Beberapa
anak di pinggir pantai terlihat sedang membangun istana pasir. Sesekali anak
yang berambut panjang melemparkan pasir ke rambut anak yang berambut keriting.
Anak laki-laki yang sedang berdiri pun tidak kalah usil. Memercik-mercikkan air
pada teman-temannya yang lain. Senyum terulas di bibir mereka. Ah, sangat
menyenangkan ya menjadi mereka? Seolah-olah tidak punya beban kehidupan, tidak ada yang perlu mereka pikirkan.
Sekilas,
mungkin semua orang melihat bahwa mereka, anak-anak itu, memang sedang
berbahagia. Lahir dari keluarga sempurna. Walaupun tidak kaya, tapi cukup untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Bisa membawa anak-anak liburan ke pantai, menyewa
hotel atau vila semalam dua malam untuk keluarga beristirahat.
Ya, setiap
dari kita yang melihat seseorang sedang tertawa, akan selalu menyimpulkan bahwa
orang tersebut mempunyai kehidupan yang sempurna.
Setiap dari
kita sering lupa, bahwa kesempurnaan itu tidak pernah ada. Karena kata sifat
yang satu itu bukan milik kita.
Apa ada
yang mengira bahwa salah satu dari anak yang sedang bermain di pantai tadi, ia
sudah kehilangan ayah sejak kelas 5 SD? Ayahnya meninggal karena kanker lidah
lima tahun yang lalu. Meninggalkannya bersama seorang ibu dan seorang adik
laki-laki yang saat itu masih berusia 6 bulan.
Satu hal
yang harusnya selalu kita ingat, senyum dan tawa itu kadang hanya rekayasa
belaka. Sengaja diciptakan untuk menutupi kesedihan. Karena satu-satunya cara
sederhana untuk bahagia adalah dengan tidak mengingat hal-hal yang bisa membuat
kita sedih.
Cerita lain
tentang seorang teman yang sedang berada di negeri seberang.
Yang orang
lihat dari luar adalah saat ini dia sudah sukses. Berseragam, punya pekerjaan
yang bayarannya (mungkin) dollar, punya peluang besar untuk keliling dunia. Pekerjaan
yang dia jalani saat ini diinginkan oleh jutaan orang di luar sana. Mengingat
betapa sulitnya mencari pekerjaan yang mapan di jaman sekarang.