17 Des 2015

Road to CABG (part 1)

Dulu aku pernah berjanji pada Papa untuk menuliskan ceritanya di sini. "Kalau Papa udah selesai operasi, nanti tulisin di blog ya dek," begitu ucapnya. Dan kini aku ingin memenuhi janji itu. Tulisan ini akan sedikit panjang, aku akan berusaha bercerita sedetail mungkin, dengan harapan bahwa tulisan ini nantinya mampu memberi gambaran mengenai operasi jantung by pass.

So, here we go.

Papa divonis menderita jantung koroner di tahun 2013. Tepatnya saat bulan puasa, Papa pernah mendapat serangan jantung sebanyak 3x dan menyebabkan Papa dilarikan ke UGD. Kemudian, sekitar akhir tahun 2013, ketika Papa sedang di Jakarta, Papa kembali memdapat serangan dan langsung di bawa ke rumah sakit jantung Harapan Kita. Setelah melakukan serangkaian test seperti treadmill, EKG, echo, dsb, maka dokter pun akhirnya memastikan bahwa pembuluh darah jantung Papa mengalami penyumbatan. Dokter menyarankan Papa untuk segera melakukan kateterisasi jantung untuk melihat berapa banyak penyumbatan yang ada di jantung Papa.


Waktu itu, tindakan kateterisasi tidak langsung dilakukan, sebab setelah kateter maka tindakan selanjutnya adalah mengambil keputusan, apakah akan dipasang ring (cincin) atau operasi by pass. Dan Papa belum siap untuk memilih salah satunya. Akhirnya, dokter hanya memberi Papa obat pertolongan pertama yang harus diminum setiap kali serangan datang.

Di tahun 2014, dari rekomendasi beberapa saudara/teman, Papa menjalani berbagai macam pengobatan alternatif. Papa pernah terapi pijat jantung di Serpong, Tanjung Alam, Banyuwangi, Pandaan, Kepanjen yang dilakukan berbulan-bulan. Berbagai macan ramuan herbal dan jamu-jamuan juga sudah akrab dengan Papa, tetapi tetap tidak membuat kondisi kesehatan Papa menjadi lebih baik. Papa semakin sering merasa sakit di bagian lengan, punggung, dan mencengkram hingga ke rahang. Papa juga tidak lagi bisa berjalan kaki untuk jarak yang jauh.

Di awal tahun 2015, kondisi Papa semakin drop. Wajahnya semakin sering terlihat pucat dan sembab. Katanya, ini memang salah satu ciri penderita jantung. Akhirnya Papa menyerah pada pengobatan alternatif dan kembali ke pengobatan medis, kembali melakukan check up ke rumah sakit Harapan Kita di Jakarta. Hasil pemeriksaan tetap sama, dokter menyarankan Papa untuk segera melakukan kateterisasi jantung dan papa menyetujui itu. Di rs Harapan Kita, untuk melakukan kateter tidak bisa langsung, karena daftar antri pasien yang cukup banyak. Papa pun mendapat jadwal untuk melakukan kateterisasi jantung pada tanggal 10 Mei 2015.

Aku mengenal Papa sebagai pribadi yang mudah berubah pikiran. Ketika tanggal 10 Mei semakin dekat, semakin banyak hal yang Papa pertimbangkan untuk melakukan kateter. Pertimbangan pertama adalah karena waktu itu sudah sebulan sebelum puasa. Bulan puasa bagi Papa (juga kami sekeluarga) adalah bulan yang sibuk. Maklum, sebagai pedagang, bulan puasa memang bulan yang ditunggu-tunggu karena bulan itu ibaratnya "masa panen". Pertimbangan kedua adalah wisudaku. Papa takut kalau misalnya ia di kateter tanggal 10, dan kalau kemudian dokter melakukan tindakan medis berikutnya seperti pasang ring atau operasi, maka Papa tidak bisa menghadiri wisudaku. Karena dua pertimbangan inilah akhirnya Papa memutuskan untuk menunda melakukan kateter.

