gambar diambil di sini. terima kasih |
Dalam waktu kurang lebih 2 minggu, saya merasa bahwa saya telah berubah menjadi sosok yang berbeda. Ya, walaupun perubahan itu karena tuntutan profesi sementara yang sedang saya jalani saat ini.
Sebelumnya,
saya bukan orang yang pintar berbasa-basi. Saya gak bisa menyapa orang terlebih
dahulu. Saya bukan tipe yang bisa sok kenal sok dekat. Bisa dikatakan bahwa
saya adalah orang yang tidak cukup ramah.
Saya adalah
tipe yang Uncertainty Avoidance, tidak suka pada ketidakpastian.
Sejak
magang menjadi wartawan, saya dituntut untuk berubah 360 derajat. Saya harus
bisa melakukan pendekatan dengan narasumber, berkenalan dengan orang-orang
baru, menjalin komunikasi sebaik dan se-efektif mungkin.
Saya gak
bisa lagi takut, malu, jaim, apalagi gengsi. HAHAHAHA.
Seperti
waktu saya liputan acara Top Model Busana Muslim di Matos beberapa hari yang
lalu. Saya mendapat tugas untuk mewawancara peserta kategori C usia 14-25
tahun. Sebenarnya saya beruntung mendapat kategori C, karena mayoritas
pesertanya adalah anak SMA ataupun mahasiswa. Tapi bagaimanapun juga, ini
menjadi tantangan tersendiri buat saya.
“Guweh kudu
sok akrab sama mereka, baiklah..”, saya ngomong dalam hati.
Gimana sih
etika yang baik untuk wawancara orang langsung di TKP? Saya ga begitu paham
formulanya sih. Tapi saya berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan
nilai-nilai kesopanan. Menurut saya ini yang paling utama.
Saya
sengaja berdiri di belakang panggung, karena di sanalah tempat peserta
berkumpul. Beberapa peserta ada yang berdiri di dekat saya. Tapi saya gak
berani ngajak ngobrol. Hmpphhh.
Ini mau
wawancara apa mau PDKT sih?
1 menit, 11
menit, 24 menit. Saya masih bergeming. Belum ada satupun peserta yang berhasil
saya wawancara. Gak berani, lebih tepatnya. Saya mulai panik. Satu persatu dari
mereka sudah naik ke atas panggung. Logikanya saya harus wawancara mereka
sebelum mereka tampil. Karena selesai tampil mereka pasti udah pada bubar. Gak
berdiri di belakang panggung lagi. Dan ini tentunya menyulitkan saya.
Kemudian
ada peserta (cowok) berdiri di samping saya. Dia sendirian. Mungkin ini
kelihatan agak aneh. Tapi ini benar-benar
terjadi. Saya langsung mengeluarkan notes kecil dari tas dan menoleh
pada mas-mas tersebut.
“Mas,
permisi.. saya wartawan dari koran X. Boleh minta waktunya sebentar buat
wawancara? Cuma ngobrol-ngobrol aja kok”, akhirnya saya buka suara dan tidak lupa
menunjukkan senyum pepsodent.
Si mas tadi
tersenyum jumawa, “oh iya, boleh mbak”, katanya.
FYI, doi model
lho ya. Dan tentunya dia good looking, ganteng, body oke, dan sederet
point-point lain yang biasanya ada pada seorang model. Lumayan lah ya, buat
vitamin A.
Setelah
itu, terjadilah sesi tanya jawab antara saya dan dia. Kurang lebih seperti ini:
Saya (S):
Boleh tau nama lengkapnya mas?
Dia (D) : Zayn Malik (Nama disamarkan)
S: Owh. Mas
Zayn masih sekolah atau kuliah?
D: Baru
lulus SMA mbak..
S: Ohh baru
lulus.. (duh ternyata masih piyik!), SMA mana dulunya?
D: SMA
Negeri 1 California mbak (nama sekolah disamarkan)
S: Udah
sering ikut lomba2 model gini, dek? (Dari yang awalnya manggil “mas” langsung berubah
jadi “dek”)
D: Belum
mbak, saya gabung di agensi baru 3 bulan (dan entah kenapa logat jawa si adek
Zayn Malik ini semakin kental)
S: Oiya? Agensi mana?
D: Blahblah model mbak
S: Wah.. mau tampil gini nervous gak?
