4 Desember 2015
Aku hanya tidur 2 jam. Aku tertidur jam 12 dan bangun jam 2
dini hari dan tidak bisa tidur lagi sampai subuh. Dengan penampakan seperti
zombie karena kebanyakan nangis dan kurang tidur, jam setengah 5 pagi aku sudah
berada di rumah sakit.
Saat aku masuk kamar, ternyata Papa sedang mandi. Setelah
Papa berganti pakaian dan sholat subuh, seorang dokter masuk ke kamar Papa.
Beliau adalah dokter anastesi jantung, dokter yang akan membius Papa ketika
operasi nanti. Namanya Dr. Muslim.
Dr. Muslim sedikit memberi gambaran kepada Papa tentang apa
yang akan dilakukannya sebagai dokter bius. Tubuh Papa nanti akan dipasang
banyak sekali selang. Selang dari mulut ke paru-paru untuk pernapasan, selang
ke dalam perut untuk membuang sisa darah pasca operasi, selang yang bisa
mengukur tekanan darah, kadar gula, detak jantung, dan masih banyak lagi.
“Jadi, nanti kalau Bapak sadar, satu hal yang harus Bapak
lakukan adalah bernapas. Itu satu-satunya tugas Bapak. Kalau Bapak melihat dan
merasa banyak selang di leher, tangan, perut, jangan hiraukan itu semua. Ibaratnya
kalau Bapak lagi tidur terus ada anak kecil yang gangguin Bapak, jangan
dipedulikan. Nanti alat-alat itu akan satu-persatu kita cabut kalau keadaan
Bapak berangsur membaik,” kata Dr. Muslim.
Dr. Muslim memberi penjelasan itu untuk mengantisipasi agar
Papa (dan keluarga) tidak kaget (dan juga tidak cemas) melihat banyaknya selang yang
dipasang di tubuh Papa. Sebab katanya, ada pasien yang setelah sadar malah
berusaha mencabut semua alat yang terpasang ditubuhnya.
Dr. Muslim kemudian menutup briefing subuh itu dengan kalimat.
“Operasi ini tujuannya untuk memperbaiki kualitas hidup
Bapak ya. Bukan untuk memperpanjang umur, karena umur kita sudah ditentukan
oleh Yang Di Atas. Toh, kita semua nanti akan kembali padaNya.”
Sekitar jam 6, semua saudara Papa sudah berkumpul di rumah
sakit. Beberapa Paman berulang kali mengingatkanku untuk tidak menangis saat
mengantar Papa nanti. Pamanku bilang kalau Papa adalah pribadi yang kuat. Papa
sudah mengecap asam garam kehidupan sejak muda, jadi kali ini Papa pasti
berhasil melewati ujiannya lagi.
Tepat pukul setengah 7, seorang perawat berbaju hijau datang
membawa kursi roda. Perawat itulah yang akan mengantar Papa ke ruang operasi.
Satu-persatu dari kami mulai menyalami dan menciumi Papa. Mulai dari Mama, Abang, aku,
dan saudara-saudara Papa. Aku sendiri mencium tangan Papa dan kedua pipinya.
Tidak, saat itu aku berhasil untuk tidak menangis. Papa pun begitu. Papa sama
sekali tidak menangis. Hanya sesekali aku melihat bibir Papa komat-kamit
membaca bacaan tasbih.
Sesampainya di depan ruang operasi, Papa dibantu oleh Mama
dan perawat untuk mengganti baju dengan baju operasi berwarna hijau. Kemudian
kepala Papa juga dipakaikan tutup kepala plastik dengan warna yang senada.
Aku tidak pernah mengira bahwa pemandangan yang biasanya
hanya kutemukan di serial televisi ternyata kutemukan juga di kehidupanku
sendiri. Terkadang hidup memang selucu itu. Aku pun teringat pada apa yang
pernah dikatakan guruku, bahwa seringnya apa yang kamu lihat, akan kamu
rasakan.
Aku berdiri di dekat pintu, hanya melihat dari jauh. Aku
tidak berani mendekat pada Papa yang sudah tidur di atas sebuah kasur dorong
yang akan mengantar Papa ke dalam ruang operasi. Ketika itu aku sudah tidak
bisa lagi membendung tangisku.
Papa didorong masuk oleh perawat ke dalam ruangan operasi
tepat pukul 7. Sedangkan kami dan keluarga besar diminta untuk menunggu di
ruang tunggu yang telah disediakan.
Aku duduk di kursi ruang tunggu di sebelah Mama. Mama
terlihat tengah mengelap air matanya menggunakan tisu. Wajahnya sembab dengan
hidung kemerahan. Mama memang sudah sering menangis sejak Papa masuk rumah
sakit.
Sekitar pukul 08.15, Dr. Tarmizi keluar dari lift
sambil menjinjing tas kerjanya. Itu berarti operasinya belum dimulai. Sebelum
itu, Dr. Agustian juga sudah menjelaskan bahwa operasinya sendiri sebenarnya
hanya membutuhkan waktu 3-4 jam. Namun untuk keluarga yang menunggu akan terasa lebih lama,
sekitar 8-10 jam, karena masih banyak yang harus dilakukan kepada pasien
sebelum dan sesudah operasi.
