22 Desember 1995
Aku dan Abang jongkok di depan gundukan tanah yang sedang ditaburi
bunga. Pak Haji Rojali yang biasa kupanggil ‘Babak’ sedang membacakan doa
disebelahku. Di sela-sela pembacaan doa, aku berbisik pada Abang, “Bang kalau
tanahnya digali lagi, pasti ada di Ibu di dalam”.
Ibu panggilanku untuk Ibunya Papa alias nenekku. Beliau
meninggal saat aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti kematian. Waktu Mama
memberitahuku kalau Ibu meninggal, aku yang masih berusia 4 tahun cuma terdiam.
Waktu aku melihat tubuh Ibu terbujur di ruang tamu dengan hidung disumbat
kapas, aku cuma bisa mengintip takut-takut dari balik jendela. Itu adalah
terakhir kalinya aku melihat Ibu.
Tidak banyak memori tentang Ibu yang tersisa diingatanku.
Salah satunya adalah rutinitasku minta uang ke Ibu untuk jajan. Percakapannya
kurang lebih seperti ini.
“Buk, minta uang buat jajan,"
“Iya bentar ya nak, minta uangnya ke Ayah. Tunggu Ayah selesai
mandi,” jawab Ibu. Ayah adalah kakekku.
“Di kantong obat Ayah ada uang kok, Buk,” aku melirik pada
kantong plastik obat yang biasanya tergantung di depan pintu kamar.
Setelah Ibu memberiku uang, aku akan menyuruh Ibu masuk ke
rumah dan tiduran di kursi. Lalu aku beli es di warung dan memakan es tersebut di
rumah tetangga.
Waktu di
Jakarta, rumahku dan rumah Ibu masih berada dalam satu gang yang jaraknya cuma
beberapa meter. Jadi, setiap hari aku keluar rumah, pamit ke Mama mau main ke
rumah Ibu, padahal sebenarnya lagi makan es di rumah tetangga. Ini bukan nakal, tapi cerdas. Cerdas yang sedikit menyimpang ._.
Ingatan lainnya tentang Ibu adalah, dari sekian banyak cucu
yang ada, cuma aku yang dibolehin menginjak-injak sofa. Siapapun dilarang menginjak sofa karena kulit sofa baru
diganti. Siapapun kecuali aku. Kurang lebih begitu aturannya.
Sepupuku yang bermain di sofa pasti dimarahin. Iya, aku
memang cucu kesayangan. Mungkin karena aku yang paling lucu… *ditimpuk sofa*
Ibu dan Ayah dulunya membuka warung nasi Padang di Jakarta.
Masakan Ibu katanya enak banget. Bahkan Mama mendapatkan keahlian memasak
seperti sekarang ini karena belajar dari Ibu. Jadi aku berasmusi kalau masakan
Ibu rasanya 11-12 sama masakan Mama. Sayangnya keahlian itu sepertinya tidak
menurun padaku.
Cuma itu yang aku tau dan aku ingat tentang Ibu. Walaupun
kebersamaanku dan Ibu cuma sebentar, tapi aku yakin kalau Ibu adalah orang
baik. Aku senang melihat dulu Mama tinggal sama Ibu. As we know, menantu dan mertua yang tinggal satu atap itu
kemungkinan untuk bertengkar lebih besar. Makanya banyak yang gak mau tinggal
sama mertua. Tapi Mama beruntung punya Ibu mertua yang baik dan pinter masak
kayak Ibu. Semoga nanti Ibu mertuaku juga kayak Ibu :’)
Ibu meninggal tepat pada hari Ibu 18 tahun yang lalu. Jadi, hari Ibu akan selalu mengingatkanku pada Ibu.
Doa kami untukmu tidak pernah putus, Bu. You’re the best mom and grandmother ever!
Fotoku dan Ibu yang sampai sekarang masih ada :') |
Jadi kangen nenek ._.
BalasHapus:')
BalasHapusJadi inget uwo...
Hapus