untuk mengakses website Bukalapak kapan saja dan di mana saja.

8 Nov 2015

[Sebuah Pesan] Dear Dedek-Dedek Gemes

Minggu pagi adalah hari liburku berolahraga karena alun-alun sedang dipenuhi dedek-dedek gemes yang sedang jalan-jalan dengan pacarnya. Tapi minggu pagi kali ini tidak kuhabiskan dengan tidur lagi setelah sholat subuh. Aku tetap ke alun-alun, ke wifi corner lebih tepatnya. Sebelum berangkat aku sudah terlebih dulu berdoa agar dedek-dedek gemes tidak sampai menjarah wifi corner juga. Semoga mereka pacarannya cukup di alun-alun saja.

Awalnya doaku terkabul. Di wifi corner tidak ada orang dan aku dengan bebasnya bisa merasakan kecepatan internet ratusan kilobyte. Tapi ternyata keadaan ini tidak berlangsung lama. Saat jam di hanphoneku menunjukkan pukul 06.33, datanglah segerombol pasangan dedek-dedek gemes bersepeda motor. Hauft.

Dulu, ketika aku seusia mereka, aku tidak pernah ke alun-alun di minggu pagi. Apalagi bersama teman laki-laki. Apa fenomena ini baru ada di jaman sekarang? Atau dulu sebenarnya sudah banyak yang seperti ini tapi aku saja yang tidak tau? Entah, rasanya ketika aku di usia mereka, kehidupanku cuma seputar sekolah, mengerjakan PR, latihan drumband, pergi mengaji dan les, dan sesekali memendam perasaan pada teman sekelas (tsah).

Kata orang, usia remaja adalah masa puber. Di mana jiwa seorang remaja sedang bergejolak luar biasa (halah). Di mana para remaja sedang merasa bahwa mereka sudah besar dan bebas membuat keputusan, padalah sebenarnya tidak. Padahal, usia-usia remaja seperti itu adalah usia-usia yang sangat krusial. Orang tua harusnya lebih mengencangkan sabuk pengaman, menjaga putra putrinya yang remaja dengan sedikit lebih ketat.

7 Nov 2015

Mendekap Mimpi

Ada satu rahasia yang ingin kuceritakan pada kalian. Tentang ritual yang ia lakukan. Tentang bagaimana ia menjaga impiannya tetap hidup. Tentang cita-cita yang ia simpan baik-baik agar tak mudah redup.

Setiap malam sebelum tidur, ia akan menulis pada secarik kertas. Kertas itu kemudian ia gulung, dan dimasukkan ke dalam sebuah botol kaca yang isinya sudah hampir penuh.

Kertas-kertas itu menyimpan semua impiannya. Apa? Tidak ada yang tau, termasuk aku dan kalian. Impian itu adalah rahasia yang hanya ia bagi dengan-Nya, Sang Pemilik Hidup.

Ia tak pernah tau ke mana garisan takdir akan membawanya. Ia hanya tau bahwa ada hal besar yang sedang menunggunya di ujung sana. Setidaknya, inilah yang ia percaya. Bahwa ia tidak akan pernah menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja.

No Matter What, Women Should be Smart

Men’s ego is seriously the most fragile and insecure subject on earth. If anytime they lose a slight sense of authority and domination they fucking break. Feeling emasculated by a smart woman? Wanting her to dumb down instead of you smarting up? You fucking weakling. You fucking egocentric, fragile, insecure, weakling.

Kalimat di atas aku temukan pada akun ask.fm milik seorang pria bernama Alif Satria. Kalimat yang merupakan jawaban dari pertanyaan yang kira-kira seperti ini bunyinya.

Apakah perempuan tidak boleh terlalu pintar, supaya kelak lebih mudah mendapatkan pasangan? Karena, konon katanya, laki-laki itu takut dengan perempuan terlalu pintar.

Mungkin isu seperti ini sudah sering kita dengar. Tentang hak perempuan dalam pendidikan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki. Ini fenomena yang ada di masyarakat kita. Di mana masih banyak orang yang menganut paham bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena nanti akhirnya toh akan mengurus rumah tangga juga. Perempuan jangan terlalu mengejar pendidikan/karir karena nantinya akan sulit mencari pasangan.

4 Nov 2015

Mbak Dee dan Serial Surel

Bulan November tahun lalu adalah waktu di mana aku sedang (cukup) stres mengerjakan skripsi. Dosen sulit ditemui dan antrian bimbingan pun mirip dengan antrian di pom bensin saat premium langka. Tidak cukup dengan rumitnya birokrasi di kampus, skripsiku juga terkendala dengan ketiadaan narasumber. Pada saat itu, narasumber utamaku tidak bersedia untuk diwawancara karena suatu alasan (yang tidak bisa kuceritakan di sini). Jadilah ya, makin runyam keadaan (skripsi)ku saat itu. Tidak hanya sekali dua kali ide untuk ganti judul terlintas di benakku. Ide yang jauh lebih buruk sebenarnya, karena kalau ganti judul, artinya aku harus memulai dari nol lagi.

