gambar dipinjam di sini. terima kasih. |
Aku pulang.
Akhirnya,
aku berada di sini lagi. Sebuah kota yang kutinggalkan beberapa tahun lalu
dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah untuk melupakan kenangan.
Udara sejuk
seketika menyapu tubuh ketika kakiku menjejaki aspal di sebuah tepian jalan.
Ya, para supir bus memang sudah biasa menjadikan perempatan ini sebagai tempat
pemberhentian. Beberapa orang yang tadi
satu bus denganku tampaknya sangat bahagia karena ada keluarga ataupun saudara
yang menjemput mereka, menunggu kedatangannya.
Jam di
pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka lima. Suasana sore menjelang
tibanya waktu berbuka puasa itu sangat ramai. Dua polisi cilik terlihat sedang
sibuk mengatur kendaraan yang melintas di perempatan sembari meniup-niup
peluitnya. Tongkat lampu berwarna merah di tangan kanan mereka gerakkan untuk
mentertibkan para pengguna jalan. Aku menghembuskan nafas panjang. Ternyata berapa
lama pun aku meninggalkan kota ini, suasananya akan selalu sama. Seperti yang
dulu pernah kurasa.
Aku ingat
bahwa dulu aku juga ikut memadati jalan raya ini dengan berbagai tujuan. Untuk
pergi berbuka puasa dengan teman-teman ataupun sekadar berkeliling mencari
makanan kecil untuk takjil. Namun sekarang aku hanya bisa mengamati orang-orang
yang berlalu-lalang ini tanpa henti. Memperhatikan wajah-wajah sumringah yang
menyambut datangnya senja dengan orang-orang tercinta.
***
Sejujurnya,
kembalinya aku ke kota ini adalah kepulangan yang tidak kuinginkan. Walaupun
sudah setengah mati berusaha menolak, toh ujung-ujungnya keputusan ayah selalu
mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Aku sudah kehabisan akal untuk mengarang
alasan agar aku tidak di suruh pulang ke sini lagi.
Alasanku
tidak ingin pulang? Ada banyak sebab. Salah satunya karena jarak yang jauh
serta transportasi yang sulit didapat. Walaupun aku sangat menyukai apa yang
disebut dengan perjalanan, tapi aku tidak pernah suka pada perjalanan yang
harus ditempuh sendirian. Alasan lain? Kalian akan tau setelah membaca cerita
ini seutuhnya.
Tidak bisa
kupungkiri, bahwa sedikit banyak aku akan selalu merindukan kota ini. Kota yang
selama 10 tahun pernah menjadi tempat bermain. Kota yang menyimpan banyak
kenangan ketika aku masih menggunakan seragam, mulai dari putih-merah hingga
putih-abu-abu.
Pulang ke
sini pastinya akan membongkar memori. Ada banyak cerita yang ingin kudengar
dari teman-teman lama. Ada wajah-wajah yang ingin kujumpai, sekadar untuk
mengetahui bagaimana kabar mereka saat ini. Ada beberapa nama yang ingin
kutemui, hanya untuk sesaat mengulang kebersamaan yang dulu pernah ada. Dan
namanya ada di urutan terakhir.
Raka, kamu
apa kabar?
Sudah
bertahun-tahun sejak aku memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya,
tapi nama itu masih saja merekat erat di kepala. Menginjakkan kaki di kota ini
hanya akan membuat ukiran namanya semakin nyata. Kembali ke kota ini hanya akan
membuat usahaku untuk melupakannya menjadi sia-sia.
Melupakan
adalah perihal memaafkan kesalahan dan tidak menganggapnya sebagai sebuah
kekalahan. Untuk poin pertama, tentu saja aku sudah melakukannya. Aku sudah
memaafkan Raka untuk semua perbuatannya yang membuatku menitikkan air mata.
Tapi untuk tidak menganggapnya sebagai kekalahan? Sepertinya agak sulit. Karena
bagaimanapun juga aku sadar kalau aku kalah telak. Aku kalah karena tidak bisa
menepati janji yang kubuat sendiri, bahwa aku akan melepaskan Raka sepenuhnya.
