22 Des 2015

Road to CABG (part 2)

Operasi. Keputusan yang telah diambil Papa dan mendapat dukungan penuh dariku, mama, juga abang. Walaupun jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam kami tidak menginginkan itu. Tapi terkadang hidup memang menawarkan sebuah jalan keluar yang tidak mudah untuk dilalui.

Okay, step selanjutnya adalah menemui dokter bedah jantung. Papa mempercayakannya pada Dr. Tarmizi Hakim SP.BTKV. Siapa itu Dr. Tarmizi (sepertinya aku akan membuat satu chapter khusus tentang Dr. Tarmizi karena banyak hal yang ingin aku ceritakan tentang beliau)? Singkat cerita, Dr. Tarmizi adalah dokter yang sudah pernah menangani beberapa orang saudara Papa yang juga melakukan operasi jantung dan operasi tersebut berjalan sukses. Jadi, Papa ingin dipegang oleh dokter yang sama, berharap akan memperoleh hasil yang sama pula.

Kesan yang kutangkap ketika pertama kali bertemu Dr. Tarmizi adalah optimismenya tentang keberhasilan operasi yang akan dijalani Papa.

“Untuk operasi By Pass, ada empat syarat yang harus dipenuhi pasien. Pertama, usia di bawah 70 tahun. Bapak masih 56 tahun, jadi masih masuk kategori aman untuk operasi. Lain cerita kalau sudah 70 tahun ke atas, itu umur yang lebih beresiko. Kedua, fungsi pompa jantung itu minimal 30-40%. Dari hasil echo, fungsi pompa jantung Bapak juga masih bagus, ada 70%. Ketiga, kondisi ginjal. Hasil lab pun menunjukkan kalau ginjal Bapak tidak ada masalah. Yang terakhir, Bapak tidak ada riwayat stroke. Pasien yang pernah stroke itu resikonya lebih tinggi untuk melakukan operasi,” jelas Dr. Tarmizi panjang lebar.


“Jadi, kalau dari data, kalau kita berbicara masalah angka, 99% operasi ini aman untuk dilakukan. Sekarang tinggal kesiapan mental Bapak. Bapak siap atau tidak untuk operasi?”
Papa pun saat itu tanpa ragu menjawab siap. Begitu pun denganku dan Mama. Jujur saja saat itu aku sangat antusias. Penjelasan Dr. Tarmizi meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja dan Papa akan sembuh setelah operasi.

“Satu lagi syarat yang harus dipenuhi pasien dan juga keluarga yang mendampingi. Sabar dan ikhlas. Kita di sini cuma ikhtiar ya, Pak. Bagaimanapun juga, kembali pada Allah yang menentukan,” ucap Dr. Tarmizi.

Selain Dr. Tarmizi, kami juga sempat bertemu dengan Dr. Agustian yang juga merupakan dokter spesialis bedah jantung. Beliau juga ikut memberi gambaran mengenai operasi By Pass kepada kami.

“Operasi jantung itu, jantung gak akan dikeluarin, Pak. Ngapain kita ngeluarin jantung? Yang kita lihat itu nanti cuma pembuluh darah saja, seperti pembuluh darah yang ada di tangan ini. Jantung juga tidak akan kami potong-potong. Jadi, rumor-rumor yang beredar di luar sana tentang operasi jantung itu ngaco semua!” jelas Dr. Agustian.

Aku pun tertawa mendengar apa yang dikatakan Dr. Agustian. Karena memang pernah ada yang mengatakan padaku kalau ketika operasi jantung itu jantungnya dikeluarkan, yang membuat gambaran operasi jantung di kepalaku semakin mengerikan. Hiks.

“Dan nanti, setelah operasi, Bapak jangan takut bergerak. Kan banyak tuh orang-orang abis operasi takut bergerak, takut jahitan lepas atau apalah. Bapak gak perlu takut itu, karena kita menjahit tidak hanya satu lapis. Dari dalam keluar itu ada sekitar 5-6 lapis jahitan,” kata Dr. Agustian lagi.

Penjelasan tambahan dari Dr. Agustian semakin membuat tekadku (dan juga Papa) semakin bulat untuk operasi. Everything is going to be fine. Aku mengulang kalimat itu ribuan kali di dalam hati.

Saat itu tanggal operasi langsung ditentukan, yaitu tanggal 28 September 2015. Hanya seminggu dari hari bertemu dengan Dr. Tarmizi. Beliau sengaja menjadwalkan operasi secepat mungkin sebab di bulan berikutnya beliau akan ke Brunei.

Seminggu menjelang operasi, hampir setiap hari aku, Papa, dan Mama ke rumah sakit untuk melakukan berbagai macam check up sebagai salah satu prosedur sebelum operasi By Pass. Mulai dari check up ke dokter spesialis syaraf, dokter spesialis paru, dokter spesialis THT, dokter spesialis bedah gigi dan mulut, dan dokter spesialis penyakit dalam.

Hasil check up secara kesuluruhan baik. Syaraf, THT, Paru, penyakit dalam, semua dokter spesialis itu meng-acc rencana operasi Papa. Tapi….kendala ada di dokter spesialis bedah gigi dan mulut. Setelah diperiksa, ternyata gigi Papa ada yang berlubang, goyang, dan harus dicabut.