Di tengah frustasi yang melanda, kicauan salah satu penulis favoritku-Dewi Lestari-di twitter menjadi semacam oase di tengah gurun pasir. Sebab apa yang mbak Dee tulis saat itu berhubungan dengan isu yang sedang aku angkat di skripsi. Akhirnya, tanpa pikir panjang, aku mengirim email kepada beliau untuk meminta penjelasan lebih. Saat itu aku sungguh tidak berharap banyak. Dijawab ya Alhamdulillah, kalaupun tidak juga tak apa.

Namun, beberapa hari kemudian, sebuah email masuk padaku. Yap, dari Dewi Lestari. Di dalam email tersebut mbak Dee mengatakan bahwa ia akan menjawab pertanyaanku, tapi nanti. Sebab aku harus antri dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang telah masuk lebih dulu.

31 Okt 2015

Rumah Kedua

Unforgettable Moment. Kita semua pasti memilikinya. Dan diusiaku saat ini ada banyak sekali unforgettable moment yang kumiliki, salah satunya adalah momen pertama kali aku bertemu dan mengenal teman-temanku di Kompas.

Yes, I've talked them so many times here, and I never get bored to write down all of about them, about us, again and again and again.

Menjadi anggota Kompas sama sekali bukan sesuatu yang kuinginkan, apalagi direncanakan. Mendaftar di Kompas murni karena kecelakaan alias tidak sengaja. Memang ya ada kalanya hal-hal yang berawal iseng itu akan menjadi sesuatu yang mengejutkan di hidup kita. Sesuatu yang mulanya tidak sungguh-sungguh kita lakukan bisa saja berubah menjadi sesuatu yang sangat kita sukai di masa depan. Kalau kata orang, keseriusan biasanya berawal dari ke-tidak-serius-an.

Aku masih bisa mengingat dengan sangat jelas bagaimana malam itu pertama kalinya aku bertemu dengan anak-anak Kompas. Pada acara gathering pertama di samping GKB. Aku yang datang sendirian dengan canggungnya memperhatikan satu-persatu orang-orang di situ, di mana sebagian besar dari mereka adalah laki-laki. Aku hanya melihat 2 perempuan berseragam Kompas di sana. Sedangkan untuk anggota-anggota baru, aku juga melihat pemandangan yang sama. Sebagian besar teman-teman baruku adalah belasan laki-laki dan tiga orang perempuan.

Glek.

30 Okt 2015

Belajar Merasa Cukup

Kenapa orang-orang yang tidak bekerja mengeluh bosan, dan orang-orang yang bekerja mengeluh capek karena terlalu banyak yang harus dikerjakan?

Kenapa orang-orang yang bekerja jauh dari rumah selalu ingin segera pulang, sedangkan mereka yang bekerja dekat dengan rumah malah ingin pergi sejauh mungkin?

Kenapa mereka yang sudah menikah mengeluh karena tidak sebebas dulu, namun mereka yang belum menikah frustasi mencari pasangan, entah karena umur ataupun desakan lingkungan?

Kenapa seolah-olah tidak pernah ada situasi yang ideal?
Kenapa segala keadaan selalu tampak sebagai suatu kesalahan?

Karena manusia tidak pernah puas.
Karena keinginan manusia tak terbatas.
Karena bersyukur adalah salah satu hal yang sering terlupakan.
Dan orang-orang yang mengeluh itu pada dasarnya menyebalkan.

29 Okt 2015

Pindah

Pindah.

Mungkin hal itu tidak lagi asing bagiku. Sejak dulu aku sudah sering merasakannya, mulai dari pindah rumah, sampai dengan pindah sekolah. Hanya saja, walaupun sudah berulang kali terjadi, pindah bukanlah sesuatu yang membuatku senang. Pindah artinya aku dipaksa untuk meninggalkan orang-orang tersayang, ataupun tempat-tempat yang penuh kenangan.

Aku harus membiasakan diri dengan rumah baru, ruangan baru, langit-langit kamar yang baru, dan banyak hal yang rasanya sangat asing bagiku. Aku harus menghabiskan waktu lagi untuk melatih mata supaya mau terpejam di kamar yang tidak kukenal.

