gambar dipinjam di sini. terima kasih |
Bus hampir berjalan, dan tiba-tiba seorang pria duduk
menempati kursi di sebelahku.
Aku meliriknya. Pria itu meletakkan ransel di bawah
kursi dan tangan kanannya membawa helm hitam. Kemudian
ia memakai masker yang baru saja dikeluarkan dari dalam ransel. Pria yang sedang duduk di sebelahku ini, memiliki
wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang kukenal.
Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Bus berjalan perlahan keluar dari
terminal.
Aku terus memperhatikan gerak-gerik pria yang duduk di sebelah kananku ini. Ia menggunakan jaket berwarna
abu-abu. Di pergelangan tangan kirinya melingkar sebuah jam berwarna hitam. Ia merogoh kantung jaket sebelah kirinya, lalu mengeluarkan ponsel layar
sentuh berukuran kurang lebih 3,5 inch. Untuk beberapa saat, ia sibuk
mengetukkan jari-jarinya pada ponsel berwarna hitam itu. Tampaknya ia sedang mengirim pesan singkat.
Aku kembali menatap jendela. Pria ini sungguh
sangat mirip dengannya. Sesaat aku berpikir, jangan-jangan yang duduk di sampingku saat ini benar-benar dia? Tapi apa
mungkin aku tidak bisa mengenalinya di dunia nyata?
Kondektur bus mulai berjalan menarik karcis dari
setiap penumpang. Sampai pada giliranku, “Pasuruan, pak”, ucapku sambil
menyerahkan selembar uang. Kemudian tiba giliran pria di sampingku ini membayar.
“Probolinggo”, katanya singkat.
Deg, jantungku berdetak. Arah yang sama dengan kotanya. Tanpa kusadari aku menggelengkan kepala. Semuanya terlalu mirip, mulai dari wajah, benda-benda yang ia gunakan, hingga arah kota yang ia tuju.
Aku semakin penasaran. Aku
harus bisa melihat wajah pria ini dengan jelas.
Aku tidak bisa menoleh ke arahnya secara langsung. Lagipula
ia menggunakan masker. Sulit untuk mengenali seseorang yang sebagian wajahnya
tertutup. Aku pun hanya bisa meliriknya dari samping.
Kemudian aku agak menegakkan posisi duduk, menyandarkan
punggung ke kursi agar bisa sedikit menoleh ke arahnya.
Tangan kirinya masih menggenggam ponsel. Sepertinya ia
sedang menunggu balasan. Beberapa kali kulihat ia melirik jam tangan. Beberapa
saat kemudian, lampu ponselnya menyala. Ia pun kembali mengetikkan sesuatu pada
layar.
Pria di sampingku ini sepertinya memang bukan dia.
Karena tidak ada alasan untuk dia ke Malang. Kalaupun ada, dia pasti mengatakannya
padaku. Lagipula aku selalu percaya, sendainya aku dan dia bertemu (secara
tidak sengaja), kami pasti bisa saling mengenali.
Aku mencoba untuk tidak memikirkannya, tidak
memikirkan mengapa pria di sampingku ini begitu mirip dengan dia. Aku mengalihkan pikiran dengan mengeluarkan ponsel,
mengecek semua notifikasi yang masuk ke akun sosial yang ku punya, membalas pesan
singkat dari mama dan seorang teman.
Jalan sore itu lumayan padat. Busku berjalan sangat
pelan. Aku melihat ke sekitar dan menyadari bahwa bus ini sedang merayap di atas
jembatan Lawang. Aku melirik lagi pria yang duduk di sebelahku. Ternyata ia tertidur
dengan kepala tertunduk. Telinganya pun sudah tersumbat headset bluetooth
berwarna putih.
Beberapa kali kurasakan bahunya bersinggungan dengan
bahuku. Tubuhnya oleng ke arahku tiap kali bus belok ke kanan. Kepalanya yang masih
tertunduk pun hampir terantuk bangku yang ada di depan. Pria ini
tertidur dengan tangan kiri yang masih menggenggam ponsel.
Tiba-tiba ide cemerlang muncul di kepalaku. Ada sisi lain dari diriku yang sangat ingin memastikan bahwa pria ini memang bukan dia.
Aku mengambil ponsel, membuka sebuah aplikasi chat (Line),
dan mengirim pesan singkat padanya.
“Lg dmn?”
Aku melirik ponsel di tangan kiri pria ini. Lampunya
tetap redup. Tidak ada tanda-tanda ponsel itu menerima notifikasi apapun. Ah bisa
saja dia sedang tidak mengaktifkan koneksi internet, pikirku.
Bagaimana kalau aku coba menelponnya? Aku menelusuri namanya
dalam daftar kontak. Beberapa saat kuperhatikan deretan angka yang tertera di
sana. Lalu aku menekan tombol ‘back’,
mengurungkan niat untuk menghubunginya.
Lupakan saja. Pria ini pasti bukan dia. Dia tidak
mungkin ada di sini. Aku tidak mungkin bertemu dengannya melalui kebetulan yang
seperti ini. Tidak mungkin di dalam bus ini dan juga tidak mungkin saat ini. Aku berusaha meyakinkan diri.
***
Aku mengambil headset di ransel dan menyumbatkannya
ke telinga. Alterbridge pun menyanyikan Watch
Over You-nya.
Who is gonna save you when I'm gone?
And who'll watch over you when I'm gone?
And who'll watch over you when I'm gone?
Aku mengartikan bait demi bait lirik lagu itu. Arti
yang sudah kucari tau sejak pertama kali aku mengenal lagu itu. Saat pertama
kali dia menyuruhku untuk mendengarkan lagu itu.
"Siapa yang akan menyelamatkanmu saat aku tidak ada? Siapa yang akan menjagamu saat aku pergi?"
Berulang
kali aku meyakinkan diri bahwa aku baik-baik saja. Ada atau tidak adanya dia,
aku akan baik-baik saja. Dan akan begitu selamanya.
Aku percaya bahwa di dunia ini ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan. Ada hal-hal yang mau tidak mau harus kita relakan. Dan dalam duniaku, dia adalah seseorang yang harus ku lupakan.
***
Bus
hampir sampai di perempatan di mana aku harus turun. Aku melewati pria yang
duduk di sebelahku dengan mengucapkan “permisi” sebelumnya. Aku sempat melihat
kedua matanya. Pria itu memang bukan dia. Perasaan lega muncul seketika.
Aku
melangkahkan kaki di aspal. Lalu bus itu berjalan pelan melewatiku. Dari
tempatku berdiri, aku masih memperhatikan pria yang tadi duduk di sampingku.
Kini ia duduk di dekat jendela yang tadi kutempati. Kepalanya tersandar di
jendela. Sepertinya ia berencana untuk melanjutkan tidurnya.
Snow is on the
ground
Winters come
You long to hear my voice
But I'm long gone
But I'm long gone
Bersamaan dengan berlalunya
bus beserta seorang pria yang mengingatkanku padanya, aku mengartikan bait terakhir
lagu yang masih mengalun di telinga.
“Salju berjatuhan. Musim dingin datang. Kau rindu mendengar suaraku. Tapi aku telah lama pergi..”
wazt....
BalasHapusbagus banget.....
mirip crita ku,,,,,,palang...
BalasHapus