24 Des 2015

Road to CABG (part 3)

Setelah jadwal operasi resmi ditunda menjadi tanggal 29 Oktober 2015, kami pun pulang. Tinggal di Jakarta dalam waktu sebulan tidak memungkinkan, mengingat biaya hidup yang harus dikeluarkan bisa membuat sakit kepala.

Dalam rentang waktu menunggu itu, muncul keraguan Papa. Alasannya adalah untuk beberapa hari kondisi tubuhnya fit dan tidak merasa sakit apa-apa.

“Udah 3 hari ini gak terasa sakit. Apa pantas Papa dioperasi?” kata Papa.

“Pa, kalau gak sakit hari ini, apa ada jaminan bakal gak sakit selama-lamanya? Udah jelas penyumbatan pembuluh darahnya 100%, kok masih nanya pantas apa nggaknya dioperasi,” aku mulai gemas.

Dan biasanya, hanya beberapa jam setelah mempertanyakan apakah ia pantas dioperasi atau tidak, sakitnya kambuh lagi.

Perbincangan seperti di atas tidak hanya terjadi sekali dua kali. Terkadang, kalau kesabaranku sudah habis, karena Papa bersikeras mengatakan bahwa kondisinya belum terlalu parah sehingga tidak pantas untuk dioperasi, maka aku akan bilang.

“Terus gimana? Apa mau kita tunggu sampai parah? Kayak Pak Mus yang pertama kali masuk RS langsung gak sadar, trus langsung operasi?”

Pak Mus adalah kakak ipar Papa yang pernah operasi jantung 10 tahun yang lalu. Papa hanya tertawa mendengar ucapanku yang mulai sewot.

Inilah hal yang harus aku dan Mama lakukan. Kami harus terus mendorong Papa untuk operasi. Tidak boleh ada keraguan sedikitpun. Karena kalau kami ragu, Papa akan lebih ragu. Untungnya kami juga dibantu oleh keluarga besar Papa, yang semuanya mendukung Papa untuk segera melakukan operasi.

Di pertengahan Oktober, aku sudah memesan tiket kereta untuk tanggal 24 Oktober. Papa akan mulai diopname H-2 operasi, tepatnya tanggal 27 Oktober. Perasaanku menjelang hari keberangkatan sebenarnya lumayan nervous. Tapi di depan Papa aku tetap menunjukkan keceriaan dan optimis kalau operasi Papa akan berjalan lancar.

Pada tanggal 21 Oktober, sekitar jam 2 siang, suster Yati menelponku. Dan… ia membawa kabar buruk.

Ia mengatakan kalau jadwal operasi harus ditunda lagi, karena Dr. Tarmizi ternyata sedang berada di Jepang dari tanggal 26 Oktober – 4 November. Karena jadwal operasi bulan November juga sudah sangat padat, maka Papa mendapat jadwal tanggal 3 Desember. Tubuhku lagi-lagi lemas mendengarnya.
Bagaimana dengan Papa? Tidak kalah lemas. Karena ia sudah menyiapkan mental dari hari ke hari untuk menghadapi operasi. Sudah stres dan deg-deg-an ternyata gak jadi lagi. Tapi, lagi-lagi di sisi lain Papa seperti merasa lega. Kalau kemarin-kemarinnya menjelang hari keberangkatan ke Jakarta Papa lebih banyak diam, setelah suster Yati menelpon, Papa kembali banyak berbicara seperti biasanya.

Waktu itu aku sempat menggoda Papa dengan mengatakan, “Pa, jangan-jangan ini ditunda terus karena Papa bolak-bolak bilang kalau gak pantas dioperasi, karena Papa sebenarnya belum siap, jadi Allah tau dan ngasih Papa waktu tambahan lagi,”

Papa pun tertawa mendengar ucapanku, yang kemudian ku artikan sebagai pembenaran bahwa Papa memang belum siap.

“Ayo Pa, harus siap, supaya gak diundur-undur lagi,” aku menyemangati Papa.

Jadwal operasi yang diundur-undur ini dipertanyakan oleh keluarga besar (sebenarnya olehku juga). Apakah Papa memang tidak terlalu urgent untuk dioperasi, apakah Papa masih bisa menahan sakitnya itu, dsb. Tapi memang selama rentang waktu menunggu itu, Papa bergantung pada obat. Selain itu, aku juga meminimalisir aktifitas fisik yang dilakukan Papa. Papa tidak boleh berjalan terlalu jauh, tidak boleh mengangkat benda-benda berat, tidak boleh melakukan kegiatan berat apapun.

Hari terus berganti. Namun aku merasa menunggu sebulan itu bukan waktu yang lama, karena tiba-tiba saja sudah tanggal 20 November. Ternyata Mama dan Papa juga merasakan hal yang sama, di mana waktu terasa berjalan begitu cepat. Mungkin ini efek dari perasaan kami yang semakin deg-deg-an menghadapai operasi yang sudah 2x diundur.

Sejak tanggal 20 ke atas, aku membawa handphone ke mana pun aku pergi, bahkan ketika aku mandi. Bukan apa-apa, hanya saja aku merasa bahwa suster Yati akan menelpon lagi guna memastikan jadwal operasi. Tapi sampai tanggal 24, telepon yang ditunggu belum juga tiba. Papa semakin tidak sabar dan mendesakku untuk menghubungi suster Yati. Aku pun menjanjikan pada Papa bahwa aku akan menelponnya besok.

Keesokan harinya, sesaat ketika aku akan menelepon suster Yati, handphoneku berdering dan nama suster Yati tertera di layar. Suster Yati mengatakan bahwa operasi akan dilakukan pada tanggal 4 Desember, Papa mulai diopname di RS dari tanggal 2 Desember, dan Papa harus berhenti meminum obat pengencer darah dari tanggal 27 November. Fix, kali ini operasinya jadi, dan tidak diundur lagi.

Aku, Mama, dan Papa berangkat ke Jakarta naik kereta pada tanggal 29 November. Selama di kereta, otakku tidak berhenti berpikir bagaimana caranya mengumpulkan kekuatan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa nanti aku tidak boleh menangis. Tidak di depan Papa.

4 komentar:

  1. Tetap kuat dan tegar, Mba Raudha. Simpan air matanya, keluarkan dalam bentuk air mata bahagia di saat papanya sudah sembuh total. Aamiin. :)

    Salam kenal,
    http://penjajakata.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiiiin. Terima kasih banyak ya :')
      Salam kenal juga :)

      Hapus
  2. Assammualaikum Wr Wb

    Terima Kasih Mba Raudha, tulisannya bukan hanya cerita yang enak dibaca, tapi juga sangat menginspirasi dan memotivasi saya yang sedang dilanda keraguan, karena di usia yang sama dengan ayah Mba Raudha, saya harus operasi CABG juga. Mudah2an ayah Mba Raudha sekarang bertambah sehat, Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam

      Jangan ragu pak, kita semua kan wajib berusaha. Berobat supaya sehat itu juga termasuk usaha. InsyaAllah setelah operasi nanti Bapak sudah sehat seperti ayah saya sekarang. Setahun pasca operasi alhamdulillah sudah jauh lebih sehat :')

      Semangat ya Pak :')

      Hapus

Leave your comment here :D