Sekolah baru. Aku harus menerima tatapan aneh dari teman-teman baru. Mereka yang akan selalu memandangku seolah aku adalah makhluk asing yang baru jatuh ke bumi. Mereka yang akan selalu meremehkanku, sebelum aku bisa menunjukkan kemampuanku dan kemudian membalas tatapan mereka (dengan dagu sedikit terangkat) sambil berkata dalam hati, “Aku tidak sebodoh itu untuk bisa kalian bully seenaknya,”. Hal yang harus kulakukan setiap kali mendapat predikat “anak baru” dan terhindar dari gangguan mereka yang merasa berkuasa adalah dengan menjadi bintang kelas. Ini pekerjaan yang sangat melelahkan, pekerjaan yang tidak perlu kulakukan seandainya aku masih baerada di sekolah yang lama, karena aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

23 Okt 2015

Priceless

Kamu bukanlah apa kata orang.
Kamu bukanlah bagaimana yang terpancar dari wajah orangtuamu.
Kamu berharga.
Bahkan, tanpa prestasi atau ketrampilanmu, kamu tetap berharga.
Kelahiranmu ke dunia inilah yang menjadikan dirimu tak ternilai.
Kamu ada.
Kamu hidup.
Dan itu sudah cukup untuk memperjuangkan keadaanmu.
Jangan merasa rendah diri.
Tuhan tidak pernah membuat produk massal.
Dia membuatmu secara personal.
Buktinya, hanya ada satu Einstein di dunia ini.
Hanya ada satu daVinci.
Satu Beethoven.
Satu Bill Gates.
Dan hanya ada satu kamu.

-Kristine Batasina G.

21 Okt 2015

Better Things

I keep telling my self that better things are coming..

20 Okt 2015

Kesehatan: Hal Kecil yang Luput dari Perhatian

Sejak Papa sakit, aku mulai peduli dengan kesehatan. Aku mengatur sedemikian rupa pola makan, olahraga, dan istirahat. Sebenarnya ini udah program dari sebelum wisuda sih, aku niat banget mau nurunin berat badan supaya bisa canthique gitu waktu pake kebaya. Muahahaha. Yaah, sayangnya waktu wisuda belum terlalu banyak turunnya. Alhasil, kebayanya cuma dikecilin bagian pinggang aja sekitar 2 cm :(

Hari berganti hari, bulan berganti nama, dan cobaan hidup yang datang tanpa aba-aba (halah), akhirnya membuat jarum timbangan bergeser ke kiri. Lumayan jauh dari ukuran biasanya. Apalagi ditambah sama puasa trus patah hati juga :(

Waktu itu udah mulai dapet komentar dari temen-temen, “Rau, kok kurusan?”, yang cuma bisa kurespon dengan, “kurusan apanyaaa, perasaan tetep aja segini aja dari dulu,” padahal hati udah berbunga-bunga gara-gara dibilang kurusan. Uhuy.

Kemudian aku pergi ke Jogja pada bulan Agustus. Ini pengalaman backpacker-an pertama dengan dana seminim-minimnya. Selama di Jogja, ke mana-mana seringnya jalan kaki. Pokoknya, sekiranya masih sanggup jalan kaki, maju terus pantang mundur. Tiap malam jalan kaki di malioboro dari ujung ke ujung, pernah juga jalan kaki ke nol kilometer (dari penginapan yang letaknya di gang pertama dari jalan masuk ke kawasan Malioboro), bahkan sampe jalan kaki ke daerah yang banyak jual buku bekasnya (semacam Wilis-nya Malang). Walaupun pulang-pulang ke penginapan betis rasanya udah sebesar konde, saking pegelnya, tapi gapapa. Paling nggak pulang dari Jogja berasa makin kurusan. Huahaha.

16 Okt 2015

Asiknya Jadi Anak Ilmu Sosial

People from social science backgrounds are educated to learn about people and accept the limitless possibility of diversities that every human has. They learn how to distance themselves, how to be objective. It’s rare to see someone from social science judge people based on religious view, political, view, or gender preference.

Saya menemukan paragraf di atas saat sedang membuka ask.fm (tapi lupa siapa yang menulisnya), dan sebagai mantan anak FISIP, I absolutely agree with those idea.

Sejak duduk di bangku kuliah, satu hal yang saya sadari bahwa pendidikan yang sedang saya tempuh akan membentuk pola pikir, karakter, dan kepribadian saya di masa depan. Kenapa? Karena ilmu sosial dipelajari di atas paradigma. Paradigma adalah posisi kita dalam melihat sesuatu. Orang-orang di ranah sosial kuat sekali dengan hal-hal seperti ini. Kami dilatih untuk mengkaji berbagai macam pemikiran. Kami tidak mengenal bahwa sesuatu itu “benar” atau sesuatu itu “salah”, sebab segala sesuatunya tergantung dari arah mana dan bagaimana “sesuatu” itu dipandang.

Dulu ketika saya ingin memilih jurusan, Papa berpesan untuk mencari jurusan yang setidaknya dapat berguna untuk diri saya sendiri. Jurusan yang seandainya tidak membuat saya mendapat pekerjaan, paling tidak ilmunya bisa saya gunakan saat membangun keluarga (halah). Inilah salah satu pertimbangan yang saya pakai saat memasukkan Ilmu Komunikasi sebagai salah satu pilihan jurusan, and I have no regret at all. Karena sekarang, setelah saya lulus, saya merasakan manfaatnya. Saya menjadi pribadi yang tidak mempermasalahkan perbedaan, open minded, dan berusaha untuk mengerti apa yang orang lain pikirkan (njiiss, ini kok pede banget yah muji diri sendiri. Hahahah. Hey, but it’s the truth :p).