Aku mengantarkan Papa ke dokter spesialis bedah gigi dan mulut pada hari Rabu tanggal 24 September 2015 untuk cabut gigi. Ternyata, setelah cek gula, gula Papa hari itu tinggi yakni di atas 200, dan untuk penderita diabetes, mencabut gigi tidak boleh dilakukan saat gula tinggi. Akhirnya dokter meminta kami untuk kembali lagi hari Jumat (karena hari kamisnya libur) dan memastikan gula Papa tidak lebih dari 200 pada hari itu.

Aku tentu saja shock. Aku baru tau kalau gula harus dibawah 200 kalau mau cabut gigi. Aku merasa kecolongan karena tidak mengetahui fakta ini. Kalau saja aku tau, aku akan melarang Papa makan terlalu banyak menjelang cabut gigi itu. Ditundanya jadwal cabut gigi itu membuat perasaanku tidak enak. I just knew that something bad happened. Akhirnya aku putuskan untuk menemui perawat di poli bedah, suster Yati namanya, untuk menceritakan keadaan Papa.

Setelah aku ceritakan kronologisnya, suster Yati langsung mengatakan, “Loh? Giginya belum beres? Emang kebanyakan pasien mau operasi tuh bermasalahnya di gigi. Gak bisa, operasinya harus ditunda. Jarak antara cabut gigi sama operasi itu minimal 5 hari. Kalau cabut gigi hari jumat, operasi senin, berarti jaraknya cuma 3 hari,” ujar suster Yati. Aku yang mendengar jawaban suster Yati langsung lemas seketika.

Suster Yati ketika itu langsung menelpon Dr. Tarmizi dan Dr. Agustian, menceritakan masalah gigi Papa. Dan benar saja, operasi tidak bisa dilakukan jika jarak dengan jadwal cabut gigi terlalu dekat, sebab akan beresiko terjadi pendarahan ketika di meja operasi. Di sisi lain, gigi Papa juga harus dicabut karena sudah infeksi.

Mungkin kalian bertanya-tanya, jantung yang mau dioperasi, tapi kenapa gigi yang infeksi harus dicabut?

Ketika gigi berlubang dan goyang artinya ada bakteri dan kuman di dalamnya. Artinya juga, gigi itu sudah infeksi. Jika infeksi itu tidak disingkirkan, maka kuman dan bakteri akan mengalir di dalam darah yang bermuara ke jantung yang akibatnya infeksi itu juga akan menyebar ke mana mana. Operasi jantung adalah operasi besar, sehingga kondisi pasien dari ujung kepala sampai ujung kaki harus benar-benar fit. 

Fix, operasi ditunda sampai gigi Papa beres. Karena jadwal operasi di RS yang sudah sangat padat, dan juga menyesuaikan dengan jadwal dokter yang menangani, akhirnya operasi Papa ditunda sampai tanggal 28 Oktober 2015. Iya, jaraknya sebulan dari jadwal awal. Bagaimana perasaanku waktu itu? Kesal, geregetan, menyesal, merasa kecolongan, semuanya campur aduk jadi satu. Karena dari awal aku yang menyusun jadwal urutan check up ke dokter-dokter itu. Karena aku yang meletakkan dokter bedah mulut dan gigi sebagai dokter terakhir yang Papa kunjungi. Karena aku pikir periksa gigi tidak akan serumit periksa syaraf atau paru-paru atau penyakit dalam.

Ketika semua hasil pemeriksaan menunjukkan Papa boleh melakukan operasi, ternyata ada satu masalah yang kelihatannya kecil yang ternyata bisa mengacaukan semuanya. Kenapa aku bilang masalah gigi adalah masalah yang kelihatannya kecil? Merujuk ucapan suster Yati yang mengatakan bahwa “pasien lain juga sering terkendala di gigi”, terlihat jelas bahwa kesehatan gigi adalah hal yang sering kita anggap sepele. Berapa banyak sih orang yang kalau sakit gigi langsung ke dokter? Gak banyak. Kita hanya akan membeli obat warung untuk meredakan nyeri, dan setelah nyerinya hilang, kita akan menganggap kalau sakitnya sudah sembuh, padahal belum.

Jadi, dari masalah gigi ini, aku seperti diingatkan untuk jangan pernah meremehkan hal sekecil apapun, karena bisa jadi hal yang kita anggap kecil itu punya dampak yang besar.
Lalu, bagaimana reaksi Papa setelah tau operasinya ditunda?

Papa juga lumayan kaget dan menyesal kenapa gulanya tinggi waktu mau cabut gigi. Walaupun di sisi lain sepertinya Papa sedikit lega karena mendapat tambahan waktu untuk menyiapkan mental. Kenapa aku bisa menyimpulkan seperti itu? Aku bisa membacanya dari raut wajah Papa.

Di depan pintu rumah sakit, setelah melewati hari yang panjang dan melelahkan melakukan pemeriksaan ini dan itu, aku bilang pada Mama, “Ma, sekuat apapun kita berusaha, kalau Allah belum kasih ijin, ada aja ya masalahnya. Aku pikir nanti kita pulangnya bawa Papa yang udah sehat, ternyata belum…”

To be continued..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D