Setelah jadwal operasi resmi ditunda menjadi tanggal 29
Oktober 2015, kami pun pulang. Tinggal di Jakarta dalam waktu sebulan tidak
memungkinkan, mengingat biaya hidup yang harus dikeluarkan bisa membuat sakit
kepala.
Dalam rentang waktu menunggu itu, muncul keraguan Papa.
Alasannya adalah untuk beberapa hari kondisi tubuhnya fit dan tidak merasa
sakit apa-apa.
“Udah 3 hari ini gak terasa sakit. Apa pantas Papa
dioperasi?” kata Papa.
“Pa, kalau gak sakit hari ini, apa ada jaminan bakal gak
sakit selama-lamanya? Udah jelas penyumbatan pembuluh darahnya 100%, kok masih
nanya pantas apa nggaknya dioperasi,” aku mulai gemas.
Dan biasanya, hanya beberapa jam setelah mempertanyakan
apakah ia pantas dioperasi atau tidak, sakitnya kambuh lagi.
Perbincangan seperti di atas tidak hanya terjadi sekali dua
kali. Terkadang, kalau kesabaranku sudah habis, karena Papa bersikeras
mengatakan bahwa kondisinya belum terlalu parah sehingga tidak pantas untuk
dioperasi, maka aku akan bilang.
“Terus gimana? Apa mau kita tunggu sampai parah? Kayak Pak
Mus yang pertama kali masuk RS langsung gak sadar, trus langsung operasi?”
Pak Mus adalah kakak ipar Papa yang pernah operasi jantung
10 tahun yang lalu. Papa hanya tertawa mendengar ucapanku yang mulai sewot.
Inilah hal yang harus aku dan Mama lakukan. Kami harus terus
mendorong Papa untuk operasi. Tidak boleh ada keraguan sedikitpun. Karena kalau
kami ragu, Papa akan lebih ragu. Untungnya kami juga dibantu oleh keluarga
besar Papa, yang semuanya mendukung Papa untuk segera melakukan operasi.
Di pertengahan Oktober, aku sudah memesan tiket kereta untuk
tanggal 24 Oktober. Papa akan mulai diopname H-2 operasi, tepatnya tanggal 27
Oktober. Perasaanku menjelang hari keberangkatan sebenarnya lumayan nervous. Tapi
di depan Papa aku tetap menunjukkan keceriaan dan optimis kalau operasi Papa
akan berjalan lancar.
Pada tanggal 21 Oktober, sekitar jam 2 siang, suster Yati
menelponku. Dan… ia membawa kabar buruk.
Ia mengatakan kalau jadwal operasi harus ditunda lagi, karena Dr. Tarmizi ternyata sedang berada di Jepang dari tanggal 26 Oktober – 4 November. Karena jadwal operasi bulan November juga sudah sangat padat, maka Papa mendapat jadwal tanggal 3 Desember. Tubuhku lagi-lagi lemas mendengarnya.
Ia mengatakan kalau jadwal operasi harus ditunda lagi, karena Dr. Tarmizi ternyata sedang berada di Jepang dari tanggal 26 Oktober – 4 November. Karena jadwal operasi bulan November juga sudah sangat padat, maka Papa mendapat jadwal tanggal 3 Desember. Tubuhku lagi-lagi lemas mendengarnya.
Bagaimana dengan Papa? Tidak kalah lemas. Karena ia sudah
menyiapkan mental dari hari ke hari untuk menghadapi operasi. Sudah stres dan deg-deg-an
ternyata gak jadi lagi. Tapi, lagi-lagi di sisi lain Papa seperti merasa lega.
Kalau kemarin-kemarinnya menjelang hari keberangkatan ke Jakarta Papa lebih
banyak diam, setelah suster Yati menelpon, Papa kembali banyak berbicara
seperti biasanya.
