People from social
science backgrounds are educated to learn about people and accept the limitless
possibility of diversities that every human has. They learn how to distance
themselves, how to be objective. It’s rare to see someone from social science
judge people based on religious view, political, view, or gender preference.
Saya menemukan paragraf di atas saat sedang membuka ask.fm
(tapi lupa siapa yang menulisnya), dan sebagai mantan anak FISIP, I absolutely agree with those idea.
Sejak duduk di bangku kuliah, satu hal yang saya sadari
bahwa pendidikan yang sedang saya tempuh akan membentuk pola pikir, karakter,
dan kepribadian saya di masa depan. Kenapa? Karena ilmu sosial dipelajari di
atas paradigma. Paradigma adalah posisi kita dalam melihat sesuatu. Orang-orang
di ranah sosial kuat sekali dengan hal-hal seperti ini. Kami dilatih untuk
mengkaji berbagai macam pemikiran. Kami tidak mengenal bahwa sesuatu itu
“benar” atau sesuatu itu “salah”, sebab segala sesuatunya tergantung dari arah
mana dan bagaimana “sesuatu” itu dipandang.
Dulu ketika saya ingin memilih jurusan, Papa berpesan untuk
mencari jurusan yang setidaknya dapat berguna untuk diri saya sendiri. Jurusan
yang seandainya tidak membuat saya mendapat pekerjaan, paling tidak ilmunya
bisa saya gunakan saat membangun keluarga (halah). Inilah salah satu
pertimbangan yang saya pakai saat memasukkan Ilmu Komunikasi sebagai salah satu
pilihan jurusan, and I have no regret at
all. Karena sekarang, setelah saya lulus, saya merasakan manfaatnya. Saya
menjadi pribadi yang tidak mempermasalahkan perbedaan, open minded, dan berusaha untuk mengerti apa yang orang lain
pikirkan (njiiss, ini kok pede banget yah muji diri sendiri. Hahahah. Hey, but it’s the truth :p).
Waktu kuliah, kelas saya kebanyakan berbentuk kelas diskusi. Dosen melempar isu kepada mahasiswa, kemudian mahasiswa mendiskusikan isu yang bersangkutan. Debat, beda pendapat, bukan hal yang asing lagi. Apalagi kalau isunya menarik, lagi booming di kalangan anak muda, debatnya bisa tambah alot. Tapi kalau isunya terlalu berat dan gak asik, biasanya kita juga lebih milih bungkam sih. Cek ndang mari, ndang wes, ndang mulih. Hahaha. Jadi intinya gitu, karena dari jaman kuliah udah sering dihadapkan pada situasi adu argumen, kami anak-anak sosial biasanya lebih bisa menerima perbedaan.
Saat mengerjakan skripsi beberapa waktu yang lalu, saya
menemukan sebuah pemikiran yang menurut saya sangat menarik. Pemikiran ini
datang dari seorang ilmuwan bernama Michel
Foucault. Hal yang paling saya ingat dari segambreng penjelasan tentang
teori Kekuasaan dan Pengetahuan milik Foucault
adalah sebaris kalimat yang berbunyi seperti ini.
“Sesuatu dianggap salah karena kebenaran telah diasumsikan
terlebih dahulu,”
Dari kalimat tersebut terlihat dengan jelas bahwa
“kebenaran” lahir terlebih dahulu. Kita bisa mengatakan sesuatu itu salah jika
sebelumnya kita sudah tau bagaimana yang benarnya. Ketika sesuatu dianggap
salah oleh masyarakat, artinya standar kebenaran sudah ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat itu sendiri. Beri contoh, perempuan katanya harus bisa
masak. Ini kebenaran yang dibentuk di masyarakat kita. Oleh karena itu,
perempuan yang gak bisa masak dianggap sebagai suatu kesalahan.
Nah, anak ilmu sosial yang baik dan benar biasanya akan
berusaha untuk menghindar dari judgement-judgement
seperti ini. Terkait masalah gender misalnya, laki-laki harus lalala lilili
lululu dan perempuan harus begini begitu beginu. Nggak, haram hukumnya untuk
anak ilmu sosial melakukan stereotype.
Kita dituntut untuk objektif dan mencari tau bagaimana stereotype tersebut bisa muncul. Karena yang anak sosial tau adalah
bahwa di masyarakat itu ada yang namanya kontruksi realitas.
Segala sesuatu yang oleh masyarakat dianggap benar, segala
sesuatu yang dipandang sebagai realitas, sebenarnya merupakan bentukan dari
masyarakat itu sendiri. Konstruksi itu prosesnya panjang, turun temurun dari
nenek moyang, sehingga setelah sekian lama realitas ini dikonstruksi, maka
lama-lama akan menjadi sesuatu yang taken
for granted. Sesuatu yang sudah dari sananya, tanpa dipertanyakan lagi
kebenarannya. Dan tugas anak ilmu sosial adalah mempertanyakan kembali hal-hal
tersebut.
Sejak hijrah ke pendidikan yang berlatar belakang ilmu
sosial (karena waktu SMA saya ambil IPA), saya juga melihat banyak sekali perbedaan
karakter yang dimiliki oleh anak sosial jika dibandingkan dengan anak eksakta.
Di sini gak ada yang lebih baik atau yang lebih buruk. Dua-duanya punya
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut saya kalau anak eksakta mungkin
kelebihan mereka ada pada skill atau hal-hal yang sifatnya praktikal. Kalau
anak sosial lebih mengarah pada analisis dan pola pikir. Tergantung kita yang
minatnya ke mana. Kalau saya pribadi cenderung ke sosial karena saya suka
mengamati orang.
Jadi pokoknya gak rugi punya pasangan anak ilmu sosial, soalnya
kami biasanya objektif, open minded, gak kolot, dan punya skill
pengertian di atas rata-rata. Huahahaha.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
BalasHapusSebenarnya kembali ke karakter masing-masing juga, pembentukan karakter dalam ilmu sosial memang baik tetapi ada juga yang menolak dibentuk.
Salah satu masalah dunia yang paling besar memang masih soal paradigma benar salah, ini dan itu.
Tulisan yang bagus, blognya juga asik :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Hai Ron,
BalasHapusKalau ada yang menolak untuk dibentuk, pastinya dia tidak akan bertahan dalam ranah pendidikan tsb. Tapi selama dia bertahan, disadari atau tidak pendidikan itu pasti akan membentuk karakternya.
Anyway, terima kasih sudah membaca ya :)