Hingga sampai
pada satu kesimpulan bahwa aku tidak bisa melupakan Raka. Oke ralat, belum bisa lebih tepatnya.
Pergi jauh
dari semua hal yang berhubungan dengan Raka ternyata bukan solusi. Karena pada
akhirnya aku akan tetap mengingat sosoknya, tidak peduli di manapun aku atau dia berada.
Seperti di
penghujung tahun lalu. Ketika aku mendaki sebuah gunung yang terkenal dengan
sebutan puncak abadi para dewa. Tanah tertinggi di pulau jawa. Ketinggian
ribuan meter di atas permukaan laut tidak serta merta membuatku lupa padanya. Di
lautan pasir yang bisa berubah menjadi jurang yang membuat nyawaku melayang,
aku masih saja mengingat dia. Pria pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta.
***
Kota ini memang
terlalu kecil, dengan lingkup pergaulan yang itu-itu saja. Kenapa aku bisa
bilang begitu? Karena ke mana saja aku pergi, aku selalu bertemu dengan
teman-teman lama. Minimal, orang yang pernah aku tau. Buktinya aku bertemu
dengan kakak kelasku saat membeli martabak semalam.
Aku tidak
mengenalnya. Aku cuma tau bahwa dia kakak kelasku ketika SMA. Semalam aku hanya melihatnya
sekilas. Karena aku pikir dia tidak akan tau bahwa aku adik kelasnya.
Tapi kamu
akan selalu merasa ketika ada orang yang memperhatikanmu, bukan?
Yap. Dari
ujung mata, aku tau dia memperhatikanku. Mungkin saat itu dia sedang berusaha
mengingat-ingat, pernahkah bertemu denganku sebelumnya.
Kejadian
lain saat aku ke indomaret. Ketika sedang konsentrasi memilih-milih mie instan
yang ada di rak, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku pun menoleh.
1 detik, 5
detik, well aku tidak ingat siapa
nama gadis berambut sebahu yang berdiri sambil tersenyum kepadaku itu.
Dia
menyebut namaku. Dan aku hanya bisa diam karena aku benar-benar tidak ingat
namanya. Yang aku ingat hanyalah, dia rivalku ketika SMP. Lambat laun kepingan
ingatan masa SMP seolah menyatu lagi dalam benakku.
Aku dan dia
yang selalu berkejaran peringkat di kelas. Aku dan dia yang bersaing mendapat
nilai sempurna pada pelajaran matematika. Aku dan dia yang pulang sekolah dengan
mengayuh sepeda keranjang dengan beriringan. Akhirnya aku ingat namanya, Intan.
Intan
sekarang sudah menjadi guru SMP, mengajar pelajaran matematika. Ternyata dia
memang cinta mati pada pelajaran yang satu itu. Intan juga sudah bertunangan. Ya
Tuhan, aku merasa baru kemarin sore lulus SMP, dan sekarang teman seangkatanku sudah
ada yang bertunangan? Jangankan tunangan, yang punya momongan juga sudah
banyak. How time flies so fast.
Selama di
sini aku sudah bertemu dengan banyak teman lama. Beberapa diantaranya karena pertemuan yang direncanakan. Namun tidak sedikit juga karena bertemu secara tidak sengaja. Kini daftar nama orang-orang yang
ingin kutemui pun sudah mulai menipis. Hanya tinggal satu nama yang sepertinya
sulit untuk kujumpai, yaitu Raka.
Boleh aku
berdoa?
Semoga nanti aku bisa bertemu Raka. Kalau misalnya tidak ditakdirkan
bertemu, melihatnya dari jauh saja sepertinya sudah cukup. Aku hanya ingin
melihatnya. Tidak perlu berbicara dengannya. Tidak perlu juga dia tau bahwa aku
ada.
Semudah itu? Iya semudah itu.
*to be continued
kota mana sih itu non...
BalasHapushmm raka ada yg lagi curhat nih... ^_^
*mudik*
nama kota dirahasiakan :D
BalasHapusini critanya koq g ad yang nyambung dr sebelum2nya??
BalasHapusmemang ga nyambung sama yg sebelumnya. cerita pendek, bukan cerita bersambung ._.
BalasHapus