1 Agu 2013

Kerja Apa Ya?

gambar dipinjam di sini . trims
Menyandang status sebagai mahasiswa tingkat atas (jangan sebut tua!), akhirnya membuat saya berpikir, "mau kemana setelah ini?". Dan saya yakin, ribuan mahasiswa tingkat atas lainnya juga memikirkan hal yang sama seperti saya. 

Mau kemana? Mau jadi apa? Mau kerja di mana? Kerja apa nikah dulu ya? *eh

Dulu saya pikir jadi dokter itu yang paling enak. Tapi ternyata dokter itu di masa depan 90% kehidupannya di rumah sakit. Dan menurut saya, pekerjaan yang memaksa kita berada di satu tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama adalah pekerjaan yang membosankan. Walaupun duitnya banyak sih.

Selain dokter, dulu saya pikir jadi pengacara itu juga keren. Tapi setelah melihat pengacara-pengacara di tipi, yang banyak kena kasus suap sana sini, pengacara udah gak keren lagi di mata saya. Jadi pengacara itu serba salah. Kalau jujur kehidupan terancam. Gak jujur lebih terancam.

Tapi kalau ditanya keinginan pribadi, tentang profesi apa yang saya inginkan di masa depan, jawabannya adalah arsitek! Ya, saya mahasiswa ilmu komunikasi yang pengen jadi arsitek! Gak nyambung sama sekali memang.

Waktu masih kecil pernah punya cita-cita jadi arsitek. Alasannya sih gak muluk-muluk, pengen jadi arsitek supaya nantinya bisa design rumah impian. Tapi berhubung sadar diri kalau saya gak bisa fisika dan juga gak bisa menggambar, cita-cita jadi arsitek pun tenggelam begitu saja.

Dan di bidang ilmu yang sekarang sedang saya tekuni, saya juga gak berniat untuk jadi jurnalis. Gak tau kenapa, sepertinya passion saya bukan di sana.

Pertanyaan “Setelah lulus mau kemana? Mau jadi apa? Mau kerja di mana? Kerja apa nikah dulu ya?” adalah pertanyaan yang sampai sekarang belum saya tau apa jawabannya.

***

Beberapa hari yang lalu, saya sempat ngobrol sama teman saya yang sedang berlayar ke Singapura. Dia banyak cerita tentang kehidupannya selama hampir setahun kerja di kapal. Suka dukanya menjadi seorang pelaut.

Yang saya tau, dulu dia sangat mencintai apa yang disebut dengan laut ataupun pantai. Dan saya pikir setelah bekerja di tempat favoritnya, dia akan bahagia. At least, dia menikmati pekerjaannya.

Tapi ternyata perkiraan saya meleset.

Ada banyak cerita dari dia yang membuat saya speechless. Yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Terutama ketika dia mengatakan bahwa pekerjaannya saat ini membuatnya berubah. Ketika dia mengatakan bahwa saat ini dia hidup tapi sebenarnya tidak hidup.

“Kamu tau tatapan mata seekor kucing liar? Setelah kucing tersebut dimasukkan ke dalam kandang, lama-lama tatapannya jadi sayu. Dia hidup tapi tidak hidup”

Sebuah kalimat yang pernah dia ucapkan.

Saya pernah berkata pada salah satu teman, bahwa setiap jurusan pasti membentuk karakter-karakter tertentu pada mahasiswanya. Seperti contohnya di jurusan saya, ilmu komunikasi. Saya menilai bahwa sebagian besar orang-orang ilkom itu ekspresif. Bisa dari segi penampilan, bisa dari segi cara berbicara. Anak ilkom biasanya lebih ‘vokal’ dibandingkan anak jurusan lainnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan itu membentuk karakter tertentu dalam kepribadian seseorang. Bisa mengubah kita. Akan jadi seperti apa kita di masa depan, tergantung dengan di mana kita berada sekarang.

Kembali lagi ke cerita teman saya yang sedang berlayar.

