pic source |
Batas akan tetap menjadi batas, saat tak ada yang benar-benar berani menyebranginya. Seperti halnya kita menamai utara sebagai utara, karena tak ada yang pernah bertanya kenapa.
Jarak akan tetap menjadi jarak, saat tak ada yang memulai langkah untuk menyudahinya. Kita hanya menduga-gua, sebelah langit mana yang berwarna lebih merah.
Dan, perjalanan hanya akan menjadi perjalanan, saat tak ada yang sudi menceritakan kisah yang menyertanya.
Maka, temuilah, lewati batas, tuntaskan jarak. Ceritakan, setidaknya kepada diri sendiri, tentang jawaban yang kita temui.
Setiap kali melihat buku berbau traveling, yang ada di
kepala saya adalah buku tersebut penuh dengan penjelasan mengenai rute dan biaya.
Ah, ini memang salah saya, mengapa saya menyamakan buku traveling dengan selebaran agensi perjalanan?
Membaca The Journeys 3
membuat saya ikut merasakan perjalanan yang diceritakan di dalamnya. Mulai dari
mengarungi sungai Zambezi yang memiliki 25 titik jeram mengerikan, berjalan meniti
pinggiran tebing Victoria Falls yang merupakan air terjun terbesar di bumi, terbang
menggunakan Microlight untuk
menikmati indahnya negeri Zimbabwe dari udara, melihat Golden Sunset di kota Santorini Yunani, berjalan-jalan menyusuri
putihnya kota Oia, menyeduh secangkir kopi Kenya di Campos Coffee Sidney, mencicipi manisnya es krim Gelato di Roma, bertemu
dengan Whale Shark di perairan
Kwatisore, menikmati surga di bawah laut pulau Tomia Wakatobi, dan masih banyak lagi.
The Journeys 3 benar-benar
membawa saya keliling dunia!
Tapi dari empat belas cerita yang ada di dalamnya, yang
membuat saya termenung beberapa saat -setelah tuntas membaca halaman terakhir, adalah tentang apa yang penulis temukan setelah melakukan perjalanan. Ada yang
menemukan makna kebebasan, pulang, rumah, toleransi, berhenti, orang asing,
sampai bahagia. Semua itu mengagumkan di mata saya.
Pada akhirnya The
Journey 3 membuat saya berusaha mengingat-ingat lagi apa yang sudah saya
temukan dari perjalanan-perjalanan yang pernah saya lakukan.
Saya masih mengingat rasa kagum yang luar biasa ketika
pertama kalinya saya melihat kebun edelweiss di gunung Arjuna. Bunga yang
katanya simbol cinta abadi itu ada di depan mata saya setelah sekian lama saya
hanya bisa mengenalnya melalui buku-buku cerita. Bunga yang dulunya tidak
pernah bisa saya bayangkan seperti apa bentuknya itu akhirnya bisa saya genggam!
Kemudian susur sungai menuju Coban Glothak juga menjadi
perjalanan tak terlupakan. Di mana kami (saya dan teman-teman) hanya
mengandalkan petunjuk dari hasil googling
untuk mencapai coban Glothak. Perjalanan yang memaksa saya untuk melepas sepatu
tracking, berusaha melupakan
kemungkinan kaki yang akan ditempeli lintah-lintah kali. Untuk sampai di Coban
ternyata tidak hanya menyebrangi satu atau dua sungai, namun ternyata harus
mengikut air yang mengaliri sungai itu sendiri.
Kemudian ada sabana di Taman Nasional Baluran yang tidak
kalah mengagumkan. Hijaunya padang rumput yang sangat luas laksana permadani
hijau raksasa. Melihat Banteng dari kejauhan dengan mata telanjang, pun kawanan Rusa
yang berkejaran saat matahari akan terbenam.
Kemudian samudra di atas awan yang selalu saya jumpai setiap
kali berada pada ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. Awan-awan
mirip gula-gula kapas yang sepertinya sangat empuk dan nyaman untuk diloncati. Birunya langit tanpa batas yang membuat saya benar-benar merasa bebas. Udara
dingin yang membuat hidung merah juga memiliki sensasi tersendiri. Itu adalah udara
terbersih yang pernah saya hirup selama hidup.
Kemudian saya juga sempat menjenjakkan kaki di atas butiran
pasir dengan udara yang mengembuskan aroma asinnya air laut pulau Sempu. Saya mengukir
nama di atas pasir menggunakan ranting kecil, dan tidak lupa naik ke atas tebing untuk melihat
lumba-lumba berdansa di tengah samudera.
Ternyata ada banyak sekali keseruan perjalanan yang pernah
saya rasakan. Dari kota satu ke kota lain, dari kendaraan satu ke kendaraan
lain, dari terminal satu ke terminal lain, dan dari stasiun satu ke stasiun
lain.
Saya menjadi manusia paling berbahagia karena pernah merasakan terdampar di terminal Bungur Asih sambil makan es krim di malam hari, terduduk ngantuk di terminal Solo saat adzan subuh berkumandang, atau tertidur di pelataran stasiun Banyuwangi karena menunggu kereta pagi yang akan membawa saya pulang ke Malang.
It was really awesome experiences for me!
Saya menjadi manusia paling berbahagia karena pernah merasakan terdampar di terminal Bungur Asih sambil makan es krim di malam hari, terduduk ngantuk di terminal Solo saat adzan subuh berkumandang, atau tertidur di pelataran stasiun Banyuwangi karena menunggu kereta pagi yang akan membawa saya pulang ke Malang.
It was really awesome experiences for me!
Dari semua pengalaman itu saya belajar tentang hidup yang sebenarnya
juga merupakan perjalanan. Penuh perjuangan dan tantangan, menghabiskan biaya
dan waktu, bertemu dengan orang-orang baru, berpindah-pindah lokasi, menghadapi
perubahan situasi maupun kondisi. Selayaknya perjalanan, hidup juga
menuntut kita untuk menentukan tujuan dan menemukan jawaban, bukan?
Lalu, satu pertanyaan muncul di benak saya. Ketika kita
sudah lama tidak melakukan perjalanan, apakah kita masih bisa dikatakan hidup?
Mungkin ini yang saya rasakan sekarang. Kaki seperti
sedang dijerat rantai besi. Rasanya seolah mati. Saya menerka-nerka, kapan perjalanan ini bisa dilanjutkan? Ada segenap kerinduan yang tertahan. Keinginan untuk segera pergi, melakukan "perjalanan ziarah : mengunjungi diri sendiri".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D