15 Okt 2015

Forever is a Big Lie

Setiap orang di hidup kita punya tenggat waktu, tanggal kadaluwarsa, batasan sampai kapan kebersamaan itu ada.

Setiap orang dalam hidup kita akan pergi jika waktunya sudah tiba.

Setiap orang yang datang ke dalam hidup kita, sejatinya mereka hanya singgah untuk sementara.

Di dalam dunia yang bernama realitas ini, selamanya tidak pernah ada. Ini fakta yang harus kita terima. Mau tidak mau, suka tidak suka.

Pada akhirnya kita harus sadar bahwa tidak ada alasan untuk menggantungkan harapan pada seseorang. Karena jika orang itu kemudian pergi, harapan kita akan ikut mati.

Jadilah pribadi yang mandiri, yang mampu memeluk bahagianya sendiri.

13 Okt 2015

CS dan Pelanggan yang Marah-marah

Beberapa hari yang lalu saya ada sedikit drama dengan JNE. Apalagi kalau bukan masalah pengiriman barang yang gak nyampe-nyampe.

Jadi ceritanya saya abis beli barang di olshop, tapi barangnya gak nyampe-nyampe, tapi waktu saya cek di webnya JNE, barang saya katanya udah nyampe di Pandaan dan diterima oleh orang bernama Anton. Lho? Kok Pandaan? Lho? Kok Anton? Lho? Kok nyasar? Mulailah saya panik setengah mati. Saya mencoba complain ke JNE via email dan tidak ada balasan. Kemudian saya membuka official account twitter JNE di @jnecare. Saya stalking-in orang-orang yang complain di sana, mencari tau bentuk complain seperti apa yang sering terjadi. Sama seperti kasus saya atau tidak. Maklum, ini pengalaman pertama saya berurusan dengan hal-hal seperti ini. Sebelum ini pengiriman barang saya gak pernah ada masalah sih.

Dari hasil stalking itu saya sedikit shock karena isinya customer yang ngamuk semua. Ngamuk di sini dalam artian “ngamuk” yang beneran ngamuk. Singkat kata, twitter itu isinya caci maki dari customer semua. Gak sedikit yang pake kata-kata kasar dan diketik dengan style caps lock jebol. Well, ehm, melihat fenomena ini, saya jadi kasihan sama CS-nya JNE. Mungkin juga CS perusahaan-perusahaan lain ya, di mana mereka harus mendapat amukan dari customer karena ketidakpuasaan terhadap produk/jasa perusahaan yang ditawarkan.

11 Okt 2015

Wish

It’s been one year we never meet up, and I can’t believe that missing you still hurts.
Aku berdiri di pintu kamar melihat dia sedang mengemasi barang-barangnya. Ujung mataku kemudian tertumpu pada botol parfum di sebelah tas yang belum sempat ia masukkan. Tanpa pikir panjang, aku meraih botol parfum itu. “Aku minta parfumnya ya”, kataku sambil menyemprotkan parfum itu ke jaket yang kupakai. Dia mungkin tidak tau apa alasanku meminta parfumnya waktu itu. Dia mungkin tidak tau, kalau aroma parfum itu setidaknya dapat mengobatiku kerinduanku setelah dia pergi. Ketika dia tidak lagi di sini.

Selama perjalanan ke terminal, aku tidak banyak bicara karena sedang berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang berlomba-lomba ingin keluar. Namun pada akhirnya dia tau kalau aku menangis, yang kemudian membuatnya semakin mempererat genggamannya di tanganku. Yang kemudian juga membuatnya mengucapkan berbagai macam hal untuk menghiburku. Salah satunya, dia bilang kalau kami pasti akan bertemu lagi. Saat itu aku sudah merasa bahwa dia hanya sedang membuat janji yang mungkin tidak bisa ia tepati.

Setibanya di terminal, untuk sesaat kami berdiri di depan bus yang akan segera berangkat. Hanya berdiri berdampingan, tanpa keberanian untuk saling menatap. “Kamu cepetan naik gih”, ucapku lirih. Tangannya masih menggenggam tanganku ketika ia berkata, “Aku naik, tapi kamu jangan berdiri di sini. Kamu langsung pulang”. Aku menyanggupi permintaannya. Kemudian ia melepas genggamannya, pergi berjalan menuju pintu bus. Aku langsung membalikkan tubuh tanpa menoleh lagi.

8 Okt 2015

Curhat [Teman] Perempuan

Pada suatu malam menuju dini hari, tiba-tiba BBM saya dibombardir oleh curhatan seorang teman (perempuan) tentang pacarnya yang dari sore menghilang. Bukan, pacarnya bukan lagi kesasar apalagi hilang di gunung, tapi karena si pacar gak bales whatsapp, line, atau BBM.