Dia merasa bahwa lingkungan pekerjaannya membuat dia berubah menjadi seseorang yang bukan dirinya. Dia seperti tidak mengenal dirinya yang sekarang. Pikirannya tidak lagi dipenuhi dengan khayalan, imajinasi, dan impian yang dulu pernah ada. Dia yang sekarang katanya seperti robot, kendali tidak lagi ada pada dirinya sendiri.

Sebenarnya saya juga merasa dia berubah.

Perubahan yang paling jelas adalah cara bicaranya. Mulai dari bahasa, logat, aksen, he totally changed. Selain itu, saya tidak menemukan perubahan apapun pada dirinya. Mungkin lebih tepatnya belum menemukan.

Kemudian dia bercerita tentang bagaimana orang-orang yang ada di lingkungan kerjanya. Menurutnya, orang-orang di sana sangat disiplin. Semua kegiatan sudah terjadwal. Semua peraturan fungsinya untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar. Dari deskripsi sekilas yang ia ceritakan, yang muncul dalam bayangan saya adalah sebuah sistem yang kaku.

Dia bercerita lagi tentang bagaimana masyarakat Singapura yang biasanya ia temui tiap kali sedang along side (kapal bersandar). Katanya, sejauh mata memandang cuma ada orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa setiap harinya.

“Orang-orang di sini itu tiap detiknya cuma untuk kerja, kerja, dan kerja,” katanya.

Gak heran Singapura jadi negara yang maju sedemikian rupa dengan luas wilayahnya gak lebih besar dari pulau Bali. Karena semangat kerja yang mereka punya.

“Urusan perut di atas segala-galanya,” saya menanggapi ucapannya

Lalu dia mengatakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terlintas di pikiran saya.

“Kamu tau Rau, semakin banyak materi yang kita dapatkan, Tuhan kita akan semakin kecil. Kita lebih rajin berdoa kalau lagi susah. Kita lebih keras menangis kalau lagi ‘gak ada’. Kita lebih sering inget Tuhan kalau kita lagi sengsara,” katanya lagi.

Deg.

Apa ini perubahan lain dari dia yang baru saya tau?

Lingkungan kerjanya membuat ia lebih open minded dari sebelumnya. Walaupun saya akui bahwa dari dulu dia punya kelebihan, yaitu bisa melihat suatu hal dari sudut pandang yang sering orang lain lupakan.

Dan saat ini saya kira kemampuannya itu semakin matang. Membuat dia menjadi pribadi yang lebih dewasa dari usianya

***

Bagi saya, hidup itu penuh kejutan. Kita tidak tau apa yang akan kita hadapai di masa depan. Akan bekerja di mana, akan hidup seperti apa, ataupun bersama siapa. Yang jelas, masa depan tidak akan pernah sama seperti apa yang pernah kita pikirkan sebelumnya.

Sama seperti saya yang tidak pernah menyangka akan berada di jurusan ilmu komunikasi, yang tidak pernah saya cita-citakan. Begitu juga dengan teman saya yang tidak pernah berkhayal bahwa dia akan berlayar dan menghabiskan hari-harinya di atas sebuah kapal.

Apa yang ingin saya bagi di sini, bahwa tidak akan ada jenis pekerjaan yang benar-benar menyenangkan. Walaupun mungkin dulu pekerjaan itu sangat kita inginkan. Semuanya pasti punya tantangan.

Jadi, kalau nanti menemukan kalimat “keenakan kerja sih jadinya bla bla bla…..”, sepertinya kalimat tersebut harus direvisi. Karena di mana-mana yang namanya kerja itu gak enak. Kerja itu capek. Sekian dan terima kasih.

2 komentar:

  1. sebelumnya Tos dulu karena sesama anak komunikasi. Setiap pekerjaan itu sifatnya dinamis. Selalu berubah setiap waktunya. Mungkin kalo dulu, pelaut itu hanya boleh jadi pekerjaan nenek moyang kita dan menyenangkan sampe dibuat lagu, kini semuanya berubah sebab negara api menyerang. Setiap pekerjaan memang memiliki sisi stressnya sendiri. Tinggal bagaimana kita menyelesaikannya. :)

    BalasHapus
  2. memiliki sisi stres sendiri. setuju! :D

    BalasHapus

Leave your comment here :D