pic source |
“Iya nih, capek banget abis RKK (baca: Rapat Komite Kredit).
Gue harus motret malam ini Rul, kalo gak gue bisa gila,” kata Keara.
Itu adalah sepenggal dialog antara Keara dan Ruly pada novel
kesayangan saya, Antologi Rasa.
Dan malam ini sepertinya saya mengalami apa yang dirasakan
Keara, karena ketika saya sudah berada di dalam selimut dan memejamkan mata, sialnya pikiran saya masih terbang kemana-mana. Satu jam yang sia-sia karena saya
tidak kunjung ‘pingsan’ juga.
“Saya harus nulis malam ini, kalo gak saya bisa gila,”
***
Apa yang salah dari memiliki hobi? Tidak ada. Apa yang salah
dari melakukan hal-hal yang disuka? Juga tidak ada. Kita sudah akrab dengan
istilah “Do what you love and love what
you do,” bukan? Hobi ada di kategori pertama.
Lalu, kenapa masih ada orang-orang yang menganggap sebuah
hobi itu tidak berguna atau buang-buang waktu atau buang-buang uang atau
sejenisnya? Apa mungkin karena orang tersebut tidak punya hobi apapun, sehingga
merasa “aneh” ketika melihat orang lain menekuni sesuatu yang dianggap hobi?
Saya sendiri suka membaca dan menulis. Toko buku atau Gram*dia itu "surga" bagi saya. Saya makin semangat nulis kalau lagi sumpek-sumpeknya (atau lagi galau-galaunya?). Saya menggunakan blog sebagai
media dan saya sedang belajar untuk konsisten terus mengisinya dengan tulisan
apapun yang saya mau. Saya pun membagi laman blog saya di socmed yang saya punya. Dibaca ya syukur, gak mau baca ya saya juga gak maksa.
Kemudian beberapa hari yang lalu ada seorang teman berkata
kepada saya seperti ini.
“Jangan nulis blog terus, agak serius, ayo semangat
skripsian,”
Lalu saya jawab, “Ngeblog itu refreshing buat aku,”
“Ya tapi kan lebih enak dipakai buat nulis skripsi,” kata dia lagi
Waktu itu hal yang saya pikirkan adalah pertama, ternyata
serius atau tidaknya kita mengerjakan skripsi itu diukur dari ngeblog apa gak.
Kedua, seandainya aja skripsi itu emang cuma ditulis tanpa dipikir (dan tanpa
konsul dosbing), pasti saya udah selesai sampai bab 7!
Mungkin bagi sebagian orang, apa yang saya alami di atas
adalah masalah kecil, tapi sayangnya tidak bagi saya. Buktinya hal kecil itu
masih terus berputar-putar di otak saya walaupun kejadiannya sudah lewat beberapa
hari yang lalu, sampai-sampai membuat saya gak bisa tidur malam ini.
Hmph.
Hmph.
Saya masih terus berpikir tentang "daripada energi habis
karena dipakai untuk nulis blog, lebih baik energi itu dipakai untuk nulis
skripsi", apa memang seharusnya begitu? Lalu bagaimana kalau saya tidak merasa
membuang secuil energi pun untuk ngeblog?
Saya juga masih berpikir bahwa satu hari tediri dari 24 jam,
apakah keseluruhan waktu yang ada itu juga harus dihabiskan demi si skripsi? Apa
gak boleh kalau satu atau dua jam saya pakai untuk recharge energi (dengan cara ngeblog)?
Ah, mungkin sebenarnya maksud teman saya tidak seperti itu.
Mungkin saya saja yang lagi terlalu sensitif jadinya gampang banget tersinggung. Ah, sudahlah.
Oke, mari kita kembali lagi berbicara masalah hobi.
Definisi hobi bagi saya adalah hal apapun yang kita lakukan
dengan penuh cinta *halah*. Maksudnya, terlepas dari hobi itu berguna atau
tidak, selama kita gemar melakukannya (dan tidak merugikan orang lain), itu bisa
dikatakan hobi.
Hobi gak harus mahal, hobi gak harus berguna bagi masyarakat
(karena ini bukan skripsi), apalagi berguna untuk nusa dan bangsa. Iya gak?
Selain itu, sebagaimana pelajaran PPKN yang pernah kita
terima di bangku sekolah, bahwa katanya Indonesia itu bangsa yang terdiri dari bermacam-macam agama, ras, suku, serta budaya, dan kita
harus menghormati perbedaan yang ada, menurut saya harusnya prinsip ini berlaku untuk semua
hal. Bukan cuma untuk Indonesia dan keberagamannya, tapi juga untuk
orang-orang yang hobinya bervariasi.
Kalau ada ungkapan bahwa tidak ada kebudayaan yang lebih
tinggi daripada kebudayaan lainnya, maka menurut saya hobi juga seperti itu. Tidak
ada hobi yang lebih baik daripada hobi lainnya. Menulis tidak lebih baik dari
bernyanyi, bernyanyi tidak lebih baik dari memasak, memasak tidak lebih baik
dari merajut, dan begitu
seterusnya. Karena hobi itu masalah selera dan selera itu sifatnya relatif.
Mungkin juga kita pernah bertanya-tanya, misalnya, kenapa si
A suka banget naik gunung? Lalu jika jawaban yang kita dengar malah membuat
kita ‘heran’, saya rasa hal itu tidak perlu diambil pusing apalagi sampai
diperdebatkan. Karena kadang menyukai sesuatu itu bisa berasal dari hal-hal
yang kurang masuk akal.
Cukup pahami bahwa kita dan orang tersebut tidak menggeluti hobi yang sama. Beres. Tidak perlu memberi komentar-komentar negatif terhadap hobi seseorang, menganggap hobi orang tersebut aneh, apalagi sampai mengatakan itu tidak berguna.
Semua hobi itu anugerah. Bersyukurlah kita yang memiliki hobi, karena ia adalah penyeimbang. Ketika dalam hidup kita sering berhadapan dengan hal-hal
yang tidak kita sukai (tapi harus tetap dilakukan), disanalah hobi berperan, menjaga
kita agar tetap waras saat berada di bawah tekanan.
Jadi, hobi kita gak harus sama. Kalau hobi saya nulis, hobi
kamu baca tulisan saya aja.
Sekian dan terima kasih ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D