Pasien memang masuk ruang operasi jam 7, namun operasinya
sendiri baru akan dimulai pukul sekitar setengah 9. Setelah selesai operasi pun
pasien masih dibersihkan, digantikan baju, dan masih banyak lagi.
Ketika melewati kami di ruang tunggu, Dr. Tarmizi menyapa.
“Keluarganya Pak Hermon ya?”
“Iya Dok,” sahutku.
“Nanti setelah operasi kita ngobrol ya.”
“Selesainya kira-kira jam berapa Dok?” aku bertanya lagi.
“Jam 12-an lah,” ujar Dr. Tarmizi tersenyum. Ia kemudian
bergegas masuk ke dalam ruang operasi.
***
Pada pukul 12.15, Dr. Tarmizi keluar dari ruang operasi.
Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya ketika dokter yang masih berbaju
hijau itu menyuruh aku dan Mama masuk ke dalam ruangan. Saat itu, di ruang
tunggu memang hanya tinggal aku dan Mama. Sedangkan Abang dan saudara-saudara Papa
yang lain sedang jumatan dan sebagiannya lagi sedang membeli makan siang.
Aku dan Mama masuk ke sebuah ruang periksa dokter, kemudian
Dr. Tamizi mempersilahkan kami berdua duduk.
“Operasinya udah selesai ya Bu. Alhamdulillah. Saya memasang
4 by pass. Secara keseluruhan operasinya berjalan lancar, seperti yang kita
harapkan. Hanya saja tekanan darah Bapak naik turun, tapi saya kira itu tidak
masalah. Tapi tentu saja kita tetap memantau keadaan Bapak selama di ICU.”
“Alhamdulillah. Trus suami saya apa sudah dipindah ke ruang ICU?” tanya Mama.
“Sekarang masih belum. Masih disiapkan. Kira-kira satu jam
lagi sudah ada di ICU,” jawab Dr. Tarmizi.
Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada dokter,
aku dan Mama keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Seolah ada beban ratusan
kilo yang diangkat dari pundak. Walaupun sebenarnya masih ada perasaan yang
mengganjal, karena aku belum melihat Papa secara langsung.
Jarum jam sudah berada di angka 3, tapi belum ada
tanda-tanda perawat yang datang menghampiri kami untuk mengabarkan keadaan Papa.
Akhirnya, karena sudah tidak sabar, aku menanyakan keadaan Papa pada perawat
yang duduk di meja depan ruang ICU.
“Suster, saya mau nanya. Pasien atas nama Pak Hermon apa
sudah di ruang ICU? Apa sudah boleh dilihat?
“Hmm.. Pak Hermon ya. Sebentar ya mbak, saya cek,” jawab
perawat itu sambil mengutak-atik komputer di hadapannya.
“Belum ada tuh mbak, belum ada pasien atas nama Pak Hermon.”
“Loh, tadi katanya udah di ICU. Tadi udah selesai
operasi dari jam 12,” kataku lagi.
“Iya, tapi belum ada perubahan status di sini. Keluarganya
menunggu di mana? Di depan sini kan? Nanti saya panggil ya mbak kalau udah siap,”
ujar perawat tersebut.
Aku hanya mengangguk-angguk dan kembali menunggu di lorong
kecil di samping ruang ICU.
Lorong tersebut lebarnya tidak lebih dari 2 meter.
Di sepanjang lorong itu ada jendela-jendela kaca yang bisa digunakan keluarga
untuk melihat pasien yang ada di dalam ruang ICU. Yap, karena memang tidak semua
orang boleh masuk ke ICU, jadi keluarga, kerabat, atau teman yang datang menjenguk hanya bisa melihat pasien dari
jendela-jendela yang tirainya akan dibuka pada saat jam besuk. Di lorong
tersebut keluarga yang menunggu pasien (maksimal 2 orang) diijinkan untuk tidur
bermalam. Lorong itulah yang menjadi tempat tidurku dan Mama selama Papa berada
di ruang ICU.
Kemudian, salah seorang kerabat Papa sempat mengingatkanku agar tidak
mengijinkan orang-orang yang (memaksa) ingin masuk ke ruang ICU untuk melihat Papa.
“Nanti jangan adek biarin banyak orang masuk ya, apalagi
kalau sampai rame-rame. Papa itu sekarang keadaannya masih sensitif sekali,
rentan infeksi. Nanti kalau rame-rame masuk ke sana, banyak juga kuman yang
masuk. Papa itu gak boleh kena kuman dan gak boleh batuk,” kata kerabat Papa
tersebut panjang lebar. Beliau memang sudah berpengalaman, sebab suaminya dulu
juga pernah operasi jantung.
“Trus, nanti kalau sudah boleh masuk, adek sama Mama aja lah
yang masuk. Abang jangan boleh masuk, soalnya Abang merokok. Tapi Mama atau
adek kalau misalnya lagi flu, juga jangan masuk dulu,” ujar Ibu itu menambahkan.
