11 Apr 2014

The Journeys 3: Yang Melangkah dan Menemukan

pic source
The Journeys 3 adalah buku bertema traveling ketiga, setelah Travel(love)ing dan Singgah, yang saya punya. Deretan nama penulis yang terpajang di sampul membuat tekad untuk membeli semakin mantap karena ada nama penulis favorit saya, Windy Ariestanty, di sana. Selain itu, sinopsis pada halaman belakangnya membuat saya tidak lagi berpikir panjang untuk segera membawa buku itu pulang.

Batas akan tetap menjadi batas, saat tak ada yang benar-benar berani menyebranginya. Seperti halnya kita menamai utara sebagai utara, karena tak ada yang pernah bertanya kenapa.

Jarak akan tetap menjadi jarak, saat tak ada yang memulai langkah untuk menyudahinya. Kita hanya menduga-gua, sebelah langit mana yang berwarna lebih merah.

Dan, perjalanan hanya akan menjadi perjalanan, saat tak ada yang sudi menceritakan kisah yang menyertanya.

Maka, temuilah, lewati batas, tuntaskan jarak. Ceritakan, setidaknya kepada diri sendiri, tentang jawaban yang kita temui.

Setiap kali melihat buku berbau traveling, yang ada di kepala saya adalah buku tersebut penuh dengan penjelasan mengenai rute dan biaya. Ah, ini memang salah saya, mengapa saya menyamakan buku traveling dengan selebaran agensi perjalanan?

Membaca The Journeys 3 membuat saya ikut merasakan perjalanan yang diceritakan di dalamnya. Mulai dari mengarungi sungai Zambezi yang memiliki 25 titik jeram mengerikan, berjalan meniti pinggiran tebing Victoria Falls yang merupakan air terjun terbesar di bumi, terbang menggunakan Microlight untuk menikmati indahnya negeri Zimbabwe dari udara, melihat Golden Sunset di kota Santorini Yunani, berjalan-jalan menyusuri putihnya kota Oia, menyeduh secangkir kopi Kenya di Campos Coffee Sidney, mencicipi manisnya es krim Gelato di Roma, bertemu dengan Whale Shark di perairan Kwatisore, menikmati surga di bawah laut pulau Tomia Wakatobi, dan masih banyak lagi.

The Journeys 3 benar-benar membawa saya keliling dunia!

Tapi dari empat belas cerita yang ada di dalamnya, yang membuat saya termenung beberapa saat -setelah tuntas membaca halaman terakhir, adalah tentang apa yang penulis temukan setelah melakukan perjalanan. Ada yang menemukan makna kebebasan, pulang, rumah, toleransi, berhenti, orang asing, sampai bahagia. Semua itu mengagumkan di mata saya.

Pada akhirnya The Journey 3 membuat saya berusaha mengingat-ingat lagi apa yang sudah saya temukan dari perjalanan-perjalanan yang pernah saya lakukan.

Saya masih mengingat rasa kagum yang luar biasa ketika pertama kalinya saya melihat kebun edelweiss di gunung Arjuna. Bunga yang katanya simbol cinta abadi itu ada di depan mata saya setelah sekian lama saya hanya bisa mengenalnya melalui buku-buku cerita. Bunga yang dulunya tidak pernah bisa saya bayangkan seperti apa bentuknya itu akhirnya bisa saya genggam!

Kemudian susur sungai menuju Coban Glothak juga menjadi perjalanan tak terlupakan. Di mana kami (saya dan teman-teman) hanya mengandalkan petunjuk dari hasil googling untuk mencapai coban Glothak. Perjalanan yang memaksa saya untuk melepas sepatu tracking, berusaha melupakan kemungkinan kaki yang akan ditempeli lintah-lintah kali. Untuk sampai di Coban ternyata tidak hanya menyebrangi satu atau dua sungai, namun ternyata harus mengikut air yang mengaliri sungai itu sendiri.

Kemudian ada sabana di Taman Nasional Baluran yang tidak kalah mengagumkan. Hijaunya padang rumput yang sangat luas laksana permadani hijau raksasa. Melihat Banteng dari kejauhan dengan mata telanjang, pun kawanan Rusa yang berkejaran saat matahari akan terbenam.

Kemudian samudra di atas awan yang selalu saya jumpai setiap kali berada pada ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut. Awan-awan mirip gula-gula kapas yang sepertinya sangat empuk dan nyaman untuk diloncati. Birunya langit tanpa batas yang membuat saya benar-benar merasa bebas. Udara dingin yang membuat hidung merah juga memiliki sensasi tersendiri. Itu adalah udara terbersih yang pernah saya hirup selama hidup.

Kemudian saya juga sempat menjenjakkan kaki di atas butiran pasir dengan udara yang mengembuskan aroma asinnya air laut pulau Sempu. Saya mengukir nama di atas pasir menggunakan ranting kecil, dan tidak lupa naik ke atas tebing untuk melihat lumba-lumba berdansa di tengah samudera.

Ternyata ada banyak sekali keseruan perjalanan yang pernah saya rasakan. Dari kota satu ke kota lain, dari kendaraan satu ke kendaraan lain, dari terminal satu ke terminal lain, dan dari stasiun satu ke stasiun lain.

Saya menjadi manusia paling berbahagia karena pernah merasakan terdampar di terminal Bungur Asih sambil makan es krim di malam hari, terduduk ngantuk di terminal Solo saat adzan subuh berkumandang, atau tertidur di pelataran stasiun Banyuwangi karena menunggu kereta pagi yang akan membawa saya pulang ke Malang.

It was really awesome experiences for me!

Dari semua pengalaman itu saya belajar tentang hidup yang sebenarnya juga merupakan perjalanan. Penuh perjuangan dan tantangan, menghabiskan biaya dan waktu, bertemu dengan orang-orang baru, berpindah-pindah lokasi, menghadapi perubahan situasi maupun kondisi. Selayaknya perjalanan, hidup juga menuntut kita untuk menentukan tujuan dan menemukan jawaban, bukan?

Lalu, satu pertanyaan muncul di benak saya. Ketika kita sudah lama tidak melakukan perjalanan, apakah kita masih bisa dikatakan hidup? 

Mungkin ini yang saya rasakan sekarang. Kaki seperti sedang dijerat rantai besi. Rasanya seolah mati. Saya menerka-nerka, kapan perjalanan ini bisa dilanjutkan? Ada segenap kerinduan yang tertahan. Keinginan untuk segera pergi, melakukan "perjalanan ziarah : mengunjungi diri sendiri".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D