dokumentasi pribadi |
*Foto di
atas diambil kemarin sore, tepatnya hari jumat 15 November 2013 pukul 3 sore,
lokasinya di jalan Gajayana alias di depan gang Kertopamudji.
Beberapa waktu yang lalu, pemkot Malang mengadakan perubahan jalur jalan menjadi searah. Jalan Gajayana dijadikan satu arah, menuju batu. Di Dinoyo juga dijadikan satu arah, menuju Suhat dan Jl. Pandjaitan. Perubahan ini mungkin karena dulu di daerah Dinoyo macetnya naudzubillah (waktu masih dua arah). Memang bukan rahasia umum lagi kalau dari Dinoyo menuju Landungsari, sampai kampus UMM, kendaraan jalannya merayap.
Beberapa waktu yang lalu, pemkot Malang mengadakan perubahan jalur jalan menjadi searah. Jalan Gajayana dijadikan satu arah, menuju batu. Di Dinoyo juga dijadikan satu arah, menuju Suhat dan Jl. Pandjaitan. Perubahan ini mungkin karena dulu di daerah Dinoyo macetnya naudzubillah (waktu masih dua arah). Memang bukan rahasia umum lagi kalau dari Dinoyo menuju Landungsari, sampai kampus UMM, kendaraan jalannya merayap.
Kemudian titik kemacetan bertambah, yakni di pertigaan watu gong sebelah MCD. Ini terjadi setelah pintu gerbang UB di jalan MT.Haryono ditutup karena jembatan Suhat (katanya) mau roboh karena terlalu banyak kendaraan berhenti di atasnya (dulu di sana ada lampu merah). Setelah gerbang MT.Haryono ditutup, akses keluar kampus dialihkan ke gerbang keluar teknik yang mau tidak mau membuat kendaraan memadati jalan watu gong.
Kemudian pemkot Malang menggagas perubahan jalan menjadi jalur searah (mengelilingi UB). Namun jalur searah ini tidak berlaku untuk angkot. Angkot diperbolehkan dua arah seperti biasanya, garis kuning di tepi jalan pun dibuat sebagai penanda bahwa jalur itu untuk angkot.
Perubahan jalan menjadi satu arah, yang awalnya diharapkan akan mengurangi kemacetan di kota Malang, sepertinya tidak membuahkan hasil. Karena menurut saya, kemacetan tidak berkurang, hanya saja titik kemacetannya yang berpindah tempat. Menurut teman-teman, sekarang di depan Matos sampai perempatan ITN macetnya juga Astaghfirullah.
Sebulan
yang lalu (kalau tidak salah), pernah terjadi macet besar-besaran di Malang
(udah kayak demo aja besar-besaran). Tepatnya waktu di Dinoyo katanya ada
karnaval. Kebetulan saya lagi di luar dan menjadi salah satu yang terjebak
macet. Waktu itu saya dari arah ITN, lewat samping sardo, dan mungkin namanya
bukan macet lagi karena kendaraan gak bisa bergerak sama sekali.
Teman saya yang nyetir mulai stress. Katanya dia mau pingsan karena gak kuat sama asap knalpot. Belum lagi bensin motornya udah tinggal sedikit. Rasanya waktu itu pengen minjem baling-baling bambu doraemon.
Macetnya Malang yang semakin hari semakin bertambah ini membuat kita semua pastinya bertanya-tanya, “Kenapa sih kok sekarang macet? Dulu perasaan gak gini-gini banget,”
Menurut saya, penyebab utamanya cuma satu, yaitu jumlah kendaraan yang tidak bisa lagi ditampung oleh jalan yang ada. Ibarat pipa, air yang mengalir jumlahnya lebih besar dari ukuran pipa itu sendiri.
Kadang suka ngeri ngeliat parkiran motor di kampus sekarang. Parkiran mobil juga sih. Keadaannya udah jauh berbeda dari waktu saya masih Maba. Bisa jadi bener kata Raditya Dika di salah satu bukunya, “Mungkin 20 tahun lagi di sebelah tempat tidur kita udah ada sepeda motor parkir,”
Teman saya yang nyetir mulai stress. Katanya dia mau pingsan karena gak kuat sama asap knalpot. Belum lagi bensin motornya udah tinggal sedikit. Rasanya waktu itu pengen minjem baling-baling bambu doraemon.
Macetnya Malang yang semakin hari semakin bertambah ini membuat kita semua pastinya bertanya-tanya, “Kenapa sih kok sekarang macet? Dulu perasaan gak gini-gini banget,”
Menurut saya, penyebab utamanya cuma satu, yaitu jumlah kendaraan yang tidak bisa lagi ditampung oleh jalan yang ada. Ibarat pipa, air yang mengalir jumlahnya lebih besar dari ukuran pipa itu sendiri.
