11 Feb 2015

Semoga Lekas Sembuh

Dear, Papa. 

Seandainya kau tau betapa senangnya aku ketika mendengar suaramu kemarin sore. Kau bilang ada perubahan dari pengobatan yang sedang kau jalani. Tubuhmu terasa lebih segar dan rasa sakit itu semakin jarang datang

Selama ini aku mengenalmu sebagai pria yang tegar, pekerja keras, pantang menyerah, dan tidak pernah putus asa. Tapi, kenapa beberapa waktu yang lalu aku melihatmu mulai lelah? Kenapa harus penyakit itu yang membuatmu ingin menyerah? Rasanya penyakit itu bukan apa-apa dibandingkan semua hal yang kau perjuangkan selama 24 tahun untuk menghidupiku. Itu bukan waktu yang sebentar, kan? Semua perjuanganmu juga bukan sesuatu yang gampang, kan?

Pa, kali ini aku tidak minta apa-apa selain semangatmu. Kembalilah menjadi pria paling tegar sedunia yang pernah kukenal. Jangan pernah lagi berkata padaku bahwa kau kehilangan harapan untuk sembuh. Sungguh, aku tidak ingin lagi mendengar nada putus asa itu.

10 Feb 2015

Kepada Rintik Hujan di Luar Jendela

Kepada rintik hujan di luar jendela,

Maukah kau menjawab beberapa pertanyaanku?
Perihal hidup yang sekeras batu
Perihal mimpi yang perlahan pergi
Perihal cita-cita yang terkadang terpaksa sirna
Perihal kehilangan yang selalu menjadi hal yang ditakutkan
Perihal pendar rasa yang harus dijaga agar tak memudar
Perihal rindu yang tak tersampaikan karena jarak dan waktu
Perihal tangis yang jatuh di sudut mata setiap malamnya
Perihal tawa sebagai penutup duka serta luka
Perihal kepastian tentang kehidupan dua puluh tahun yang akan datang
Perihal meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja pada akhirnya
Perihal menjadi dewasa yang ternyata tak seindah bayangan ketika masih belia

Dariku,
Pecandumu yang kepalanya tiba-tiba dipenuhi berbagai pertanyaan tiap kali kau menghujam bumi.

#30harimenulissuratcinta
#harike-12

9 Feb 2015

Surat Untuk Masa Lalu

Untuk kamu yang hidup di masa lalu.

Tadi malam secara tidak sengaja aku menemukan fotomu dan teman-temanmu di beranda facebookku. Saat melihat itu, aku tidak merasakan apa-apa. Tidak ada debar hebat yang dulu pernah ada. Tidak ada resah gelisah yang dahulu pernah singgah. Aku hanya melihatmu lebih kurus dari biasanya. Itu saja.

Bagaimana kabarmu sekarang? Tak terasa sudah setahun lebih kita tidak lagi bertegur sapa. Di manapun kamu berada, aku harap kamu baik-baik saja dan menjalani hidup yang baik-baik pula. Percayalah bahwa harapku ini tulus adanya.

Tapi, jika yang terjadi adalah sebaliknya, jangan pernah berpikir kalau itu merupakan karma karena kamu dulu pernah melukaiku. Sungguh, jangan pernah berpikir begitu. Jangan pernah merasa bersalah padaku karena aku sudah memaafkanmu.

8 Feb 2015

Teruntuk Lelaki Pendaki

Hai sayang,

Aku tau tugas-tugas itu sangat menyebalkan bagimu.
Aku tau rutinitas itu sangat membosankanmu.
Aku tau kegiatan itu sangat melelahkan tubuhmu.

Sabarkan hatimu sedikit, ya.
Tenang saja, setelah ini kamu bisa mendaki lagi.
Kamu bisa kembali berdiri di puncak-puncak tertinggi,
sembari mengucap syukur pada-Nya atas alam yang sangat kamu cintai.

Jadi, kamu sabar ya.
Jangan cemberut, jangan merengut.
Sebentar lagi kamu akan kembali menjadi pendaki.
Menjadi lelakiku yang peduli, tangguh, dan pemberani.

Salam,
Dariku yang selalu berharap kita bisa mendaki bersama suatu hari nanti.

4 Feb 2015

Pertemuan Setelah 11 Bulan

Bapak ingat kapan pertama kali bertemu saya? Hampir setahun lalu, Pak. Lebih tepatnya akhir bulan maret tahun lalu. Waktu itu, berbekal nama dan sedikit rumor tentang Bapak, saya mencari Bapak di ruang dosen. Kata teman-teman, Bapak adalah dosen baru di jurusan kami yang baru saja menyeselesaikan pendidikan S3 di Australia. Saya masuk ke ruang dosen dan kemudian melihat Bapak sedang menghadap laptop.

Kemudian, setelah memperkenalkan diri bahwa saya adalah mahasiswi bimbingan skripsi Bapak yang baru, saya menyerahkan outline skripsi dan lembar persetujuan dosen pembimbing yang harus Bapak tanda tangan. Saya agak shock ketika Bapak membaca outline saya dengan seksama. Outline yang saya buat dengan asal-asalan lebih tepatnya.

