12 Agu 2013

Cerpen: Aku Pulang (Part 1)

gambar dipinjam di sini. terima kasih.
Aku pulang.

Akhirnya, aku berada di sini lagi. Sebuah kota yang kutinggalkan beberapa tahun lalu dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah untuk melupakan kenangan.

Udara sejuk seketika menyapu tubuh ketika kakiku menjejaki aspal di sebuah tepian jalan. Ya, para supir bus memang sudah biasa menjadikan perempatan ini sebagai tempat pemberhentian.  Beberapa orang yang tadi satu bus denganku tampaknya sangat bahagia karena ada keluarga ataupun saudara yang menjemput mereka, menunggu kedatangannya.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka lima. Suasana sore menjelang tibanya waktu berbuka puasa itu sangat ramai. Dua polisi cilik terlihat sedang sibuk mengatur kendaraan yang melintas di perempatan sembari meniup-niup peluitnya. Tongkat lampu berwarna merah di tangan kanan mereka gerakkan untuk mentertibkan para pengguna jalan. Aku menghembuskan nafas panjang. Ternyata berapa lama pun aku meninggalkan kota ini, suasananya akan selalu sama. Seperti yang dulu pernah kurasa.

Aku ingat bahwa dulu aku juga ikut memadati jalan raya ini dengan berbagai tujuan. Untuk pergi berbuka puasa dengan teman-teman ataupun sekadar berkeliling mencari makanan kecil untuk takjil. Namun sekarang aku hanya bisa mengamati orang-orang yang berlalu-lalang ini tanpa henti. Memperhatikan wajah-wajah sumringah yang menyambut datangnya senja dengan orang-orang tercinta.

***

Sejujurnya, kembalinya aku ke kota ini adalah kepulangan yang tidak kuinginkan. Walaupun sudah setengah mati berusaha menolak, toh ujung-ujungnya keputusan ayah selalu mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Aku sudah kehabisan akal untuk mengarang alasan agar aku tidak di suruh pulang ke sini lagi.

Alasanku tidak ingin pulang? Ada banyak sebab. Salah satunya karena jarak yang jauh serta transportasi yang sulit didapat. Walaupun aku sangat menyukai apa yang disebut dengan perjalanan, tapi aku tidak pernah suka pada perjalanan yang harus ditempuh sendirian. Alasan lain? Kalian akan tau setelah membaca cerita ini seutuhnya.

Tidak bisa kupungkiri, bahwa sedikit banyak aku akan selalu merindukan kota ini. Kota yang selama 10 tahun pernah menjadi tempat bermain. Kota yang menyimpan banyak kenangan ketika aku masih menggunakan seragam, mulai dari putih-merah hingga putih-abu-abu.

Pulang ke sini pastinya akan membongkar memori. Ada banyak cerita yang ingin kudengar dari teman-teman lama. Ada wajah-wajah yang ingin kujumpai, sekadar untuk mengetahui bagaimana kabar mereka saat ini. Ada beberapa nama yang ingin kutemui, hanya untuk sesaat mengulang kebersamaan yang dulu pernah ada. Dan namanya ada di urutan terakhir.

Raka, kamu apa kabar?

Sudah bertahun-tahun sejak aku memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dengannya, tapi nama itu masih saja merekat erat di kepala. Menginjakkan kaki di kota ini hanya akan membuat ukiran namanya semakin nyata. Kembali ke kota ini hanya akan membuat usahaku untuk melupakannya menjadi sia-sia.

Melupakan adalah perihal memaafkan kesalahan dan tidak menganggapnya sebagai sebuah kekalahan. Untuk poin pertama, tentu saja aku sudah melakukannya. Aku sudah memaafkan Raka untuk semua perbuatannya yang membuatku menitikkan air mata. Tapi untuk tidak menganggapnya sebagai kekalahan? Sepertinya agak sulit. Karena bagaimanapun juga aku sadar kalau aku kalah telak. Aku kalah karena tidak bisa menepati janji yang kubuat sendiri, bahwa aku akan melepaskan Raka sepenuhnya.