Kalau kata Coboy Junior sih, “D lagi D lagi D lagi, kok gak R R?”

Kemudian besok paginya, setelah saya baca curhatan yang lebih mirip esai –karena panjang banget- itu, saya langsung membalas, “Sampe sekarang belum di-read mbak?”, and then she replied, “Udah, dia bilang ketiduran dari sore,”

Saya cuma ketawa dalam hati. Ya, mari ber-positive thinking. Mungkin emang pacarnya itu kecapekan trus akhirnya ketiduran dari abis magrib dan baru bangun keesokan harinya. Saya juga pernah kayak gini kok. Teman-teman saya yang cowok juga pernah kayak gini… tepatnya waktu kita tepar abis pulang pendakian.

Lalu beberapa hari kemudian, teman kental saya waktu SMA nge-line juga untuk curhat tentang pacarnya yang beberapa waktu belakangan ini katanya suka menghilang alias tidak memberi kabar.

Miss Myself

Have you ever miss yourself?

Mungkin terdengar lucu ya kalau kita merindukan diri sendiri. But, it's what I'm feeling now. I miss my self.

Beberapa hari yang lalu, aku membuka laman facebook yang entah sudah berapa lama tidak pernah kukunjungi. Saat itu aku membaca kembali status-status yang pernah kutulis sambil senyum-senyum sendiri. Aku seperti sedang bertemu dengan refleksi diriku. Kenangan demi kenangan kembali mencuat. Aku mengingat lagi hal-hal apa yang bisa membuatku menulis seperti itu.

"Ngapain sih nulis kayak gini?"
"Dih alay banget,"

Dan masih banyak celetukan-celetukan lain yang tidak sengaja kuucapkan ketika membaca status-status jaman baheula itu. Menurutku, inilah salah satu alasan kenapa kita sejatinya harus menulis. Untuk membekukan kenangan. Untuk melihat siapa diri kita beberapa tahun yang lalu. Untuk mengukur sejauh mana kita berjalan, bagaimana kita memperbaiki diri, bagaimana usaha kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.

3 Agu 2015

Aku Pernah Singgah

Aku pernah singgah di matamu
Tempat bersemayamnya segala harap dan mimpi
Yang kau dekap erat dengan tekad bulat
Bahwa kau akan mewujudkannya suatu hari nanti

Aku pernah singgah di matamu
Mata yang melihat apa yang tidak bisa orang lain lihat
Yang bisa menangkap berbagai hal yang tersirat
Untuk apapun yang kau cinta, ia bisa berkilat-kilat penuh semangat
Sebaliknya untuk yang tidak kau suka, ia bisa berubah menjadi gelap
Terselubung kabut hitam nan pekat

Aku pernah singgah di matamu
Mencoba mencari celah
Yang bisa mengantarku pada sebuah jiwa
Mencari jawaban atas pertanyaan siapa kamu sebenarnya
Menunggu datangnya keyakinan atas segala yang kuragukan

2 Agu 2015

[Tidak] Baik-baik Saja

Baik-baik saja.

Kalimat itu terdengar seperti hiburan semata di telingaku. Kenapa orang-orang bersikeras mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja padahal kenyataan mengatakan yang sebaliknya. Kenapa orang-orang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap bahwa dirinya baik-baik saja walaupun sebenarnya sedah memendam sedih, amarah, ataupun kecewa. Kenapa mereka selalu menggunakan kalimat ‘baik-baik saja’ untuk melindungi ego agar tidak terluka. Aku tidak pernah bisa mengerti.

Aku tidak akan menjadi seperti mereka. Aku akan menjadi yang paling lantang berteriak tidak. Aku tidak baik-baik saja. Duniaku sedang tidak baik-baik saja. Mungkin sebagian orang akan mencibir, ataupun menatap kasihan. Tapi aku percaya bahwa sebagiannya lagi adalah mereka yang akan meletakkan kejujuran di atas segalanya.

24 Jul 2015

Surat Untuk Baymax

Dear, Baymax

Seandainya saja kamu benar-benar ada di dunia ini.

Aku membayangkan kamu keluar dari kotak merah itu ketika mendengar isak tangisku
Lalu  kamu akan berkata, “Hello, I’m Baymax. Your personal healthcare companion. Aku mendengarmu menangis, apa yang terjadi?”

Aku bergeming. Kau pun tidak sabar menunggu jawabanku, hingga akhirnya kau melontarkan pertanyaan baru.

“Dari skala 1 sampai 10, bagaimana rasanya sakitmu?”

“9” ucapku.

Kemudian kau akan memindai tubuhku. Hanya butuh beberapa detik untukmu tau apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“Kau tidak mengalami cedera fisik. Namun, level hormon dan syarafmu menunjukkan adanya perubahan mood.” katamu kemudian.

Aku terdiam.