Setelah beberapa lama, saya melihat Bapak mengernyitkan dahi ketika membaca apa yang saya tulis di kertas itu.

"Apa itu analisis wacana?", tiba-tiba Bapak menanyakan hal tersebut pada saya. Jawaban saya? Tentu saja saya terdiam. Secara, saya belum belajar sama sekali tentang analisis wacana.

"Kenapa anda menggunakan analisis wacana kritis?", Bapak menanyakan pertanyaan lainnya yang lebih mematikan. Saya berusaha menjawab sebisa saya. Gelagapan dan berantakan tentunya.

"Loh, kok gak bisa jawab? Saya gak mau tanda tangan kalau Anda gak bisa jawab. Anda pelajari dulu apa itu analisis wacana, baru saya mau tanda tangan," kata Bapak kemudian.

Saya keluar dari ruang dosen dengan keringat dingin. Bingung, takut, dan malu, semua campur aduk jadi satu. Setelah itu, saya belajar mati-matian tentang analisis wacana. Saya gak berani ketemu Bapak lagi, bahkan setelah sebulan dari pertemuan pertama kita itu. Pertemuan yang cukup membuat mental saya jatuh, karena saat itu saya menyadari bahwa dosen pembimbing saya bukan tipikal dosen yang suka tanda tangan asal-asalan.

3 Feb 2015

Tetaplah Bersamaku

Pagi kemarin aku bangun dengan mata sembab. Air mata sisa menangis malamnya (sampai subuh lebih tepatnya) masih terasa di ujung mata. Bersamaan dengan itu, sebuah denting tanda ada pesan masuk di whatsapp membuatku meraba-raba bagian bawah bantal, tempat di mana biasanya ponselku berada.

"Sudah bangun?"

Ternyata pesan itu darimu. Kamu yang menjadi penyebab mataku sembab. Pertengkaran kita pada malam harinya yang berhasil memecah tangisku dengan hebat.

Rasanya sudah tak terhingga jumlah pertengkaran yang pernah terjadi di antara kita. Mulai dari hal-hal sepele sampai dengan hal-hal serius (atau hal-hal sepele yang kemudian berubah menjadi hal-hal serius?). Namun setiap pertengkaran itu belum pernah membuat kita benar-benar berpisah. Meskipun gertakan-gertakan bernada "kita putus saja" itu selalu ada.

Aku tau bahwa kamu mempertahankanku. Aku pun begitu. Sekesal atau semarah apapun aku, sulit sekali membuat keputusan untuk meninggalkanmu. Aku hanya takut menyesal karena menyia-nyiakan kesempatan. Aku hanya takut melewatkan sesuatu yang tidak akan pernah datang dua kali. Aku hanya takut kehilangan kamu yang sampai saat ini masih menjadi yang terbaik yang pernah kumiliki.

2 Feb 2015

Aku Rindu

Untuk Mama yang sudah sebulan berada di ujung Pulau Sumatra.

Mama.
Cepat pulang ya. Aku rindu padamu.
Aku lelah. Aku ingin ada di dalam dekapmu.
Aku takut. Aku ingin di sampingmu, tempat teraman di dunia yang pernah kutau.

Ma, aku tidak suka dengan kalimat, "tidak boleh kemana-mana". Larangan itu malah membuatku semakin ingin pergi jauh darimu, hanya untuk membuktikan bahwa aku sudah dewasa. Aku semakin ingin pergi ke tempat-tempat yang jauh itu untuk mengalahkan semua ketakutan dan meyakinkan bahwa aku bisa.

Aku tau, aku salah. Aku terlalu mementingkan keinginanku, tanpa menghiraukan kecemasanmu. Ma, percayalah, sejauh apapun aku pergi, Mama adalah tempatku pulang. Aku akan selalu kembali ke pangkuanmu. Walaupun asik sendiri dengan duniaku sehingga terkesan melupakanmu, percayalah bahwa namamu akan selalu ada dalam setiap doaku.

Ma, cepat pulang ya. Aku rindu menyantap lezatnya masakanmu.

Salam,
Aku yang mencintaimu dan akan selamanya begitu.

1 Feb 2015

Tuan Kesayangan

Hallo, Tuan Kesayangan.

Apa kabarmu di sana? Bagaimana ujianmu? Sudah rampungkah tugas-tugasmu yang setumpuk itu? Bagaimana juga dengan revisian skripsimu? Apa kamu sudah menyelesaikannya?

Lalu, apa kamu makan tepat waktu? Apa kamu juga tidur dengan cukup? Makan yang banyak, karena aku tidak suka jika pipimu terlalu tirus. Jangan tidur terlalu larut, karena aku pun tidak suka melihat kantung hitam di bawah matamu. Jaga kesehatanmu dengan baik. Jangan sakit-sakit. Jangan terlalu banyak merokok dan minum kopi.

Kenapa? Aku terlalu bawel ya? Aku seperti mamamu yang melarangmu ini dan itu? Percayalah, semua demi kebaikanmu, sayang.