Jujur saja itu membuatku takut. Papa sudah terlalu lama menahan rasa sakit dan terlalu lama juga menunda dilakukannya tindakan medis. But I have nothing to do. Aku tidak berhasil mengubah keputusan Papa untuk menunda kateter. Aku hanya bisa berdoa semoga Papa sehat selama bulan puasa, sampai habis lebaran, sampai Papa bisa dipasang ring atau operasi. Aku yang awalnya juga tidak setuju kalau Papa pasang ring atau operasi (berharap penyakitnya sembuh dengan pengobatan alternatif), pada akhirnya luluh. Apapun caranya, apapun jalannya, tidak apa-apa asalkan Papa bisa sembuh.

Setelah lebaran sekitar bulan Agustus, Papa kembali menghubungi rumah sakit untuk minta dijadwalkan kateter. Papa mendapatkan jadwal kateter tanggal 16 september 2015. Iya, Papa harus menunggu lagi selama bulan karena memang jadwal kateterisasi di rumah sakit itu sangat amat padat.

Oh iya, selama menunggu itu jangan dipikir Papa tidak pernah mendapatkan serangan. Papa masih sering kumat dan obat yang diberi dokter sebagai pertolongan pertama itu menjadi teman baik Papa selama menunggu. Ternyata pemandangan yang biasanya kulihat di televisi, ketika tokoh utama mendapat serangan jantung dan merogoh obat-obatan di dalam laci, ku temukan juga di dunia nyata. Papa juga begitu. Di saku bajunya selalu sedia obat yang mampu meredakan rasa sakit yang biasanya mendera tubuh Papa.

16 September 2015, aku menemani Papa ke Jakarta untuk melakukan kateterisasi. Alhamdulillah, pada saat kateter Papa sehat, kondisinya stabil, dan tidak sampai opname, pasang infus, atau oksigen. Papa dikateter dari jam 8 sampai sekitar jam setengah 10 pagi, lalu kami diminta untuk menunggu hasilnya sampai jam 1 siang.

Dari hasil kateter, ditemukan kalau ada 3 pembuluh jantung Papa yang tersumbat. Satu pembuluh jantung terbesar di sebelah kanan tersumbat 100%, dan 2 pembuluh jantung di sebelah kiri tersumbat 80%-90%. Jadi, bagian jantung sebelah kanan mendapat suplai oksigen dari jantung sebelah kiri, di mana pembuluh darah di bagian kiri pun sudah banyak yang rusak. Ini yang mengakibatkan peredaran darah di jantung Papa tidak lancar, sebab salurannya sudah banyak yang tersumbat di sana-sini.

Dokter jantung Papa di RS Harapan Kita, Dr. Sutedjo, menyarankan untuk melakukan operasi by pass (CABG). Karena menurutnya, jika dipasang ring, hanya membetulkan pembuluh darah yang tersumbat 80%-90%, sedangkan pembuluh darah yang sudah tersumbat 100% tidak bisa dipasang ring. Kalaupun di pasang ring, menurut dokter hanya akan membuat Papa merasa 'sedikit' lebih baik. Artinya, jika sekarang Papa hanya bisa berjalan untuk jarak 10 m, maka setelah dipasang ring Papa bisa berjalan untuk jarak 20 m. Jadi, memasang ring tidak membuat Papa bisa sembuh total. Berbeda dengan operasi by pass, di mana operasi tersebut akan membetulkan pembuluh darah secara keseluruhan.

Mendengar penjelasan dari dokter, Papa terlihat shock. Papa memang takut untuk dioperasi. Aku pun sebenarnya juga begitu. Tapi, kalau memang operasi adalah satu-satunya jalan yang bisa memberi peluang Papa untuk sembuh, aku mendukungnya. Rasanya sudah cukup usaha Papa untuk mencari alternatif selain operasi, yang dilakukannya selama 2 tahun, yang tidak membuahkan hasil. Setelah diskusi dan juga mendapat dukungan dari keluarga besar, Papa pun setuju untuk dioperasi.

To be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D