17 Jul 2015

Lebaran

Dari tahun ke tahun, hari raya bagiku semakin tidak terasa seperti hari raya. Mungkin tidak hanya aku, tapi kita semua merasakan hal yang sama. Gegap gempita suasana idul fitri lebih terasa ketika kita masih di usia dini. Mungkin karena saat itu kita masih menjadi “manusia suci”. Belum bergelimang dosa karena mengejar duniawi.

Sudah tiga tahun belakangan, aku merayakan idul fitri berbeda dari orang kebanyakan. Ketika orang-orang tengah asik berkumpul bersama sanak saudara, aku hanya bisa bermalas-malasan di sofa sambil menonton tv. Di saat orang-orang sedang bersalam-salaman dengan para tetangga, aku hanya bisa membalas ucapan lebaran dari teman-teman melalui telepon genggam. Merayakan idul fitri sendirian memang sangat menyedihkan.

Ah, tapi tidak apa-apa. Aku sudah biasa. Aku hanya perlu bersabar sedikit saja sampai mama papa tiba.

Akhir kata, selamat hari raya idul fitri teman-teman pembaca. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin ya. Semoga semangat beribadah di bulan Ramadhan menular ke bulan-bulan berikutnya. Semoga kita semua bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun depan bersama keluarga dan orang-orang tersayang. Amin.

9 Jul 2015

Tidak Apa-Apa (3)

Semoga sedih ini akan tuntas dalam satu malam! Itulah salah satu doa yang kuucapkan sebelum tidur. Namun doa itu sepertinya belum dikabulkan Tuhan. Karena kesedihan yang sama masih meyelubungi hari-hari berikutnya.

Aku merasa waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Ia tidak lagi berlari seperti apa yang kurasakan beberapa bulan lalu. Hitungan matematis untuk waktu memang selalu konstan. Namun manusia merasakan perputarannya dengan kondisi yang berbeda. Tsk.

Seseorang pernah berkata bahwa ikan yang sedang terluka harus berenang bersama dengan teman-temannya agar bisa sembuh (dengan cepat) seperti sedia kala. Dan nasibku sepertinya lebih buruk dari pada ikan. Kenapa? Karena saat ini aku sedang terluka, dan sayangnya aku tidak bisa lagi berenang bersama teman-teman. Ah, kenapa aku bisa sebodoh ini. Harusnya aku sudah mengantisipasi, dengan lebih berhati-hati menjaga diri.

3 Jul 2015

When Enough is Enough

"At some point you will realize that you have done too much for someone or something. So, the only next possible step to do is to stop. Leave them alone. Walk away. It's not like you're giving up, and it's not like you shouldn't try. It's just that you have to draw the line of determination from desperation. What is truly yours would eventually be yours, and what is not, no matter how hard you try, will never be",

It's time for whisper to yourself: enough.

Kota Para Pecundang

Shitty place. Itu nama yang kuberi pada kota ini. Kota yang menyimpan sejuta kenangan jaman waktu masih ingusan.

Aku tidak suka dengan kota ini. Kenapa? Karena kota kecil ini terlalu nyaman untuk dihuni. Karena kota ini melahirkan orang-orang yang tidak mau mencoba berjuang di kota-kota besar dengan kehidupan yang lebih kejam.

Mereka yang tidak mau beranjak dari kota ini adalah mereka yang telah terjebak di zona nyaman. Mereka tidak berani mencari kesempatan di luar gua yang sejak kecil telah mereka tempati. Mereka tidak berani memasuki lingkungan baru, berkenalan dengan teman-teman baru, pun menambah wawasan baru. Mereka lebih memilih berdiam diri di kota ini dengan resiko pemikiran yang tidak akan pernah berkembang.

Aku lahir di sini, orang tuaku di sini, aku mencintai kampung halamanku, dan sederet alasan naïf lainnya mereka lontarkan. Padahal mereka masih bisa menjadikan kota ini sebagai rumah untuk pulang. Rasanya kota ini akan lebih bermakna jika mereka pergi dari sini. Bukankah segala sesuatu yang tidak kau jumpai setiap hari akan bernilai lebih tinggi?

2 Jul 2015

Wisuda Buat Papa

Juni adalah bulan yang kusukai di antara bulan-bulan lainnya. Tentu saja karena hari lahirku ada di sana. Namun untuk tahun ini, ada satu lagi momen berharga bagiku yang terjadi di bulan Juni. Apalagi kalau bukan wisuda.

