25 Des 2015

The Day of CABG

4 Desember 2015

Aku hanya tidur 2 jam. Aku tertidur jam 12 dan bangun jam 2 dini hari dan tidak bisa tidur lagi sampai subuh. Dengan penampakan seperti zombie karena kebanyakan nangis dan kurang tidur, jam setengah 5 pagi aku sudah berada di rumah sakit.

Saat aku masuk kamar, ternyata Papa sedang mandi. Setelah Papa berganti pakaian dan sholat subuh, seorang dokter masuk ke kamar Papa. Beliau adalah dokter anastesi jantung, dokter yang akan membius Papa ketika operasi nanti. Namanya Dr. Muslim.

Dr. Muslim sedikit memberi gambaran kepada Papa tentang apa yang akan dilakukannya sebagai dokter bius. Tubuh Papa nanti akan dipasang banyak sekali selang. Selang dari mulut ke paru-paru untuk pernapasan, selang ke dalam perut untuk membuang sisa darah pasca operasi, selang yang bisa mengukur tekanan darah, kadar gula, detak jantung, dan masih banyak lagi.

“Jadi, nanti kalau Bapak sadar, satu hal yang harus Bapak lakukan adalah bernapas. Itu satu-satunya tugas Bapak. Kalau Bapak melihat dan merasa banyak selang di leher, tangan, perut, jangan hiraukan itu semua. Ibaratnya kalau Bapak lagi tidur terus ada anak kecil yang gangguin Bapak, jangan dipedulikan. Nanti alat-alat itu akan satu-persatu kita cabut kalau keadaan Bapak berangsur membaik,” kata Dr. Muslim.

Dr. Muslim memberi penjelasan itu untuk mengantisipasi agar Papa (dan keluarga) tidak kaget (dan juga tidak cemas) melihat banyaknya selang yang dipasang di tubuh Papa. Sebab katanya, ada pasien yang setelah sadar malah berusaha mencabut semua alat yang terpasang ditubuhnya.

Dr. Muslim kemudian menutup briefing subuh itu dengan kalimat.

“Operasi ini tujuannya untuk memperbaiki kualitas hidup Bapak ya. Bukan untuk memperpanjang umur, karena umur kita sudah ditentukan oleh Yang Di Atas. Toh, kita semua nanti akan kembali padaNya.”

Sekitar jam 6, semua saudara Papa sudah berkumpul di rumah sakit. Beberapa Paman berulang kali mengingatkanku untuk tidak menangis saat mengantar Papa nanti. Pamanku bilang kalau Papa adalah pribadi yang kuat. Papa sudah mengecap asam garam kehidupan sejak muda, jadi kali ini Papa pasti berhasil melewati ujiannya lagi.

Tepat pukul setengah 7, seorang perawat berbaju hijau datang membawa kursi roda. Perawat itulah yang akan mengantar Papa ke ruang operasi. Satu-persatu dari kami mulai menyalami dan menciumi Papa. Mulai dari Mama, Abang, aku, dan saudara-saudara Papa. Aku sendiri mencium tangan Papa dan kedua pipinya. Tidak, saat itu aku berhasil untuk tidak menangis. Papa pun begitu. Papa sama sekali tidak menangis. Hanya sesekali aku melihat bibir Papa komat-kamit membaca bacaan tasbih.

Sesampainya di depan ruang operasi, Papa dibantu oleh Mama dan perawat untuk mengganti baju dengan baju operasi berwarna hijau. Kemudian kepala Papa juga dipakaikan tutup kepala plastik dengan warna yang senada.

Aku tidak pernah mengira bahwa pemandangan yang biasanya hanya kutemukan di serial televisi ternyata kutemukan juga di kehidupanku sendiri. Terkadang hidup memang selucu itu. Aku pun teringat pada apa yang pernah dikatakan guruku, bahwa seringnya apa yang kamu lihat, akan kamu rasakan.

Aku berdiri di dekat pintu, hanya melihat dari jauh. Aku tidak berani mendekat pada Papa yang sudah tidur di atas sebuah kasur dorong yang akan mengantar Papa ke dalam ruang operasi. Ketika itu aku sudah tidak bisa lagi membendung tangisku.

Papa didorong masuk oleh perawat ke dalam ruangan operasi tepat pukul 7. Sedangkan kami dan keluarga besar diminta untuk menunggu di ruang tunggu yang telah disediakan.

Aku duduk di kursi ruang tunggu di sebelah Mama. Mama terlihat tengah mengelap air matanya menggunakan tisu. Wajahnya sembab dengan hidung kemerahan. Mama memang sudah sering menangis sejak Papa masuk rumah sakit.

Sekitar pukul 08.15, Dr. Tarmizi keluar dari lift sambil menjinjing tas kerjanya. Itu berarti operasinya belum dimulai. Sebelum itu, Dr. Agustian juga sudah menjelaskan bahwa operasinya sendiri sebenarnya hanya membutuhkan waktu 3-4 jam. Namun untuk keluarga yang menunggu akan terasa lebih lama, sekitar 8-10 jam, karena masih banyak yang harus dilakukan kepada pasien sebelum dan sesudah operasi.

