Operasi. Keputusan yang telah diambil Papa dan mendapat
dukungan penuh dariku, mama, juga abang. Walaupun jauh di dalam lubuk hati yang
paling dalam kami tidak menginginkan itu. Tapi terkadang hidup memang
menawarkan sebuah jalan keluar yang tidak mudah untuk dilalui.
Okay, step selanjutnya adalah menemui dokter bedah jantung.
Papa mempercayakannya pada Dr. Tarmizi Hakim SP.BTKV. Siapa itu Dr. Tarmizi (sepertinya
aku akan membuat satu chapter khusus tentang Dr. Tarmizi karena banyak hal yang ingin aku ceritakan tentang beliau)? Singkat cerita, Dr. Tarmizi adalah dokter
yang sudah pernah menangani beberapa orang saudara Papa yang juga melakukan
operasi jantung dan operasi tersebut berjalan sukses. Jadi, Papa ingin dipegang oleh dokter yang sama, berharap akan memperoleh hasil yang sama pula.
Kesan yang kutangkap ketika pertama kali bertemu Dr. Tarmizi
adalah optimismenya tentang keberhasilan operasi yang akan dijalani Papa.
“Untuk operasi By Pass, ada empat syarat yang harus dipenuhi
pasien. Pertama, usia di bawah 70 tahun. Bapak masih 56 tahun, jadi masih masuk
kategori aman untuk operasi. Lain cerita kalau sudah 70 tahun ke atas, itu umur
yang lebih beresiko. Kedua, fungsi pompa jantung itu minimal 30-40%. Dari hasil
echo, fungsi pompa jantung Bapak juga masih bagus, ada 70%. Ketiga, kondisi
ginjal. Hasil lab pun menunjukkan kalau ginjal Bapak tidak ada masalah. Yang
terakhir, Bapak tidak ada riwayat stroke. Pasien yang pernah stroke itu
resikonya lebih tinggi untuk melakukan operasi,” jelas Dr. Tarmizi panjang
lebar.
“Jadi, kalau dari data, kalau kita berbicara masalah angka,
99% operasi ini aman untuk dilakukan. Sekarang tinggal kesiapan mental Bapak.
Bapak siap atau tidak untuk operasi?”
Papa pun saat itu tanpa ragu menjawab siap. Begitu pun
denganku dan Mama. Jujur saja saat itu aku sangat antusias. Penjelasan Dr.
Tarmizi meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja dan Papa akan sembuh
setelah operasi.
“Satu lagi syarat yang harus dipenuhi pasien dan juga keluarga
yang mendampingi. Sabar dan ikhlas. Kita di sini cuma ikhtiar ya, Pak.
Bagaimanapun juga, kembali pada Allah yang menentukan,” ucap Dr. Tarmizi.
Selain Dr. Tarmizi, kami juga sempat bertemu dengan Dr.
Agustian yang juga merupakan dokter spesialis bedah jantung. Beliau juga
ikut memberi gambaran mengenai operasi By Pass kepada kami.
“Operasi jantung itu, jantung gak akan dikeluarin, Pak.
Ngapain kita ngeluarin jantung? Yang kita lihat itu nanti cuma pembuluh darah
saja, seperti pembuluh darah yang ada di tangan ini. Jantung juga tidak akan kami
potong-potong. Jadi, rumor-rumor yang beredar di luar sana tentang operasi
jantung itu ngaco semua!” jelas Dr. Agustian.
Aku pun tertawa mendengar apa yang dikatakan Dr. Agustian.
Karena memang pernah ada yang mengatakan padaku kalau ketika operasi jantung
itu jantungnya dikeluarkan, yang membuat gambaran operasi jantung di kepalaku semakin mengerikan. Hiks.
“Dan nanti, setelah operasi, Bapak jangan takut bergerak.
Kan banyak tuh orang-orang abis operasi takut bergerak, takut jahitan lepas
atau apalah. Bapak gak perlu takut itu, karena kita menjahit tidak hanya satu
lapis. Dari dalam keluar itu ada sekitar 5-6 lapis jahitan,” kata Dr. Agustian
lagi.
Penjelasan tambahan dari Dr. Agustian semakin membuat
tekadku (dan juga Papa) semakin bulat untuk operasi. Everything is going to be
fine. Aku mengulang kalimat itu ribuan kali di dalam hati.
Saat itu tanggal operasi langsung ditentukan, yaitu tanggal
28 September 2015. Hanya seminggu dari hari bertemu dengan Dr. Tarmizi. Beliau sengaja
menjadwalkan operasi secepat mungkin sebab di bulan berikutnya beliau akan ke
Brunei.
Seminggu menjelang operasi, hampir setiap hari aku, Papa,
dan Mama ke rumah sakit untuk melakukan berbagai macam check up sebagai salah
satu prosedur sebelum operasi By Pass. Mulai dari check up ke dokter spesialis
syaraf, dokter spesialis paru, dokter spesialis THT, dokter spesialis bedah
gigi dan mulut, dan dokter spesialis penyakit dalam.
Hasil check up secara kesuluruhan baik. Syaraf, THT, Paru,
penyakit dalam, semua dokter spesialis itu meng-acc rencana operasi Papa. Tapi….kendala
ada di dokter spesialis bedah gigi dan mulut. Setelah diperiksa, ternyata gigi
Papa ada yang berlubang, goyang, dan harus dicabut.
