Setiap
sudut kota ini mengingatkanku pada Raka. Bukan masalah aku pernah ke tempat itu
bersamanya atau tidak, namun yang lebih aku ingat adalah bahwa aku dan Raka
saat ini berada di kota yang sama. Jarak ratusan kilometer yang dulu
membentang, sekarang sudah menghilang. Kami sudah menghirup udara yang sama,
melihat birunya langit yang senada, merasakan cuaca yang juga tidak berbeda.
Peluang kami untuk bertemu harusnya lebih besar, ya kan?
Selama di
sini aku lebih menajamkan pandangan. Aku lebih sering keluar rumah. Ya siapa
tau ketemu Raka di jalan. Oke, ini namanya ngarep banget.
Hingga
suatu pagi aku memutuskan untuk lari-lari kecil atau istilah kerennya adalah
jogging. Tidak bisa dikatakan jogging juga sih, karena kenyataannya aku jalan,
bukan lari. Perjalananku pun terhenti di depan gerobak penjual bubur ayam
kesukaanku dulu.
Mari kita
buktikan, apakah bubur ayam ini masih kusuka sampai saat ini?
Sebenarnya
aku agak kesulitan memberi nilai pada bubur ayam tersebut. Bagaimana aku bisa
tau rasanya berbeda atau tidak kalau aku sudah lupa pada rasa bubur ayam yang
lama? Menyerah untuk memberi penilaian pada si bubur ayam, akhirnya aku hanya
mengaduk-aduk bubur di mangkuk itu.
Aku jadi
ingat bahwa Raka tidak suka bubur ayam.
Jangankan bubur ayam, dia pun tidak suka makan nasi yang terlalu lembek.
Enek, begitu katanya.
Kemudian
bubur yang tinggal separuh itu kubiarkan begitu saja. Dulu aku memang suka
bubur ayam. Tapi sekarang tidak lagi. Mungkin karena aku sudah terlalu lama
tidak memakannya. Ternyata apa yang kita suka bisa berubah seiring berjalannya
waktu.
Dulu aku
suka Raka. Sekarang pun masih sama. Walaupun aku sudah tidak pernah melihat
Raka dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi ternyata kesukaanku pada Raka
tidak berubah. Tidak seperti bubur ayam. Aku mungkin bisa lupa pada rasa bubur
ayam yang dulu. Tapi aku tidak akan lupa bagaimana aku pernah menyukai Raka di
masa lalu.
***
Hari ini
hari jumat. Hari terakhirku berada di kota ini. Hitung-hitung untuk perpisahan,
di bawah terik matahari yang sedang berada tepat di atas kepala, aku memutuskan
untuk jalan-jalan keliling kota.
Ketika
melewati masjid besar di dekat alun-alun, aku memutuskan meminggirkan
motor. Aku ingin mampir ke kolam air mancur yang ada di sana.
Kolam air
mancur ini tidak lagi seperti dulu. Kalau dulu tembok di sekelilingnya masih
berwarna putih, sekarang warnanya sudah berubah menjadi hijau. Perpaduan antara
warna cat dan lumut yang entah sudah berapa lama melekat.
Kolam air
mancur itu dulunya merupakan tempat ‘nongkrong’ favoritku ketika SD dan SMP. Ya, karena di
sanalah aku dan teman-teman biasanya menghabiskan jam olahraga. Bentuk tembok kolam itu mirip dengan gigi. Aku sangat suka duduk-duduk di atasnya.
Di tengah
alun-alun juga ada sebuah pohon beringin yang sangat besar. Aku masih ingat kalau dulu di
dekat pohon beringin itu aku dan teman-teman SD pernah melakukan penilaian
olahraga berdiri dengan dua tangan. Namanya kalau tidak salah hands-up, ya?
Tidak jauh dari pohon beringin, ada sebuah lapangan basket. Lapangan itu adalah saksi bisu kalau aku diam-diam pernah mengagumi, ehem, pemain basket dari kelas sebelah.
Ingatanku juga terlempar pada sabtu pagi saat jam pelajaran olahraga. Waktu itu aku masih duduk di kelas 3 SMP. Hujan deras tidak mengubah tekadku dan teman-teman untuk tetap pergi ke alun-alun, walaupun guru olahraga sudah mengumumkan bahwa pelajaran hari itu ditiadakan karena hujan. Sebagai gantinya, kami disuruh mengerjakan LKS (Lembar Kerja Siswa) di dalam kelas.