Waktu itu aku sempat menggoda Papa dengan mengatakan, “Pa, jangan-jangan
ini ditunda terus karena Papa bolak-bolak bilang kalau gak pantas dioperasi,
karena Papa sebenarnya belum siap, jadi Allah tau dan ngasih Papa waktu
tambahan lagi,”
Papa pun tertawa mendengar ucapanku, yang kemudian ku artikan
sebagai pembenaran bahwa Papa memang belum siap.
“Ayo Pa, harus siap, supaya gak diundur-undur lagi,” aku
menyemangati Papa.
Jadwal operasi yang diundur-undur ini dipertanyakan oleh
keluarga besar (sebenarnya olehku juga). Apakah Papa memang tidak terlalu
urgent untuk dioperasi, apakah Papa masih bisa menahan sakitnya itu, dsb. Tapi
memang selama rentang waktu menunggu itu, Papa bergantung pada obat. Selain
itu, aku juga meminimalisir aktifitas fisik yang dilakukan Papa. Papa tidak
boleh berjalan terlalu jauh, tidak boleh mengangkat benda-benda berat, tidak
boleh melakukan kegiatan berat apapun.
Hari terus berganti. Namun aku merasa menunggu sebulan itu
bukan waktu yang lama, karena tiba-tiba saja sudah tanggal 20 November.
Ternyata Mama dan Papa juga merasakan hal yang sama, di mana waktu terasa berjalan begitu
cepat. Mungkin ini efek dari perasaan kami yang semakin deg-deg-an menghadapai
operasi yang sudah 2x diundur.
Sejak tanggal 20 ke atas, aku membawa handphone ke mana pun
aku pergi, bahkan ketika aku mandi. Bukan apa-apa, hanya saja aku merasa bahwa
suster Yati akan menelpon lagi guna memastikan jadwal operasi. Tapi sampai
tanggal 24, telepon yang ditunggu belum juga tiba. Papa semakin tidak sabar dan
mendesakku untuk menghubungi suster Yati. Aku pun menjanjikan pada Papa bahwa
aku akan menelponnya besok.
Keesokan harinya, sesaat ketika aku akan menelepon suster
Yati, handphoneku berdering dan nama suster Yati tertera di layar. Suster Yati
mengatakan bahwa operasi akan dilakukan pada tanggal 4 Desember, Papa mulai
diopname di RS dari tanggal 2 Desember, dan Papa harus berhenti meminum obat
pengencer darah dari tanggal 27 November. Fix, kali ini operasinya jadi, dan tidak
diundur lagi.
Aku, Mama, dan Papa berangkat ke Jakarta naik kereta pada
tanggal 29 November. Selama di kereta, otakku tidak berhenti berpikir bagaimana
caranya mengumpulkan kekuatan. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa nanti aku tidak
boleh menangis. Tidak di depan Papa.
Tetap kuat dan tegar, Mba Raudha. Simpan air matanya, keluarkan dalam bentuk air mata bahagia di saat papanya sudah sembuh total. Aamiin. :)
BalasHapusSalam kenal,
http://penjajakata.com/
Amiiiiin. Terima kasih banyak ya :')
HapusSalam kenal juga :)
Assammualaikum Wr Wb
BalasHapusTerima Kasih Mba Raudha, tulisannya bukan hanya cerita yang enak dibaca, tapi juga sangat menginspirasi dan memotivasi saya yang sedang dilanda keraguan, karena di usia yang sama dengan ayah Mba Raudha, saya harus operasi CABG juga. Mudah2an ayah Mba Raudha sekarang bertambah sehat, Aamiin
Waalaikumsalam
HapusJangan ragu pak, kita semua kan wajib berusaha. Berobat supaya sehat itu juga termasuk usaha. InsyaAllah setelah operasi nanti Bapak sudah sehat seperti ayah saya sekarang. Setahun pasca operasi alhamdulillah sudah jauh lebih sehat :')
Semangat ya Pak :')