Pasien memang masuk ruang operasi jam 7, namun operasinya sendiri baru akan dimulai pukul sekitar setengah 9. Setelah selesai operasi pun pasien masih dibersihkan, digantikan baju, dan masih banyak lagi.

Ketika melewati kami di ruang tunggu, Dr. Tarmizi menyapa.

“Keluarganya Pak Hermon ya?”

“Iya Dok,” sahutku.

“Nanti setelah operasi kita ngobrol ya.”

“Selesainya kira-kira jam berapa Dok?” aku bertanya lagi.

“Jam 12-an lah,” ujar Dr. Tarmizi tersenyum. Ia kemudian bergegas masuk ke dalam ruang operasi.

***
Pada pukul 12.15, Dr. Tarmizi keluar dari ruang operasi. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya ketika dokter yang masih berbaju hijau itu menyuruh aku dan Mama masuk ke dalam ruangan. Saat itu, di ruang tunggu memang hanya tinggal aku dan Mama. Sedangkan Abang dan saudara-saudara Papa yang lain sedang jumatan dan sebagiannya lagi sedang membeli makan siang.

Aku dan Mama masuk ke sebuah ruang periksa dokter, kemudian Dr. Tamizi mempersilahkan kami berdua duduk.

“Operasinya udah selesai ya Bu. Alhamdulillah. Saya memasang 4 by pass. Secara keseluruhan operasinya berjalan lancar, seperti yang kita harapkan. Hanya saja tekanan darah Bapak naik turun, tapi saya kira itu tidak masalah. Tapi tentu saja kita tetap memantau keadaan Bapak selama di ICU.”

“Alhamdulillah. Trus suami saya apa sudah dipindah ke ruang ICU?” tanya Mama.

“Sekarang masih belum. Masih disiapkan. Kira-kira satu jam lagi sudah ada di ICU,” jawab Dr. Tarmizi.

Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada dokter, aku dan Mama keluar dari ruangan dengan perasaan lega. Seolah ada beban ratusan kilo yang diangkat dari pundak. Walaupun sebenarnya masih ada perasaan yang mengganjal, karena aku belum melihat Papa secara langsung.

Jarum jam sudah berada di angka 3, tapi belum ada tanda-tanda perawat yang datang menghampiri kami untuk mengabarkan keadaan Papa. Akhirnya, karena sudah tidak sabar, aku menanyakan keadaan Papa pada perawat yang duduk di meja depan ruang ICU.

“Suster, saya mau nanya. Pasien atas nama Pak Hermon apa sudah di ruang ICU? Apa sudah boleh dilihat?

“Hmm.. Pak Hermon ya. Sebentar ya mbak, saya cek,” jawab perawat itu sambil mengutak-atik komputer di hadapannya.

“Belum ada tuh mbak, belum ada pasien atas nama Pak Hermon.”

“Loh, tadi katanya udah di ICU. Tadi udah selesai operasi dari jam 12,” kataku lagi.

“Iya, tapi belum ada perubahan status di sini. Keluarganya menunggu di mana? Di depan sini kan? Nanti saya panggil ya mbak kalau udah siap,” ujar perawat tersebut.

Aku hanya mengangguk-angguk dan kembali menunggu di lorong kecil di samping ruang ICU.

Lorong tersebut lebarnya tidak lebih dari 2 meter. Di sepanjang lorong itu ada jendela-jendela kaca yang bisa digunakan keluarga untuk melihat pasien yang ada di dalam ruang ICU. Yap, karena memang tidak semua orang boleh masuk ke ICU, jadi keluarga, kerabat, atau teman yang datang menjenguk hanya bisa melihat pasien dari jendela-jendela yang tirainya akan dibuka pada saat jam besuk. Di lorong tersebut keluarga yang menunggu pasien (maksimal 2 orang) diijinkan untuk tidur bermalam. Lorong itulah yang menjadi tempat tidurku dan Mama selama Papa berada di ruang ICU.

Kemudian, salah seorang kerabat Papa sempat mengingatkanku agar tidak mengijinkan orang-orang yang (memaksa) ingin masuk ke ruang ICU untuk melihat Papa.

“Nanti jangan adek biarin banyak orang masuk ya, apalagi kalau sampai rame-rame. Papa itu sekarang keadaannya masih sensitif sekali, rentan infeksi. Nanti kalau rame-rame masuk ke sana, banyak juga kuman yang masuk. Papa itu gak boleh kena kuman dan gak boleh batuk,” kata kerabat Papa tersebut panjang lebar. Beliau memang sudah berpengalaman, sebab suaminya dulu juga pernah operasi jantung.

“Trus, nanti kalau sudah boleh masuk, adek sama Mama aja lah yang masuk. Abang jangan boleh masuk, soalnya Abang merokok. Tapi Mama atau adek kalau misalnya lagi flu, juga jangan masuk dulu,” ujar Ibu itu menambahkan.