Karena mungkin dulu aku dan teman-teman sedikit 'bandel', kami tetap pergi ke alun-alun, tanpa sepengetahuan guru, sambil....hujan-hujanan.
Setelah sampai di alun-alun, anak laki-laki langsung bermain sepak bola di atas lumpur. Sedangkan yang anak perempuan, melakukan konser di bawah hujan. Bernyanyi seolah-olah kami sedang syuting video klip sebuah lagu.
Aku tersenyum mengingatnya. Kekonyolan di masa-masa itu.
Setelah puas melihat-lihat dan sedikit bernostalgia tentang apa saja yang dulu pernah
kulakukan, aku kembali ke tempat di mana aku memarkirkan motor di dekat masjid.
Jam sudah
menunjukkan pukul setengah satu siang. Artinya ini sudah waktunya jam bubaran masjid. Para pria tampak keluar sambil menyandang sajadah di pundaknya. Ada yang berjalan kaki, tapi tidak
sedikit juga yang berkendaraan. Wajah-wajah cerah yang baru saja selesai melakukan shalat jumat. Ini pemandangan yang aku suka.
***
“Jumatan
gih, biar ganteng”, adalah kalimat yang sangat sering kita dengar. Yang
mengucapkan pastinya adalah kami, para wanita.
Kalau menurutku, ini sama dengan pria yang
mengatakan bahwa melihat wanita berjilbab dan menggunakan rok itu membuat mata mereka ‘adem’.
Kami, para hawa, juga begitu. Pemandangan sejuk adalah ketika melihat para adam yang baru pulang
jumatan.
Kenapa bisa begitu?
Kalau aku
pribadi, dari dulu memang sangat suka melihat pria yang sedang memakai baju koko. Selain itu, mereka yang jumatan biasanya mandi terlebih dahulu. Biasanya mereka berangkat ke masjid dengan rambut basah sehabis keramas. Udah kinclong, wangi, rajin jumatan juga. Siapa yang tidak suka?
Beberapa
saat aku berdiri di depan masjid itu. Memperhatikan satu-persatu wajah mereka.
Siapa tau Raka ada di antaranya. Walaupun aku tidak begitu yakin kalau Raka
jumatan di masjid ini.
15 menit berlalu. Masjid hampir lengang. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada Raka di
sana. Kemudian aku memutuskan untuk pulang.
Ada
sedikit rasa kecewa yang bergelayutan. Hampir 2 minggu, aku tidak bertemu Raka
sama sekali. Padahal harusnya di kota kecil ini, aku bisa menemukannya dengan
mudah.
Aku
menurunkan kaca helm ketika sedang berhenti di lampu merah. Menghindari
silaunya sinar matahari. Kemudian motor lain pun ikut berhenti di sebelahku. Aku
menoleh seketika. Bukan karena motor atau helmnya yang menarik perhatian, melainkan
baju yang ia gunakan. Baju koko warna biru langit. Seperti punya Raka.
Pria itu tentu saja bukan Raka. Dan sekali lagi aku menghembuskan nafas panjang. Mungkin memang belum waktunya bertemu Raka.
***
Aku tidak suka kota ini. Aku tidak suka suasananya yang sepi. Aku tidak suka udara panasnya yang luar biasa di siang hari. Aku tidak suka ketika jam 8 malam kendaraan yang lewat mulai satu-satu. Aku tidak suka karena merasa sendiri dan kesepian tiap ada di sini. Seperti apa yang pernah aku baca, sendiri dan kesepian adalah paduan yang mematikan. Dan bagiku dua perasaan itu sungguh sangat menyiksa.
Belum lagi dugaan-dugaan bahwa bagaimana jika aku bertemu Raka ketika dia bersama Rena. Bagiku itu adalah mimpi buruk. Cukup hanya di alam mimpi. Jangan sampai menjelma menjadi nyata.
Baiklah, waktunya untuk pergi.
Biarkan kota ini membekukan kenangan masa remaja yang pernah ada. Biarkan kota ini menyimpan satu cerita cinta yang tidak berakhir bahagia. Biarkan kota ini menjadi salah satu hal di dunia yang akan selalu mengingatkanku pada Raka.
Biarkan kota ini membekukan kenangan masa remaja yang pernah ada. Biarkan kota ini menyimpan satu cerita cinta yang tidak berakhir bahagia. Biarkan kota ini menjadi salah satu hal di dunia yang akan selalu mengingatkanku pada Raka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D