Kadang suka ngeri ngeliat parkiran motor di kampus sekarang. Parkiran mobil juga sih. Keadaannya udah jauh berbeda dari waktu saya masih Maba. Bisa jadi bener kata Raditya Dika di salah satu bukunya, “Mungkin 20 tahun lagi di sebelah tempat tidur kita udah ada sepeda motor parkir,”
***
Kalau mau dilihat dari sudut yang lebih luas, banyaknya kendaraan yang beredar tentu berbanding lurus dengan jumlah penduduk di suatu daerah. Di Malang, tidak perlu diragukan lagi kalau jumlah warga pendatang jauh lebih besar daripada jumlah warga asli. Kebanyakan juga mahasiswa, mengingat ada banyak universitas di kota ini, baik yang negeri maupun yang swasta.
Kenapa saya bisa bilang kalau sebagian besar warga pendatang itu mahasiswa?
Karena setiap weekend atau tanggal merah, jalanan di kerto-kerto (daerah kosan) dan kampus pasti sepi, mahasiswanya banyak yang mudik ke kampung halaman masing-masing. Ini tentu saja membuat saya bisa bernafas sedikit lega, karena bisa berjalan kaki dengan aman tanpa ada motor yang hampir-hampir nyerempet dan bisa nyebrang ke toko depan kosan dengan leluasa (Sekarang mau nyebrang ke toko depan yang cuma beberapa langkah aja susah. Sigh!)
Kampus-kampus yang meningkatkan jumlah penerimaan mahasiswa baru setiap tahun pun membuat saya tidak habis pikir. Maba semakin banyak, Mala juga semakin menumpuk. Yang masuk setiap tahun ada belasan ribu, yang diwisuda setiap tahun mungkin gak nyampe setengahnya. Input dan output yang gak seimbang. Gimana Malang gak makin ‘penuh’ coba?
Kalau mau positive thinking, mari kita berpikir bahwa penerimaan jumlah mahasiswa baru yang selalu ditingkatkan itu bertujuan untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia. Memperluas kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Well, ini nanti hubungannya jadi ke pertumbuhan penduduk yang tidak lagi terkendali. Karena semakin banyak orang yang punya anak, maka memang semakin banyak anak yang harus sekolah.
***
Balik lagi ke masalah macet. Jadi solusi untuk menekan jumlah kendaraan bermotor gimana?
Ini masalah rumit. Gak bisa dilihat dari satu aspek aja. Di satu sisi, orang mengumpat yang namanya macet. Di sisi lain, ada orang-orang yang bersyukur dengan adanya macet, karena dagangannya jadi laku. Di satu sisi, keramaian membuat orang sumpek, di sisi lain ada yang mendapatkan rejeki dari keramaian itu.
Tapi menurut saya ada dua cara gimana menghadapi macet.
Pertama, sabar aja, gak usah ngeluh, dan gak usah protes gara-gara jalan satu arah. Karena mau jalan satu arah, dua arah, bahkan seribu arah sekalipun akan tetap macet kalau jumlah kendaraan melebihi daya tampung jalan. Memperlebar jalan juga gak mungkin, emangnya mau gusur ruko? Oh iya lupa, masih ada hak pejalan kaki alias trotoar yang bisa digusur. Pejalan kaki yang jumlahnya segelintir memang tidak pernah dipikirkan. *nunduk sedih*
Kedua, kesadaran diri dengan meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor, pergi ke tempat-tempat yang masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki/sepeda ontel/kendaraan umum. Saya lihat masih banyak mahasiswa yang kosannya udah di belakang kampus, tapi masih naik sepeda motor. Kosan saya yang-cuma-beberapa-langkah-dari-kampus aja parkiran kosnya penuh. Hmppph.
But I guess, gak ada yang mau milih salah satu cara di atas. Dua pilihan di atas sama-sama gak enaknya. Iya, manusia itu tipe selalu mau yang praktis, cepet, nyaman, gak mau capek, gak mau susah, tapi protes dan ngeluh terus.
Jadi kita tetep ngotot pengen naek kendaraan pribadi, mengeluh karena macet, padahal kita juga berperan membuat macet dengan memadati jalan. Ini lucu ya?
Saya rasa gak adil kalau cuma menyalahkan pemerintah, karena gimana pun juga pengguna jalan berperan dalam menimbulkan kemacetan. Terlebih untuk mereka yang parkir sembarangan ataupun yang suka mengambil jalur orang seenaknya. Kita masih susah buat disiplin dan taat aturan.
Jadi, macet ini salah siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D