31 Okt 2015

Rumah Kedua

Unforgettable Moment. Kita semua pasti memilikinya. Dan diusiaku saat ini ada banyak sekali unforgettable moment yang kumiliki, salah satunya adalah momen pertama kali aku bertemu dan mengenal teman-temanku di Kompas.

Yes, I've talked them so many times here, and I never get bored to write down all of about them, about us, again and again and again.

Menjadi anggota Kompas sama sekali bukan sesuatu yang kuinginkan, apalagi direncanakan. Mendaftar di Kompas murni karena kecelakaan alias tidak sengaja. Memang ya ada kalanya hal-hal yang berawal iseng itu akan menjadi sesuatu yang mengejutkan di hidup kita. Sesuatu yang mulanya tidak sungguh-sungguh kita lakukan bisa saja berubah menjadi sesuatu yang sangat kita sukai di masa depan. Kalau kata orang, keseriusan biasanya berawal dari ke-tidak-serius-an.

Aku masih bisa mengingat dengan sangat jelas bagaimana malam itu pertama kalinya aku bertemu dengan anak-anak Kompas. Pada acara gathering pertama di samping GKB. Aku yang datang sendirian dengan canggungnya memperhatikan satu-persatu orang-orang di situ, di mana sebagian besar dari mereka adalah laki-laki. Aku hanya melihat 2 perempuan berseragam Kompas di sana. Sedangkan untuk anggota-anggota baru, aku juga melihat pemandangan yang sama. Sebagian besar teman-teman baruku adalah belasan laki-laki dan tiga orang perempuan.

Glek.
Aku menelan ludah.

Saat itu aku sangsi bahwa aku bisa berteman dengan mereka, karena sejak bangku sekolah aku lebih terbiasa dengan teman perempuan. How to make a friend with boy? I really dont know.

Pada saat sesi perkenalan, ada salah satu anggota Kompas (perempuan) yang sepertinya merasakan kecemasanku. Mbak Uli, malam itu mengatakan, "Buat yang cewek-cewek berempat ini, gak usah takut karena di sini banyak cowoknya. Di kelilingi cowok-cowok itu enak kok, berasa dilindungi". I noted it well, for suggest my self that I'll be okay with them.

Di awal-awal kumpul sama anak-anak Kompas aku sangat canggung. Aku tidak tau apa yang harus kukatakan, aku tidak mengerti bagaimana  caranya bisa masuk ke dalam pembicaraan teman-teman baruku. Akhirnya, aku memilih untuk menjadi pendengar saja, sesekali ikut tertawa mendengar jokes yang mereka lontarkan. Saat itu aku sudah bisa merasakan betapa serunya pertemanan di kalangan laki-laki, karena mereka sangat suka berbagi cerita-cerita yang lucu dan konyol.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku semakin terbiasa dengan mereka. Aku bisa terlibat dengan percakapan mereka, aku tertawa pada candaan mereka, dan aku juga curhat pada mereka. Hhhhh.

Satu perbedaan yang kutemukan ketika curhat pada teman laki-laki adalah, they won't take it seriously. Kalau curhat sama teman perempuan biasanya bakal di-sabar-sabar-in dengan kalimat, "Sabar ya, Rau, lalala lilili lululu", tapi kalo curhat sama mereka yang ada bakal diketawain dulu. Setelah puas ngetawain, baru mereka akan memberikan saran-saran yang logis, yang lagi-lagi mengisyaratkanku untuk tidak memikirkannya terlalu rumit dan serius.

I envy with you boys, why you can see everything in simple way?

Dan ini yang membuatku semakin betah berteman dengan mereka. Mereka punya peran yang sangat penting untuk mengurai benang-benang kusut di kepalaku. Berbeda dengan teman-teman perempuan yang biasanya lebih ahli membuat masalah yang sudah drama menjadi semakin drama. Hhhhh.

Selain itu, teman-temanku ini juga sangat membantu saat pendakian. Mereka punya peran penting dalam setiap perjalananku menjejakkan kaki di puncak-puncak tertinggi.

Mereka yang menemani, melindungi, menjagaku selama perjalanan. Mereka yang akan menghibur dengan cerita-cerita konyol di saat muka udah ditekuk karena udah capek jalan. Mereka yang perhatian setiap kali aku terpeleset jatuh dengan mencarikan obat untuk kakiku yang terkilir atau mengambilkan vitamin saat wajahku pucat karena kelelahan. Mereka yang memberi semangat di saat kakiku sudah ingin menyerah untuk melangkah. Bahkan mereka yang membawakan carrier saat aku sakit dan tidak kuat lagi berjalan. Hal-hal ini yang kemudian membuatku merasa bahwa aku berhutang banyak pada mereka.

Sekian tahun berteman dengan mereka, tidak pernah sekalipun mereka menyentuhku atau melakukan hal-hal yang tidak sopan padaku. Mereka sangat menghormatiku dan membuatku semakin merasa beruntung mengenal mereka. Setiap kali aku bersama mereka, aku merasa aman dan nyaman. Ini adalah perasaan yang tidak selalu bisa kita temukan dalam suatu lingkar pertemanan. Bersama mereka aku bisa cerewet dan bisa menjadi pendiam dalam waktu yang sama, dan mereka seolah mengerti dengan perubahan mood-ku yang mirip roller coaster itu.

Menjadi mahasiswa FISIP, jurusan ilmu komunikasi, angkatan 2010. I have no regret at all. Kenapa? Karena seandainya saja kalau aku bukan anak FISIP, seandainya saja aku menjadi anak FE, jurusan manajemen, angkatan 2009, mungkin kehidupan perkuliahanku akan biasa-biasa saja seperti orang-orang pada umumnya. Aku tidak akan bertemu dengan teman-teman di Kompas yang luar biasa. Aku tidak akan mendapatkan pengalaman-pengalaman seru, menegangkan, dan lucu.

Di Kompas, aku menemukan lebih dari apa yang orang bilang sebagai pertemanan.

Di sini, aku seperti bertemu keluarga.

Bagiku, mereka adalah rumah kedua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D