5 Desember 2015
Hari pertama Papa di ruang ICU.
Di lorong ruang tunggu ICU, ada sebuah telepon yang terletak
di sudut dinding. Telepon itu adalah telepon yang digunakan dokter dan perawat
di dalam ruang ICU untuk memanggil keluarga pasien yang sedang menunggu di
luar.
Aku dan Mama tidur tidak jauh dari telepon itu. Setiap kali
telepon berbunyi, darah kami berdesir. Menduga-duga bagaimana keadaan Papa di
dalam sana.
Sepertinya hanya pagi itu, ketika aku dan Mama masih tidur,
telepon berdering tepat pukul tujuh. Aku langsung terbangun, dalam keadaan
kaget bercampur cemas, berlari mengangkat telepon.
“Hallo,” sahutku.
“Hallo, bisa bicara dengan keluarga Pak Hermon?” suara
wanita dari seberang telepon.
Deg. Mendadak jantungku tak karuan iramanya.
“Iya, saya keluarganya Pak Hermon.” Jawabku dengan suara
bergetar.
“Boleh masuk ya, Bu.”
Aku segera menutup telepon dan berlari ke depan pintu ICU
sesaat setelah memberi isyarat pada Mama kalau kami berdua diminta masuk ke
dalam ruang ICU.
Setibanya di depan kamar Papa, aku melihat Papa di atas
tempat tidur dengan sandaran yang ditinggikan, sehingga posisinya menjadi
duduk. Pemandangan tersebut membuatku lega seketika. Ternyata Papa baik-baik
saja. Ternyata Papa sudah boleh makan.
“Ibu, Bapaknya sudah boleh makan. Tolong dibantu ya,” ujar
perawat kepada Mama.
Semangkuk bubur sumsum, segelas teh, dan susu hangat
dihabiskan Papa dengan lahap. Papa sudah bisa berbicara meskipun agak terbata-bata. Papa menanyakan siapa saja teman atau kerabat yang datang menjenguk ke rumah
sakit.
Setiap kali ada tamu yang datang di jam besuk, mereka hanya
bisa melihat Papa dari jendela kaca. Kemudian Papa yang ada di dalam akan
melambaikan tangan. Sesekali Papa mengacungkan jempolnya, mengatakan kepada
mereka yang datang bahwa keadaannya baik-baik saja.
Hari itu semuanya berjalan dengan lancar. Aku dan Mama masuk
ke dalam ruang ICU setiap kali jam makan tiba. Selain itu, kami juga sibuk
menerima tamu yang datang silih berganti. Keadaan Papa pun bisa dikatakan baik.
Semuanya normal, hanya nafasnya saja yang masih pendek-pendek. Papa masih
sering kesulitan menghirup nafas panjang. Kata dokter, ini biasa terjadi. Pasca
operasi memang ada penyesuaian kerja paru-paru yang selama operasi dibantu oleh
mesin. Jadi, seharian itu Papa hanya belajar menarik nafas dalam. Terkadang,
jika Papa sudah merasa terlalu sesak, perawat akan memasang oksigen untuk
membantu pernafasan Papa.
Sementara itu, sejak menghuni ruang tunggu ICU dari jumat
sore, sudah ada 3 pasien yang meninggal. Ini juga yang membuat perasaanku tak
pernah tenang. Tangisan keluarga pasien yang meninggal membuatku ikut larut
dalam duka. Teringat akan kematian yang sangat dekat jaraknya. Seperti di ruang
ICU itu, di mana malaikat maut terlihat sangat sibuk melaksanakan tugasnya.
Malam itu, aku dan Mama kembali tidur berdua di ruang
tunggu.
Telepon berdering lagi. Aku mengecek ponsel dan melihat jam
yang ternyata masih menunjukkan pukul satu malam. Aku bergegas mengangkat
telepon dengan darah yang lagi-lagi berdesir. Dan saat nama Papa yang
disebutkan oleh perawat, desir darahku semakin kencang.
Ketika memasuki ruang ICU, aku melihat beberapa orang
berdiri di depan sebuah kamar. Seorang gadis sedang menelepon sambil menangis.
Gadis lainnya terduduk di lantai dengan pandangan menerawang. Beberapa lelaki
di antara mereka juga menunjukkan ekspresi yang sulit dibaca. Aku mempercepat
langkahku, mengikuti mama yang berjalan di depanku.
Sesampainya di kamar Papa, aku melihat wajah Papa yang tampak
panik.