Hingga sampai pada satu kesimpulan bahwa aku tidak bisa melupakan Raka. Oke ralat, belum bisa lebih tepatnya.

Pergi jauh dari semua hal yang berhubungan dengan Raka ternyata bukan solusi. Karena pada akhirnya aku akan tetap mengingat sosoknya, tidak peduli di manapun aku atau dia berada.

Seperti di penghujung tahun lalu. Ketika aku mendaki sebuah gunung yang terkenal dengan sebutan puncak abadi para dewa. Tanah tertinggi di pulau jawa. Ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut tidak serta merta membuatku lupa padanya. Di lautan pasir yang bisa berubah menjadi jurang yang membuat nyawaku melayang, aku masih saja mengingat dia. Pria pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta.


***

Kota ini memang terlalu kecil, dengan lingkup pergaulan yang itu-itu saja. Kenapa aku bisa bilang begitu? Karena ke mana saja aku pergi, aku selalu bertemu dengan teman-teman lama. Minimal, orang yang pernah aku tau. Buktinya aku bertemu dengan kakak kelasku saat membeli martabak semalam.

Aku tidak mengenalnya. Aku cuma tau bahwa dia kakak kelasku ketika SMA. Semalam aku hanya melihatnya sekilas. Karena aku pikir dia tidak akan tau bahwa aku adik kelasnya.

Tapi kamu akan selalu merasa ketika ada orang yang memperhatikanmu, bukan?

Yap. Dari ujung mata, aku tau dia memperhatikanku. Mungkin saat itu dia sedang berusaha mengingat-ingat, pernahkah bertemu denganku sebelumnya.

Kejadian lain saat aku ke indomaret. Ketika sedang konsentrasi memilih-milih mie instan yang ada di rak, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku pun menoleh.

1 detik, 5 detik, well aku tidak ingat siapa nama gadis berambut sebahu yang berdiri sambil tersenyum kepadaku itu.

Dia menyebut namaku. Dan aku hanya bisa diam karena aku benar-benar tidak ingat namanya. Yang aku ingat hanyalah, dia rivalku ketika SMP. Lambat laun kepingan ingatan masa SMP seolah menyatu lagi dalam benakku.

Aku dan dia yang selalu berkejaran peringkat di kelas. Aku dan dia yang bersaing mendapat nilai sempurna pada pelajaran matematika. Aku dan dia yang pulang sekolah dengan mengayuh sepeda keranjang dengan beriringan. Akhirnya aku ingat namanya, Intan.

Intan sekarang sudah menjadi guru SMP, mengajar pelajaran matematika. Ternyata dia memang cinta mati pada pelajaran yang satu itu. Intan juga sudah bertunangan. Ya Tuhan, aku merasa baru kemarin sore lulus SMP, dan sekarang teman seangkatanku sudah ada yang bertunangan? Jangankan tunangan, yang punya momongan juga sudah banyak. How time flies so fast.

Selama di sini aku sudah bertemu dengan banyak teman lama. Beberapa diantaranya karena pertemuan yang direncanakan. Namun tidak sedikit juga karena bertemu secara tidak sengaja. Kini daftar nama orang-orang yang ingin kutemui pun sudah mulai menipis. Hanya tinggal satu nama yang sepertinya sulit untuk kujumpai, yaitu Raka.

Boleh aku berdoa?

Semoga nanti aku bisa bertemu Raka. Kalau misalnya tidak ditakdirkan bertemu, melihatnya dari jauh saja sepertinya sudah cukup. Aku hanya ingin melihatnya. Tidak perlu berbicara dengannya. Tidak perlu juga dia tau bahwa aku ada.

Semudah itu? Iya semudah itu. 

*to be continued

4 komentar:

  1. kota mana sih itu non...
    hmm raka ada yg lagi curhat nih... ^_^

    *mudik*

    BalasHapus
  2. ini critanya koq g ad yang nyambung dr sebelum2nya??

    BalasHapus
  3. memang ga nyambung sama yg sebelumnya. cerita pendek, bukan cerita bersambung ._.

    BalasHapus

Leave your comment here :D