Aku mengantarkan Papa ke dokter spesialis bedah gigi dan
mulut pada hari Rabu tanggal 24 September 2015 untuk cabut gigi. Ternyata,
setelah cek gula, gula Papa hari itu tinggi yakni di atas 200, dan untuk penderita
diabetes, mencabut gigi tidak boleh dilakukan saat gula tinggi. Akhirnya dokter
meminta kami untuk kembali lagi hari Jumat (karena hari kamisnya libur) dan
memastikan gula Papa tidak lebih dari 200 pada hari itu.
Aku tentu saja shock. Aku baru tau kalau gula harus dibawah
200 kalau mau cabut gigi. Aku merasa kecolongan karena tidak mengetahui fakta
ini. Kalau saja aku tau, aku akan melarang Papa makan terlalu banyak menjelang
cabut gigi itu. Ditundanya jadwal cabut gigi itu membuat perasaanku tidak enak.
I just knew that something bad happened. Akhirnya aku putuskan untuk menemui
perawat di poli bedah, suster Yati namanya, untuk menceritakan keadaan Papa.
Setelah aku ceritakan kronologisnya, suster Yati langsung
mengatakan, “Loh? Giginya belum beres? Emang kebanyakan pasien mau operasi tuh bermasalahnya
di gigi. Gak bisa, operasinya harus ditunda. Jarak antara cabut gigi sama
operasi itu minimal 5 hari. Kalau cabut gigi hari jumat, operasi senin, berarti
jaraknya cuma 3 hari,” ujar suster Yati. Aku yang mendengar jawaban suster Yati
langsung lemas seketika.
Suster Yati ketika itu langsung menelpon Dr. Tarmizi dan Dr.
Agustian, menceritakan masalah gigi Papa. Dan benar saja, operasi tidak bisa
dilakukan jika jarak dengan jadwal cabut gigi terlalu dekat, sebab akan
beresiko terjadi pendarahan ketika di meja operasi. Di sisi lain, gigi Papa
juga harus dicabut karena sudah infeksi.
Mungkin kalian bertanya-tanya, jantung yang mau dioperasi, tapi
kenapa gigi yang infeksi harus dicabut?
Ketika gigi berlubang dan goyang artinya ada bakteri dan
kuman di dalamnya. Artinya juga, gigi itu sudah infeksi. Jika infeksi itu tidak
disingkirkan, maka kuman dan bakteri akan mengalir di dalam darah yang bermuara
ke jantung yang akibatnya infeksi itu juga akan menyebar ke mana mana. Operasi
jantung adalah operasi besar, sehingga kondisi pasien dari ujung kepala sampai
ujung kaki harus benar-benar fit.
Fix, operasi ditunda sampai gigi Papa beres. Karena jadwal
operasi di RS yang sudah sangat padat, dan juga menyesuaikan dengan jadwal
dokter yang menangani, akhirnya operasi Papa ditunda sampai tanggal 28 Oktober
2015. Iya, jaraknya sebulan dari jadwal awal. Bagaimana perasaanku waktu itu?
Kesal, geregetan, menyesal, merasa kecolongan, semuanya campur aduk jadi satu. Karena
dari awal aku yang menyusun jadwal urutan check up ke dokter-dokter itu. Karena
aku yang meletakkan dokter bedah mulut dan gigi sebagai dokter terakhir yang Papa
kunjungi. Karena aku pikir periksa gigi tidak akan serumit periksa syaraf atau
paru-paru atau penyakit dalam.
Ketika semua hasil pemeriksaan menunjukkan Papa boleh
melakukan operasi, ternyata ada satu masalah yang kelihatannya kecil yang ternyata
bisa mengacaukan semuanya. Kenapa aku bilang masalah gigi adalah masalah yang
kelihatannya kecil? Merujuk ucapan suster Yati yang mengatakan bahwa “pasien
lain juga sering terkendala di gigi”, terlihat jelas bahwa kesehatan gigi
adalah hal yang sering kita anggap sepele. Berapa banyak sih orang yang kalau
sakit gigi langsung ke dokter? Gak banyak. Kita hanya akan membeli obat warung untuk
meredakan nyeri, dan setelah nyerinya hilang, kita akan menganggap kalau
sakitnya sudah sembuh, padahal belum.
Jadi, dari masalah gigi ini, aku seperti diingatkan untuk
jangan pernah meremehkan hal sekecil apapun, karena bisa jadi hal yang kita
anggap kecil itu punya dampak yang besar.
Lalu, bagaimana reaksi Papa setelah tau operasinya ditunda?
Papa juga lumayan kaget dan menyesal kenapa gulanya tinggi
waktu mau cabut gigi. Walaupun di sisi lain sepertinya Papa sedikit lega karena
mendapat tambahan waktu untuk menyiapkan mental. Kenapa aku bisa menyimpulkan
seperti itu? Aku bisa membacanya dari raut wajah Papa.
Di depan pintu rumah sakit, setelah melewati hari yang
panjang dan melelahkan melakukan pemeriksaan ini dan itu, aku bilang pada Mama,
“Ma, sekuat apapun kita berusaha, kalau Allah belum kasih ijin, ada aja ya
masalahnya. Aku pikir nanti kita pulangnya bawa Papa yang udah sehat, ternyata
belum…”
To be continued..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D