20 Okt 2015

Kesehatan: Hal Kecil yang Luput dari Perhatian

Sejak Papa sakit, aku mulai peduli dengan kesehatan. Aku mengatur sedemikian rupa pola makan, olahraga, dan istirahat. Sebenarnya ini udah program dari sebelum wisuda sih, aku niat banget mau nurunin berat badan supaya bisa canthique gitu waktu pake kebaya. Muahahaha. Yaah, sayangnya waktu wisuda belum terlalu banyak turunnya. Alhasil, kebayanya cuma dikecilin bagian pinggang aja sekitar 2 cm :(

Hari berganti hari, bulan berganti nama, dan cobaan hidup yang datang tanpa aba-aba (halah), akhirnya membuat jarum timbangan bergeser ke kiri. Lumayan jauh dari ukuran biasanya. Apalagi ditambah sama puasa trus patah hati juga :(

Waktu itu udah mulai dapet komentar dari temen-temen, “Rau, kok kurusan?”, yang cuma bisa kurespon dengan, “kurusan apanyaaa, perasaan tetep aja segini aja dari dulu,” padahal hati udah berbunga-bunga gara-gara dibilang kurusan. Uhuy.

Kemudian aku pergi ke Jogja pada bulan Agustus. Ini pengalaman backpacker-an pertama dengan dana seminim-minimnya. Selama di Jogja, ke mana-mana seringnya jalan kaki. Pokoknya, sekiranya masih sanggup jalan kaki, maju terus pantang mundur. Tiap malam jalan kaki di malioboro dari ujung ke ujung, pernah juga jalan kaki ke nol kilometer (dari penginapan yang letaknya di gang pertama dari jalan masuk ke kawasan Malioboro), bahkan sampe jalan kaki ke daerah yang banyak jual buku bekasnya (semacam Wilis-nya Malang). Walaupun pulang-pulang ke penginapan betis rasanya udah sebesar konde, saking pegelnya, tapi gapapa. Paling nggak pulang dari Jogja berasa makin kurusan. Huahaha.


Kemudian pada suatu hari di bulan September, ada temen SMA yang sekarang udah jadi guru olahraga komen foto profil BBM-ku.

“Weeeehh, kurusaaaaan,”

“Iya moooo, turun 7 kg tauuuk *bangga*”

“Arapah ben? (baca: kenapa kamu?) Diet?”

“Hahahah.. gak sih.. diet gak sengaja :p”

“Hahaha.. tambah seksi ya sekarang,”

“Lhooo, udah dari dulu keleuss”

“Hahahhah”

“Eh, mo, ngitung bb ideal gimana?”

“Gampangnya, tinggi badan-110”

“Kalo tinggiku 165 berarti idealnya 55, gtu?”

“Iyeees, segitu idealnya,”

“Yah, idealnya gak bisa 55+5 gtu mo? Atau +7?

“Yeeeh, naber ben (baca: malah nawar kamu). Maksimalnya 55+2”

“Yaaah… +7 deh mo. Kalo 55 nanti aku dikira sakit ama orang-orang,”

Dan percakapan tawar menawar berat badan ideal itu berlanjut sampai tengah malam, sampai kami berdua ketiduran.

Anyway, ini emang penurunan paling drastis sepanjang sejarah. My ex will be so proud of me (eh). Dulu walaupun makan udah dikit (atau dikit-dikit makan?), banyak gerak, naik-turun gunung, tetap aja jarum timbangan gak bergerak ke kiri. Seriuously, waktu masih aktif pendakian, bb gak pernah turun. Sepertinya memang tidak ada korelasi antara pendakian sama nurunin berat badan ya. Gimana mau kurusan wong pendakian itu olahraga yang paling menyenangkan dan yang paling gak kerasa ngeluarin keringetnya. Walaupun waktu jalan bakar kalori, tapi di atas sana tetep aja pesta makanan :3

Kalau sekarang, masalah makanan ini memang aku atur banget. Kalau pagi biasanya makan oatmeal ama pisang (kalo udah bosen baru makan nasi), siang makan buah-buahan, sore makan nasi dengan porsi sedikit dan sayur yang banyak, malemnya makan sayur-sayuran lagi. Banyak minum air putih, terus pagi-pagi jogging, dan sangat mengurangi makanan/minuman yang manis-manis soalnya udah manis sih. And it works for me. Alhamdulillah.

Emang diet itu gak beda jauh ama move on, cuma butuh niat dan kebulatan tekad (tsah).

Ohiya ada satu lagi, yaitu: jauh-jauh dari Indomie.

Ceritanya sekarang aku lagi puasa Indomie. Sebagai pecinta berat Indomie, it’s the hardest thing I have to do. Soalnya dari dulu aku gak bisa jauh dari makanan yang satu ini. Tapi karena sekarang ceritanya lagi niat banget, dengan berat hati hubungan dengan Indomie yang sudah terjalin dari kecil harus kuakhiri sampai di sini.

Gapapa Rau, demi kesehatan.

*sugesti diri sendiri*

*dadah-dadah sama indomie*

Tapi semua ini sebenarnya gak semata-mata demi #RaudhaMenujuLangsing2016 sih, tapi karena kesehatan juga. Apalagi orang tua dua-duanya ada diabetes, dan aku punya potensi besar untuk kena diabetes juga.

Di dunia ini anak mana yang gak sedih ngeliat orang tuanya sakit, dan aku tidak mau kalau nanti anakku merasakan apa yang kurasakan.

I really learn so many things sejak Papa sakit, terlebih ketika beberapa waktu yang lalu sibuk dengan rumah sakit. Banyaknya pemandangan-pemandangan miris yang kutemukan di rumah sakit mengingatkanku akan begitu penting dan berharganya kesehatan. Belum lagi biaya rumah sakit yang bikin sakit kepala. Pokoknya slogan “sehat itu mahal” memang benar adanya.

Akhir kata, kiranya mulai saat ini kita tidak lagi meremehkan hal-hal kecil seperti pola makan, istirahat yang cukup, olahraga, no drugs/alcohol/smoke dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesehatan. Karena hal-hal kecil ini efeknya untuk jangka panjang. Alangkah indahnya kalau kita bisa menikmati hari tua bersama anak cucu tercinta dalam keadaan sehat kan? Ada amin?

Sekian tulisan kali ini. Wassalam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D