Setelah frustasi berbulan-bulan dalam mengerjakan skripsi, akhirnya momen itu datang juga. Jujur saja bahwa aku sempat putus asa dalam menyelesaikan skripsi yang super duper kampret bab pembahasannya itu. "Ini bisa selesai gak sih?" adalah pertanyaan yang terlintas berulang kali di kepala. Sampai sekarang rasanya masih gak percaya bisa melewati tahap ujian skripsi dengan selamat! (walaupun diwarnai dengan drama nangis tiga hari pasca ujian gara-gara dibantai habis-habisan ama dosen penguji). Alhamdu..lillah :)

Kemudian, hari bersejarah itu akhirnya datang (halah). Hari di mana aku memakai toga. Benda yang sangat diimpi-impikan oleh jutaan mahasiswa yang sedang berkutat dengan skripsinya. Tapi sebenarnya waktu wisuda itu, aku juga tidak begitu excited kok. Karena ternyata prosesi wisuda yang berdurasi 2,5 jam itu sangat membosankan. Bagaimana tidak, aku terduduk bosan di sebuah ruangan berisi ribuan orang dan duduk di antara mereka yang tidak kukenal. Peraturan urutan tempat duduk wisudawan berdasarkan nilai IPK itu harus diubah! Hffft.

28 Mei 2015

Waktu

Kau tau, semua yang kita lakukan di dunia ini dibatasi oleh waktu. Seperti halnya 100 menit yang kita miliki (hampir) setiap hari. 100 menit yang manis walau tidak jarang terselip nada-nada sinis. 100 menit yang kadang terasa kurang karena habis oleh percakapan yang begitu menyenangkan. 100 menit yang rasanya terlalu sayang jika terbuang sia-sia hanya karena mempertahankan ego yang kita punya.

Kau tau, bagiku hidup ini penuh kejutan. Namun aku tidak pernah menyangka bahwa kau adalah salah satunya. Kau, hadiah dari Tuhan yang tidak pernah kuduga. Kita adalah keajaiban yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jadi jangan heran kalau sampai sekarang keberadaanmu masih menjadi sesuatu yang sulit kupercaya.

Waktu yang begitu cepat berlalu adalah salah satu hal dari sekian banyak yang kutakutkan. Aku tidak bisa berhenti mengira-ngira kapan habisnya waktu kita untuk bersama. Bukan apa-apa, hanya saja aku tidak ingin ada penyesalan di kemudian hari. Aku benar-benar ingin melakukan yang terbaik kali ini. 

Ini tulisan yang kutulis dulu. Sesaat setelah 100 menit yang kuhabiskan untuk mendengarkan suaramu. Ditulis di tengah perasaan yang sedang berbunga, dengan senyum yang mengembang tak henti-hentinya.

21 Mei 2015

Belum Ada Judul

Siapa bilang perempuan cuma mau dandan waktu lagi PDKT, jatuh cinta, atau baru jadian? Menurutku itu pendapat yang salah total. Karena kenyataannya, kami para wanita jauh lebih semangat berdandan ria setelah patah hati atau diputusin atau di-PHP-in. Dan saat ini aku sedang merasakannya saudara-saudara.

Salah satu perubahan yang sangat mencolok adalah, aku yang biasanya tiap weekend mandinya cuma sekali sehari (itu juga kalau mau keluar), sekarang jadi dua kali sehari (padahal gak mau ke mana-mana). Aku pikir, aku bukan satu-satunya yang seperti ini. Hehehe.

Coba kita pikir bersama.

Seharian di kos, gak kemana-mana, baru bergerak ke kamar mandi jam 12 siang, trus sorenya mau mandi lagi? Gak kasian sama bumi yang udah mulai mengering? Gak prihatin sama harga sabun, shampo, dan facial foam yang makin mahal? Gak sayang sama lampu kamar mandi yang kudu nyala terus karena mandinya bisa hampir satu jam? Iya, ngelesnya bisa banget.

Gak berhenti pada masalah mandi aja ya. Sehabis mandi biasanya perempuan punya ritual lagi. Pakai pelembab, bedak, body lotion, dan parfum. Bayangkan betapa banyak pemborosan yang kami lakukan karena mandi dua kali di hari libur padahal gak mau ke mana-mana.

14 Mei 2015

Aku Membencinya

Aku membencinya.

Aku membenci dia yang tidak mempedulikanku. Dia yang tidak pernah bertanya di mana aku sedang berada, ke mana aku akan pergi untuk menghabiskan waktu di akhir pekan, atau apa yang akan aku lakukan setelah lulus dari bangku perkuliahan.

Aku membenci dia yang emosional dan keras kepala. Dia yang sangat mudah terpancing amarah. Dia yang mudah sekali emosi ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang dia inginkan. Dia yang tidak mau mendengarkan apa yang kukatakan. Dia yang menganggap dirinya benar. Dia yang akan terus melakukan apa saja yang ia mau tanpa pandang bulu.

Namun, aku juga menyukainya.

Dia yang spontan, tidak bisa ditebak, dan selalu di luar dugaan. Dia yang memiliki cara berpikir tidak seperti orang kebanyakan. Dia yang pintar, selalu bersemangat, pantang menyerah, dan tidak kenal lelah. Dia yang punya prinsip dan integritas. Dia yang hiperaktif dan tidak bisa diam. Dia yang ada kalanya bisa sangat dewasa memberi nasihat dan bersikap bijak. Dia yang di sisi lain bisa sangat rewel seperti anak kecil. Dia yang hangat dan penyayang. Dia yang mau mengakui kesalahan dan tidak segan meminta maaf. Dia yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Dia yang sangat menyayangi bumi. Dia yang selama setahun belakangan ini membuatku merasa begitu dicintai.