Jam 4 sore, karena belum ada panggilan apa-apa, aku kembali menemui perawat di meja depan ruang ICU. Tapi ternyata di meja itu hanya ada seorang security.

“Pak, permisi, saya mau nanya, pasien atas nama Pak Hermon sudah boleh dijenguk apa belum?”

Security itu kemudian mendekatkan wajahnya padaku, berkata sambil berbisik, “Mbak siapanya Pak Hermon ya?”

“Saya anaknya, Pak,” aku pun ikut berbisik.

“Ooh, udah boleh masuk Mbak. Tapi cuma 2 orang aja ya. Istri sama anaknya aja.”

Aku pun setengah berlari menuju ke lorong ICU untuk menjemput Mama. Mama yang sangat antusias juga ikut berlari, sampai lupa tidak memakai sandalnya. Aku dan Mama kemudian berdiri di depan pintu ruang ICU dan menekan bel berwarna biru yang ada di sudut pintu. Tidak beberapa lama, security yang tadi bicara denganku membukakan pintu kaca tersebut dari dalam.

Dengan kaki sedikit gemetar, aku berjalan ke sebuah pintu kaca yang ditunjukkan oleh security. Sementara itu Mama mengikutiku dari belakang. Beberapa langkah sebelum aku benar-benar tiba di pintu tersebut, seorang dokter berbaju hijau menghadang langkahku.

“Mau ketemu siapa ya?” tanyanya galak.

“Pak Hermon, Pak,” jawabku.

“Siapanya Pak Hermon?” tanyanya lagi. Itu adalah pertugas tergalak yang kutemui di RS. Mungkin karena dia menjaga di ICU ya. Jadi harus sedikit galak untuk menghadapi keluarga yang ngeyel ingin bertemu pasien pasca operasi.

“Anak dan istrinya, Pak.”

“Oh. Silahkan masuk, tapi cuci tangan dulu,” ia menunjuk pada sebuah botol berisi hand sanitizer yang menempel di dinding.

Setelah aku dan Mama mencuci tangan, dokter itu membukakan pintu kaca di hadapan kami. Baru saja aku maju satu langkah dari pintu tersebut, dokter itu kembali memberi instruksi, “Stop. Berdiri di sini saja.”

Walaupun aku dan Mama tidak boleh mendekat ke tempat tidur Papa, tapi dari tempatku berdiri, aku sudah bisa melihat Papa dengan jelas. Matanya terpejam dan mulutnya terbuka karena ada sebuah selang besar yang masuk ke dalamnya. Belum lagi selang yang menancap di kiri dan kanan leher Papa. Pemandangan yang membuat aku dan Mama tercengang untuk beberapa saat. Di kedua sisi tempat tidur Papa, ada banyak monitor yang hidup untuk memantau keadaan organ tubuh Papa.

“Pak Hermon, ini ada anak dan istrinya datang,” tiba-tiba dokter tadi membangunkan Papa.

Papa pun membuka mata, menoleh ke arahku dan Mama.

“Coba Pak lambaikan tangannya,” kata dokter itu lagi.

Kemudian Papa mengangkat tangan kanannya dengan pelan ke arah kami. Aku dan Mama spontan membalas lambaian tangan itu. Ada haru dan keajaiban yang kurasakan saat itu. 4 jam pasca operasi Papa sudah sadar dan sudah bisa melambaikan tangan.

“Gimana keadaan Papa, Dok? Stabil?” aku bertanya pada dokter yang sudah tidak lagi galak seperti ketika aku mau masuk tadi.

“Stabil kok. Semuanya bagus. Cuma gulanya aja nih yang agak bandel, sampai 300. Tapi nanti kita turunkan pelan-pelan,” dokter tersebut menjelaskan.

“Udah sadar dari jam berapa, Dok?”

“Udah daritadi, sekitar jam setengah 3.”

Penjelasan dari dokter tersebut cukup membuat aku dan Mama lega mendengarnya. Setelah berbincang-bincang dengan dokter beberapa saat, kami pun berpamitan untuk keluar dari ruang ICU.

“Pak, istri dan anaknya keluar ya, menunggu di luar,” ujar dokter kepada Papa. Papa pun mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dengan keadaan tangan masih terangkat.

Mama yang melihat Papa seperti itu akhirnya menangis (lagi).

Setelah berpamitan dengan dokter, aku menuntun Mama keluar dari ruangan Papa.

“Yahh.. udah Ma jangan nangis lagi. Papa kan udah sadar, “ aku berusaha menenangkan.

Sejujurnya, setelah melihat Papa, perasaanku saat itu pun campur aduk tidak karuan. Di satu sisi, aku senang dan lega karena operasi Papa sudah selesai dan lancar. Aku senang karena Papa sudah sadar dan aku bisa melihatnya. Namun di sisi lain, aku tetap tidak tega melihat Papa terbaring tak berdaya di ruang ICU seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D