24 Des 2015

H-2 Operasi CABG

2 Desember 2015

Kami ke RS pada pukul 9 pagi. Setelah selesai mengurus administrasi, Papa diantar ke kamar perawatan. FYI, Papa masuk kamar rawat dalam keadaan (seperti orang) sehat. Papa berjalan seperti biasa, tidak duduk di kursi roda. Lalu sesampainya di kamar, Papa diminta untuk ganti baju dengan seragam pasien. Gelang pasien juga sudah melingkar dipergelangan tangannya.

Melihat semua pemandangan itu lagi-lagi perasaan gentar muncul. Sebab sebelumnya Papa tidak pernah dirawat di RS dan aku tidak pernah melihat Papa memakai baju pasien.

Hari pertama dirawat di RS, Papa melakukan serangkaian medical check up. Beberapa kali perawat datang untuk mengambil sample darah Papa, melakukan rontgen dada, rekam jantung, mengukur tensi, dan fisioterapi. Malam itu hanya Mama yang menemani Papa di RS, sedangkan aku pulang kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang dan memindahkannya ke kos-kosan di belakang RS yang sudah aku sewa  untuk seminggu.

3 Desember 2015

Aku sudah di RS sejak jam 9 pagi dan sudah selesai memindahkan barang-barang. Setibanya di kamar, Mama bercerita kalau semalam Papa mendapat transfusi darah satu kantong, karena HB darah Papa rendah, tidak memenuhi syarat operasi.

Kemudian aku duduk di samping tempat tidur Papa, berbicara banyak hal tentang transfusi darah. Saat itu Papa menasihatiku agar suatu hari mau melakukan donor. Aku memang tidak pernah donor darah karena takut jarum suntik. Alasan klasik.

“Karena sebenarnya waktu kita transfusi, kita pikir kita ngasih darah kita, padahal sebenarnya darah itu nanti akan balik ke kita lagi. Siapa yang tau, mungkin nanti adek butuh transfusi darah juga, kayak Papa sekarang. Jadi, apapun yang kita kasih itu semuanya nanti akan kembali ke kita lagi,” begitu kata Papa.

Hari kedua di RS, Papa masih melakukan pemeriksaan seperti hari pertama. Diambil sample darahnya, rekam jantung, dan tensi. Selain itu, di hari kedua juga ada jadwal orientasi ruang operasi dan ruang ICU.

Pada saat orientasi ruang, aku ikut menemani Papa. Orientasi ini bertujuan untuk memberitahu pasien bagaimana bentuk ruang operasi dan ruang ICU agar pasien tidak kaget dan tidak takut nantinya.

Sekitar pukul 4 sore, Papa diantar perawat untuk orientasi ruang. Kali ini Papa duduk di kursi roda. Aku mengikuti perawat yang mendorong kursi roda Papa dari belakang. Sesampainya di depan ruang operasi, ternyata aku tidak boleh ikut masuk. Hanya Papa dan perawat yang masuk, sedangkan aku menunggu di luar. Setelah Papa keluar dari ruang operasi, Papa hanya menggambarkan bentuk ruang operasi kepadaku dengan dua kata, "ruangannya besar".

Setelah dari ruang operasi, kami menuju ke ruang ICU yang berada di sebelahnya. Untuk ruang ICU, aku diijinkan masuk. Udara dingin langsung menerpa kulitku sesaat aku memasuki ruangan tersebut. Dari jendela-jendela kaca, aku bisa melihat beberapa pasien sedang terbaring dengan selang di mana-mana. Pemandangan yang membuatku terenyuh. Dan besok aku akan melihat Papa seperti itu juga.

Kemudian, pada hari itu dokter spesialis jantung bernama Dr. Hengkie, sempat visit ke kamar Papa. Setelah memeriksa Papa, Dr. Hengkie menepuk-nepuk pundak Papa pelan dan berkata, “Gimana Pak? Udah siap ya buat operasi besok?”

“Siap dok,” jawab Papa.

“Besok itu penyumbatan yang dibetulkan ada berapa dok? 3 atau 4?” tiba-tiba Papa bertanya.