7 Mei 2015

Tidak Apa-apa (Part 2)

Picture perfect memories
Scattered all around the floor
Reaching for the
phone cause, I can’t fight it any more

Awalnya aku pikir aku sudah cukup kuat. Aku sudah bisa menerima semua alasan yang menyebabkan kita berpisah. Alasan mengapa kita tidak mungkin bersama. Tapi nyatanya aku belum bisa. Nyatanya aku tidak sekuat kamu, dan mengubah rasa juga tidak semudah itu.

Malam ini, di tengah insomnia yang melanda, akhirnya aku membongkar kotak harta karun kita. Tentu kamu bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.

Benar. Semua kenangan yang telah sekian lama kupendam, kemudian keluar begitu saja.

And I wonder if I ever cross your mind.
For me it happens all the time.

Dulu aku pernah bertanya apa benar kamu menyayangiku. Alih-alih menjawab, kamu malah memberi pernyataan bahwa aku tidak boleh menanyakan hal itu lagi. I know that you don’t like those kinds of questions. Silahkan saja kamu salahkan suara-suara setan di kepalaku waktu itu, yang berulang kali mempertanyakan kesungguhan dari semua yang pernah kamu ucapkan.

Sepucuk Surat Balasan

Setiap jentik, setiap inci
Di mana hari-hari tetap menjadi pelabuhan bagi kawanan burung camar yang merindukan pelangi
Warna jingga yang tenggelam beserta gemuruh angin dan desir-desir kehidupan
Dilukiskan di antara jejak sang senja
Teriakan hening menjadi warna bagi hal indah yang berlalu

Kenapa begitu cepat?
Kenapa meninggalkan luka?
Di sana aku sanding potretmu
Di atas tanah yang mulai menjingga
Ditemani ilalang yang menari dirayu angin sore

Selamat bagimu wanitaku
Kau merebut jiwaku di balik tanah-tanah yang kupijak
Di balik bayang-bayang yang selalu kutolehkan
Dan mengisinya dengan jingga

30 Apr 2015

Tidak apa-apa

Tidak apa-apa.

Kalimat itu telah ribuan kali kuucapkan dalam hati. Berharap badai yang tengah menerpa akan segera reda. Berharap ada kekuatan yang datang entah dari mana. Berharap agar untuk hari ini tidak ada lagi air mata. Namun ternyata kalimat itu tidak sedikitpun mampu mengubah keadaan, juga perasaan.

Tidak apa-apa.

Di dunia ini, aku tidak sendirian. Aku bukan lah satu-satunya manusia yang sedang berduka. Jutaan orang di luar sana juga sedang menangisi nasib mereka. Jutaan orang di luar sana pun mempertanyakan ke mana takdir akan membawa.

Tidak apa-apa.

Waktu akan mengobati semua. Aku hanya perlu bersabar untuk beberapa waktu. Pasti ada jalan keluar nantinya.

15 Apr 2015

Cinta Pertama?

Bagi sebagian besar anak perempuan, ayah adalah cinta pertama mereka.

Bagi saya, Ayah bukan hanya cinta pertama. Namun lebih dari itu, Ayah adalah segalanya. Satu-satunya tempat teraman di dunia adalah di sampingnya. Bersamanya saya merasa segala sesuatunya akan lebih mudah. Selama ada Ayah, semua masalah bisa terpecahkan. Bahkan untuk masalah-masalah sepele seperti memilih tas, baju, atau sepatu, pendapat beliau adalah hal terpenting yang harus saya pertimbangkan.

Kemudian ada yang bilang bahwa setiap perempuan akan memilih pasangan yang tanpa ia sadari mirip dengan sang ayah. Entah dari sifat, sikap, karakter, atau wajah. Saya pun mengakui bahwa ini ada benarnya, karena bagaimanapun juga sosok ayah adalah lelaki pertama yang kita kenal. Bahkan (mungkin) sejak kita lahir ke dunia. Tidak heran kalau (tanpa kita sadari) beliau lah yang menjadi patokan ketika kita mencari pasangan.

Mungkin kita bisa menemukan seseorang yang sifat, sikap, karakter, ataupun wajahnya mirip dengan beliau. Tapi, adakah lelaki yang bisa mencintai kita seperti yang dilakukan oleh seorang Ayah? Pertanyaan itu menciptakan keheningan yang cukup panjang di benak saya. Jauh di dalam sana, jawaban yang menggema adalah "tidak ada".

Lantas, jika apa yang kita inginkan tidak akan pernah kita temukan, haruskan pencarian ini dihentikan?