19 Okt 2013

Watch Over You

gambar dipinjam di sini. terima kasih

Bus hampir berjalan, dan tiba-tiba seorang pria duduk menempati kursi di sebelahku.

Aku meliriknya. Pria itu meletakkan ransel di bawah kursi dan tangan kanannya membawa helm hitam. Kemudian ia memakai masker yang baru saja dikeluarkan dari dalam ransel. Pria yang sedang duduk di sebelahku ini, memiliki wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang kukenal.

Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Bus berjalan perlahan keluar dari terminal.

Aku terus memperhatikan gerak-gerik pria yang duduk di sebelah kananku ini. Ia menggunakan jaket berwarna abu-abu. Di pergelangan tangan kirinya melingkar sebuah jam berwarna hitam. Ia merogoh kantung jaket sebelah kirinya, lalu mengeluarkan ponsel layar sentuh berukuran kurang lebih 3,5 inch. Untuk beberapa saat, ia sibuk mengetukkan jari-jarinya pada ponsel berwarna hitam itu. Tampaknya ia sedang mengirim pesan singkat.

Aku kembali menatap jendela. Pria ini sungguh sangat mirip dengannya. Sesaat aku berpikir, jangan-jangan yang duduk di sampingku saat ini benar-benar dia? Tapi apa mungkin aku tidak bisa mengenalinya di dunia nyata?

Kondektur bus mulai berjalan menarik karcis dari setiap penumpang. Sampai pada giliranku, “Pasuruan, pak”, ucapku sambil menyerahkan selembar uang. Kemudian tiba giliran pria di sampingku ini membayar. “Probolinggo”, katanya singkat.

Deg, jantungku berdetak. Arah yang sama dengan kotanya. Tanpa kusadari aku menggelengkan kepala. Semuanya terlalu mirip, mulai dari wajah, benda-benda yang ia gunakan, hingga arah kota yang ia tuju.

Aku semakin penasaran. Aku harus bisa melihat wajah pria ini dengan jelas.

Aku tidak bisa menoleh ke arahnya secara langsung. Lagipula ia menggunakan masker. Sulit untuk mengenali seseorang yang sebagian wajahnya tertutup. Aku pun  hanya bisa meliriknya dari samping.

Kemudian aku agak menegakkan posisi duduk, menyandarkan punggung ke kursi agar bisa sedikit menoleh ke arahnya.

Tangan kirinya masih menggenggam ponsel. Sepertinya ia sedang menunggu balasan. Beberapa kali kulihat ia melirik jam tangan. Beberapa saat kemudian, lampu ponselnya menyala. Ia pun kembali mengetikkan sesuatu pada layar.

Pria di sampingku ini sepertinya memang bukan dia. Karena tidak ada alasan untuk dia ke Malang. Kalaupun ada, dia pasti mengatakannya padaku. Lagipula aku selalu percaya, sendainya aku dan dia bertemu (secara tidak sengaja), kami pasti bisa saling mengenali.

Aku mencoba untuk tidak memikirkannya, tidak memikirkan mengapa pria di sampingku ini begitu mirip dengan dia. Aku mengalihkan pikiran dengan mengeluarkan ponsel, mengecek semua notifikasi yang masuk ke akun sosial yang ku punya, membalas pesan singkat dari mama dan seorang teman.

Jalan sore itu lumayan padat. Busku berjalan sangat pelan. Aku melihat ke sekitar dan menyadari bahwa bus ini sedang merayap di atas jembatan Lawang. Aku melirik lagi pria yang duduk di sebelahku. Ternyata ia tertidur dengan kepala tertunduk. Telinganya pun sudah tersumbat headset bluetooth berwarna putih.

Beberapa kali kurasakan bahunya bersinggungan dengan bahuku. Tubuhnya oleng ke arahku tiap kali bus belok ke kanan. Kepalanya yang masih tertunduk pun hampir terantuk bangku yang ada di depan. Pria ini tertidur dengan tangan kiri yang masih menggenggam ponsel.

Tiba-tiba ide cemerlang muncul di kepalaku. Ada sisi lain dari diriku yang sangat ingin memastikan bahwa pria ini memang bukan dia.

Aku mengambil ponsel, membuka sebuah aplikasi chat (Line), dan mengirim pesan singkat padanya.

“Lg dmn?”

Aku melirik ponsel di tangan kiri pria ini. Lampunya tetap redup. Tidak ada tanda-tanda ponsel itu menerima notifikasi apapun. Ah bisa saja dia sedang tidak mengaktifkan koneksi internet, pikirku.

Bagaimana kalau aku coba menelponnya? Aku menelusuri namanya dalam daftar kontak. Beberapa saat kuperhatikan deretan angka yang tertera di sana. Lalu aku menekan tombol ‘back’, mengurungkan niat untuk menghubunginya.

Lupakan saja. Pria ini pasti bukan dia. Dia tidak mungkin ada di sini. Aku tidak mungkin bertemu dengannya melalui kebetulan yang seperti ini. Tidak mungkin di dalam bus ini dan juga tidak mungkin saat ini. Aku berusaha meyakinkan diri.

***

Aku mengambil headset di ransel dan menyumbatkannya ke telinga. Alterbridge pun menyanyikan Watch Over You-nya.

Who is gonna save you when I'm gone?
And who'll watch over you when I'm gone?

Aku mengartikan bait demi bait lirik lagu itu. Arti yang sudah kucari tau sejak pertama kali aku mengenal lagu itu. Saat pertama kali dia menyuruhku untuk mendengarkan lagu itu.

"Siapa yang akan menyelamatkanmu saat aku tidak ada? Siapa yang akan menjagamu saat aku pergi?"

Berulang kali aku meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja. Ada atau tidak adanya dia, aku akan baik-baik saja. Dan akan begitu selamanya.

Aku percaya bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Ada hal-hal yang mau tidak mau harus kita relakan. Dan dalam duniaku, dia adalah seseorang yang harus ku lupakan.

***

Bus hampir sampai di perempatan di mana aku harus turun. Aku melewati pria yang duduk di sebelahku dengan mengucapkan “permisi” sebelumnya. Aku sempat melihat kedua matanya. Pria itu memang bukan dia. Perasaan lega muncul seketika.

Aku melangkahkan kaki di aspal. Lalu bus itu berjalan pelan melewatiku. Dari tempatku berdiri, aku masih memperhatikan pria yang tadi duduk di sampingku. Kini ia duduk di dekat jendela yang tadi kutempati. Kepalanya tersandar di jendela. Sepertinya ia berencana untuk melanjutkan tidurnya.

Snow is on the ground
Winters come
You long to hear my voice
But I'm long gone

Bersamaan dengan berlalunya bus beserta seorang pria yang mengingatkanku padanya, aku mengartikan bait terakhir lagu yang masih mengalun di telinga.

Salju berjatuhan. Musim dingin datang. Kau rindu mendengar suaraku. Tapi aku telah lama pergi..”

2 komentar:

Leave your comment here :D