“Udaah…Itu nanti urusannya Dr. Tarmizi. Bapak gak usah ikut mikirin,” jawaban Dr. Hengkie membuat Papa dan aku tertawa.

Di hari kedua ini, aku melihat wajah Papa pucat. Tidak seperti hari pertama, di mana aku masih melihat Papa segar dan sehat, di hari kedua Papa benar-benar seperti orang sakit. Aku bertanya-tanya, apa jangan-jangan istilah ‘rumah sakit’ bisa mempengaruhi psikologis pasien sehingga pasien yang awalnya segar akan benar-benar seperti ‘orang sakit’ setelah masuk rumah sakit.

Hari semakin malam dan saudara Papa semakin banyak yang datang. Papa adalah anak ketiga dari 7 bersaudara, dan semua saudaranya datang malam itu juga. Ada yang dari Bandung, Jawa Tengah, dan Pekanbaru. Ini membuat keadaan semakin mellow. Karena Papa dan saudara-saudaranya jarang sekali bisa berkumpul semua seperti itu. Apalagi ketika kakak Papa yang perempuan datang dari Pekanbaru, ketika mereka berdua berpelukan, rasanya tidak ada seorang pun di ruang itu yang tidak meneteskan air mata karena terharu. Papa dan kakak perempuannya memang sangat dekat.

Tidak hanya saudara-saudara, beberapa teman dan kenalan Papa yang tinggal di Jakarta juga datang menjenguk. Malam itu kamar Papa ramai sekali. Semuanya memberi Papa semangat, meminimalisir kekhawatiran Papa, dan meyakinkan Papa kalau semuanya akan berjalan lancar.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Papa masih dikelilingi saudara-saudranya. Aku tidak ingat betul apa yang mereka bicarakan waktu itu, hanya saja aku mendengar Papa menangis. Aku yang berdiri di pintu kamar bisa mendengar isakan Papa. Papa kemudian berpesan  pada saudaran-saudranya, seandainya besok pagi mereka tidak bisa datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit (karena jam setengah 7 pagi Papa sudah masuk ruang operasi), tidak apa-apa. Papa hanya minta didoakan dan diikhlaskan. Kalimat itu membuat air mataku mengalir.

Setelah saudara-saudara Papa kembali ke penginapan, aku  pun masuk ke kamar untuk berpamitan pada Papa. Malam itu aku akan pulang ke kosan dengan Abang. Sebelum masuk kamar, aku sempat mencuci muka dan memastikan kalau aku tidak terlihat seperti orang yang habis menangis. Aku menemui Papa dengan ekspresi sebiasa mungkin.

“Pa, adek pulang ya, “ ucapku santai.

“Pulanglah, “ jawab Papa.

Aku kemudian mencium tangannya dan berbalik berjalan menuju pintu.

“Besok kalau misal adek ketiduran, gak nutut ke rumah sakit pagi-pagi, gak apa-apa,” kata Papa lagi.

Nutut kok Pa. Gak bakal ketiduran,” jawabku singkat.

Papa kira aku bisa tidur malam ini? Lanjutku di dalam hati. Aku pun keluar dari kamar Papa tanpa menoleh lagi.

Aku bertekad untuk tidak akan meninggalkan kesan bahwa ini malam terakhirku melihat Papa. Tidak akan. Aku tetap bisa bertemu Papa besok, besoknya lagi, dan seterusnya.

Setibanya dii kosan ternyata air mataku tidak berhenti mengalir. Abang yang melihatku menangis semalaman hanya diam. Ia pun sepertinya sedang menahan kesedihannya sendiri.

Malam itu mungkin akan menjadi malam yang paling tidak kusukai seumur hidupku. Malam di mana detik yang berdetak seolah menjadi kesempatan terakhirku untuk memiliki seorang Ayah. Sebab bagaimana pun juga, mengantar orang yang kita sayangi ke dalam ruang operasi tidak ubah dengan mengantarnya pada kematian. Itulah resiko tertinggi yang harus dihadapi. Resiko yang kupilih, karena di sanalah peluang Papa untuk terbebas dari penyakit yang membelenggunya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D