D: Sekarang
udah gak mbak. Dulu masih grogi. Tapi kan latihan terus. Jadinya sekarang udah
biasa
Karena saya
kalau wawancara orang harus sambil nyatet, kadang pertanyaannya saya selingi
dengan pertanyaan-pertanyaan gak penting, sambil nunggu saya selesai nyatet point-point
penting yang udah narasumber ucapkan sebelumnya.
Pertanyaan
selingan contohnya seperti ini:
S: Mau
ngelanjutin kuliah kemana nih rencananya?
D: Ke
Harvard University mbak (nama kampus disamarkan)
Lanjut ke
pertanyaan utama:
S: Persiapannya apa aja dek buat
ikut lomba ini?
D: Ya paling latihan-latihan gitu
mbak. Jalan, pose, blocking, gitu
S: Kalo busana?
D: Busananya udah disiapin designer
mbak
S: Ini busananya ada tema khusus
gak?
D: (Mukanya
bingung. Untung gak sampe garuuk-garuk kepala). Ga ada tema khusus mbak.
Pokoknya busana muslim aja. Hehe
S: (aduh
adek Zayn Malik ini kalo lagi bingung tambah ngegemesin) Oohh gitu ya.. oke
deh, makasih ya atas waktunya, sukses ya dek, semoga menang! (kasih senyum
pepsodent lebih lebar lagi dan kemudian melenggang pergi)
D: Iya mbak
sama-sama (dibales senyum pepsodent juga)
Kurang lebih seperti itulah
percakapan saya dengan salah satu peserta.
Sebenarnya
gak susah sih buat nanya-nanya kayak gitu. Asal udah terbiasa. Bagi saya yang
paling susah adalah untuk memulai. Padahal kalo udah ngobrol ya biasa aja.
Malah jadi wartawan itu menurut saya enak karena tugasnya tinggal nanya. Di
mana-mana yang susah itu ngasih jawaban, ya kan? Apalagi kalau jawaban untuk
orang-orang media. Harus ektra hati-hati. Karena salah ngomong sedikit aja,
urusan ke belakangnya bakal panjang.
Overall, saya suka mewawancarai orang. Apalagi kalau
seumuran. Karena kita ngobrolnya bisa kayak ngobrol sama teman. Dan wartawan
itu bebas mau nanyain apa aja, walaupun kadang keluar dari topik. Hehe
Kata redpel
saya, kalau wartawan bisa menjalin kedekatan emosional dengan narasumber,
mereka pasti mau memberi informasi apapun yang kita mau. Mereka pasti jawab
semua hal yang kita tanya.
Sampai saat
ini, tiap kali selesai mewawancarai narasumber, saya selalu menemukan hal-hal
menarik dari mereka. Mungkin ini karena saya suka baca novel, yang secara tidak
langsung membuat saya tertarik pada apa yang namanya kisah hidup seseorang.
Contohnya
waktu saya sedang menulis artikel tentang anak tunggal, saya mewawancari
beberapa teman saya yang menjadi anak tunggal dalam keluarganya. Dan saya jadi
bisa tau bagaimana perasaan seorang anak tunggal. Apa yang dia rasakan dan apa
yang menjadi beban baginya karena menyandang status sebagai anak tungggal.
Gak cuma
itu, saya juga mewawancarai psikolog untuk meminta pendapatnya tentang pola
asuh yang biasanya diterapkan orang tua pada anak tunggal. Ada banyak
pengetahuan yang saya dapatkan dari hasil ngobrol-ngobrol selama tidak lebih
dari 30 menit itu. Paling gak, saya bisa menerapkan pengetahuan tentang pola
asuh itu pada anak-anak saya nantinya. Eaaaaa.
That’s all
uneg-uneg yang pengen saya bagi disini. Tentang bagaimana asyiknya menghadapi
sesuatu yang baru. Lahir kembali menjadi pribadi berkarakter baru. Keluar dari
zona nyaman yang selama ini kita huni. Kenapa harus takut dengan hal-hal baru?
Karena mungkin saja hal tersebut adalah hal yang menyenangkan :)
itu jawaban wawancaranya kayal banget sumpah! haha. semangat raudh :D
BalasHapuskenapa el? gak terima kalo aku wawancarain zayn malik? hahahaha
BalasHapus