“Dari tadi gak bisa tidur,” ucap Papa sesaat melihat Mama di
depan pintu. Raut wajahnya terlihat panik bercampur takut. Nafasnya pun terlihat
sesak.
Dan kemudian omongan Papa semakin tidak terkendali. Papa
merasa perjuangannya hanya sampai di situ. Papa merasa waktunya sudah habis.
Papa meminta maaf pada Mama. Papa meninggalkan pesan-pesannya padaku. Pesan
yang sangat tidak ingin ku dengar seumur hidupku.
Lututku gemetar mendengar semua yang Papa ucapkan. Tubuhku
menggigil. Udara di ruangan itu tiba-tiba menjadi sangat dingin.
“Papa nggak boleh ngomong gitu. Papa harus sabar, harus banyak
istighfar. Udah, nggak usah ngomong aneh-aneh. Papa istighfar!” Nada suaraku yang
gemetar sedikit meninggi.
Papa masih tidak tenang. Perawat sudah memasangkan oksigen
tapi Papa masih merasa kesulitan bernafas. Berulang kali Papa membuka oksigen yang
dipasang di mulutnya, dan mengatakan bahwa alat itu sudah tidak berfungsi lagi.
Sebentar-sebentar, Papa melihat monitor pendeteksi detak jantung yang ada di
dekat kepalanya. Papa juga merasa tangannya kebas.
Keadaan malam itu benar-benar chaos. Aku hanya bisa berdiri
mematung tanpa tau harus berbuat apa. Perawat sibuk hilir mudik menyuntikkan
obat pada Papa. Sementara itu, suara tangisan di luar semakin kencang. Sepertinya
pasien di kamar ujung yang tadi ku lewati meninggal. Papa pun mengetahui hal
itu.
“Ada yang meninggal? Jenazahnya udah keluar?” tanya Papa
dengan nafas yang masih terengah-engah.
“Iya, udah nggak usah dipikirin. Papa tidur aja,” ucap Mama
menenangkan.
Kemudian Papa bercerita bahwa saat ia terbangun karena suara
tangisan di luar kamar. Perawat-perawat tampak sibuk, dan perawat yang biasanya
stand by di kamar Papa 24 jam
meninggalkan Papa sendirian. Mendengar cerita itu, barulah aku menemukan titik
terang perihal alasan mengapa Papa menjadi panik seperti tadi. Mungkin Papa
kaget karena menemukan dirinya sendirian di kamar, dengan bunyi suara mesin di
mana-mana, dan lampu ruangan yang redup. Sementara itu, di luar sana perawat
sedang sibuk menangani pasien kritis yang pada akhirnya meninggal. Dan Papa mendengar
percakapan mereka.
Akhirnya, Papa minta ditemani. Mama pun duduk di samping
tempat tidur Papa sambil memegangi tangannya. Sedangkan aku duduk di sebelah
meja perawat.
“Bapaknya emang gampang cemas ya, Mbak?” tanya perawat
padaku.
“Iya, memang kadang gitu. Mungkin karena dengar suara-suara
nangis di luar juga, jadinya mikir yang aneh-aneh.”
“Iya Mbak, tadi emang rame banget di sini. Soalnya tadi
pasien yang meninggal itu dokter di rumah sakit ini.”
Aku dan perawat di ruangan Papa akhirnya berbagi banyak
cerita untuk membunuh waktu. Dari perawat itu pun aku tau kalau sebenarnya
kondisi Papa stabil, hanya saja karena Papa cemas, oksigen yang mengalir ke
otak juga menipis, itulah yang menyebabkan Papa merasa sesak.
Sekita pukul 3, Mama ingin ke toilet. Aku pun menggantikan
Mama untuk menggenggam tangan Papa. Papa masih belum tertidur pulas. Sesekali ia
masih berusaha membuka oksigen di mulutnya.
Jam 4 kurang 15, Papa menyuruhku untuk kembali ke ruang
tunggu untuk tidur. Setelah menanyakan kembali pada Papa apakah sudah tidak apa-apa
ditinggal, dan mengingatkan Papa untuk tidak membuka tali oksigennya, aku pun
keluar dari ruang ICU.
Menjelang pagi, aku dan Mama tidak bisa tidur. Kami masih
membahas apa yang terjadi semalam. Aku pun tidak menyangkal bahwa aku
benar-benar takut. Takut kalau apa yang Papa katakan malam itu benar. Kalau aku
harus menggantikannya menjaga Mama.. untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D