Jam 4 sore, karena belum ada panggilan apa-apa, aku kembali
menemui perawat di meja depan ruang ICU. Tapi ternyata di meja itu hanya ada
seorang security.
“Pak, permisi, saya mau nanya, pasien atas nama Pak Hermon
sudah boleh dijenguk apa belum?”
Security itu kemudian mendekatkan wajahnya padaku, berkata
sambil berbisik, “Mbak siapanya Pak Hermon ya?”
“Saya anaknya, Pak,” aku pun ikut berbisik.
“Ooh, udah boleh masuk Mbak. Tapi cuma 2 orang aja ya. Istri
sama anaknya aja.”
Aku pun setengah berlari menuju ke lorong ICU untuk
menjemput Mama. Mama yang sangat antusias juga ikut berlari, sampai lupa tidak
memakai sandalnya. Aku dan Mama kemudian berdiri di depan pintu ruang ICU dan
menekan bel berwarna biru yang ada di sudut pintu. Tidak beberapa lama, security
yang tadi bicara denganku membukakan pintu kaca tersebut dari dalam.
Dengan kaki sedikit gemetar, aku berjalan ke sebuah pintu
kaca yang ditunjukkan oleh security. Sementara itu Mama mengikutiku dari
belakang. Beberapa langkah sebelum aku benar-benar tiba di pintu tersebut,
seorang dokter berbaju hijau menghadang langkahku.
“Mau ketemu siapa ya?” tanyanya galak.
“Pak Hermon, Pak,” jawabku.
“Siapanya Pak Hermon?” tanyanya lagi. Itu adalah pertugas
tergalak yang kutemui di RS. Mungkin karena dia menjaga di ICU ya. Jadi harus
sedikit galak untuk menghadapi keluarga yang ngeyel ingin bertemu pasien pasca
operasi.
“Anak dan istrinya, Pak.”
“Oh. Silahkan masuk, tapi cuci tangan dulu,” ia menunjuk
pada sebuah botol berisi hand sanitizer yang menempel di dinding.
Setelah aku dan Mama mencuci tangan, dokter itu membukakan
pintu kaca di hadapan kami. Baru saja aku maju satu langkah dari pintu
tersebut, dokter itu kembali memberi instruksi, “Stop. Berdiri di sini saja.”
Walaupun aku dan Mama tidak boleh mendekat ke tempat tidur
Papa, tapi dari tempatku berdiri, aku sudah bisa melihat Papa dengan jelas.
Matanya terpejam dan mulutnya terbuka karena ada sebuah selang besar yang masuk
ke dalamnya. Belum lagi selang yang menancap di kiri dan kanan leher Papa.
Pemandangan yang membuat aku dan Mama tercengang untuk beberapa saat. Di kedua
sisi tempat tidur Papa, ada banyak monitor yang hidup untuk memantau keadaan
organ tubuh Papa.
“Pak Hermon, ini ada anak dan istrinya datang,” tiba-tiba
dokter tadi membangunkan Papa.
Papa pun membuka mata, menoleh ke arahku dan Mama.
“Coba Pak lambaikan tangannya,” kata dokter itu lagi.
Kemudian Papa mengangkat tangan kanannya dengan pelan ke
arah kami. Aku dan Mama spontan membalas lambaian tangan itu. Ada haru dan keajaiban
yang kurasakan saat itu. 4 jam pasca operasi Papa sudah sadar dan sudah bisa
melambaikan tangan.
“Gimana keadaan Papa, Dok? Stabil?” aku bertanya pada dokter
yang sudah tidak lagi galak seperti ketika aku mau masuk tadi.
“Stabil kok. Semuanya bagus. Cuma gulanya aja nih yang agak
bandel, sampai 300. Tapi nanti kita turunkan pelan-pelan,” dokter tersebut
menjelaskan.
“Udah sadar dari jam berapa, Dok?”
“Udah daritadi, sekitar jam setengah 3.”
Penjelasan dari dokter tersebut cukup membuat aku dan Mama
lega mendengarnya. Setelah berbincang-bincang dengan dokter beberapa saat, kami
pun berpamitan untuk keluar dari ruang ICU.
“Pak, istri dan anaknya keluar ya, menunggu di luar,” ujar
dokter kepada Papa. Papa pun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dengan
keadaan tangan masih terangkat.
Mama yang melihat Papa seperti itu akhirnya menangis (lagi).
Setelah berpamitan
dengan dokter, aku menuntun Mama keluar dari ruangan Papa.
“Yahh.. udah Ma jangan nangis lagi. Papa kan udah sadar,
“ aku berusaha menenangkan.
Sejujurnya, setelah melihat Papa, perasaanku saat itu pun campur aduk tidak karuan. Di satu sisi, aku senang dan lega karena operasi Papa sudah selesai dan lancar. Aku senang karena Papa sudah sadar dan aku bisa melihatnya. Namun di sisi lain, aku
tetap tidak tega melihat Papa terbaring tak berdaya di ruang ICU seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D