2 Desember 2015
Kami ke RS pada pukul 9 pagi. Setelah selesai mengurus
administrasi, Papa diantar ke kamar perawatan. FYI, Papa masuk kamar rawat
dalam keadaan (seperti orang) sehat. Papa berjalan seperti biasa, tidak duduk
di kursi roda. Lalu sesampainya di kamar, Papa diminta untuk ganti baju dengan
seragam pasien. Gelang pasien juga sudah melingkar dipergelangan tangannya.
Melihat semua pemandangan itu lagi-lagi perasaan gentar muncul.
Sebab sebelumnya Papa tidak pernah dirawat di RS dan aku tidak pernah melihat Papa
memakai baju pasien.
Hari pertama dirawat di RS, Papa melakukan serangkaian
medical check up. Beberapa kali perawat datang untuk mengambil sample darah
Papa, melakukan rontgen dada, rekam jantung, mengukur tensi, dan fisioterapi. Malam
itu hanya Mama yang menemani Papa di RS, sedangkan aku pulang kembali ke
penginapan untuk mengambil barang-barang dan memindahkannya ke kos-kosan di
belakang RS yang sudah aku sewa untuk
seminggu.
3 Desember 2015
Aku sudah di RS sejak jam 9 pagi dan sudah selesai
memindahkan barang-barang. Setibanya di kamar, Mama bercerita kalau semalam
Papa mendapat transfusi darah satu kantong, karena HB darah Papa rendah, tidak
memenuhi syarat operasi.
Kemudian aku duduk di samping tempat tidur Papa, berbicara
banyak hal tentang transfusi darah. Saat itu Papa menasihatiku agar suatu hari
mau melakukan donor. Aku memang tidak pernah donor darah karena takut jarum
suntik. Alasan klasik.
“Karena sebenarnya waktu kita transfusi, kita pikir kita ngasih darah kita, padahal sebenarnya darah itu nanti akan balik ke kita lagi. Siapa yang tau, mungkin nanti adek butuh transfusi darah juga, kayak Papa sekarang. Jadi, apapun yang kita kasih itu semuanya nanti akan kembali ke kita lagi,” begitu kata Papa.
“Karena sebenarnya waktu kita transfusi, kita pikir kita ngasih darah kita, padahal sebenarnya darah itu nanti akan balik ke kita lagi. Siapa yang tau, mungkin nanti adek butuh transfusi darah juga, kayak Papa sekarang. Jadi, apapun yang kita kasih itu semuanya nanti akan kembali ke kita lagi,” begitu kata Papa.
Hari kedua di RS, Papa masih melakukan pemeriksaan seperti
hari pertama. Diambil sample darahnya, rekam jantung, dan tensi. Selain itu, di
hari kedua juga ada jadwal orientasi ruang operasi dan ruang ICU.
Pada saat orientasi ruang, aku ikut menemani Papa. Orientasi
ini bertujuan untuk memberitahu pasien bagaimana bentuk ruang operasi dan ruang
ICU agar pasien tidak kaget dan tidak takut nantinya.
Sekitar pukul 4 sore, Papa diantar perawat untuk orientasi ruang. Kali ini Papa duduk di kursi roda. Aku mengikuti perawat yang mendorong kursi roda Papa dari belakang. Sesampainya di depan ruang operasi, ternyata aku tidak boleh ikut masuk. Hanya Papa dan perawat yang masuk, sedangkan aku menunggu di luar. Setelah Papa keluar dari ruang operasi, Papa hanya menggambarkan bentuk ruang operasi kepadaku dengan dua kata, "ruangannya besar".
Sekitar pukul 4 sore, Papa diantar perawat untuk orientasi ruang. Kali ini Papa duduk di kursi roda. Aku mengikuti perawat yang mendorong kursi roda Papa dari belakang. Sesampainya di depan ruang operasi, ternyata aku tidak boleh ikut masuk. Hanya Papa dan perawat yang masuk, sedangkan aku menunggu di luar. Setelah Papa keluar dari ruang operasi, Papa hanya menggambarkan bentuk ruang operasi kepadaku dengan dua kata, "ruangannya besar".
Setelah dari ruang operasi, kami menuju ke ruang ICU yang
berada di sebelahnya. Untuk ruang ICU, aku diijinkan masuk. Udara dingin
langsung menerpa kulitku sesaat aku memasuki ruangan tersebut. Dari
jendela-jendela kaca, aku bisa melihat beberapa pasien sedang terbaring dengan selang
di mana-mana. Pemandangan yang membuatku terenyuh. Dan besok aku akan melihat
Papa seperti itu juga.
Kemudian, pada hari itu dokter spesialis jantung bernama Dr. Hengkie,
sempat visit ke kamar Papa. Setelah memeriksa Papa, Dr. Hengkie menepuk-nepuk
pundak Papa pelan dan berkata, “Gimana Pak? Udah siap ya buat operasi besok?”
“Siap dok,” jawab Papa.
“Besok itu penyumbatan yang dibetulkan ada berapa dok? 3
atau 4?” tiba-tiba Papa bertanya.
“Udaah…Itu nanti urusannya Dr. Tarmizi. Bapak gak usah ikut mikirin,”
jawaban Dr. Hengkie membuat Papa dan aku tertawa.
Di hari kedua ini, aku melihat wajah Papa pucat. Tidak
seperti hari pertama, di mana aku masih melihat Papa segar dan sehat, di hari
kedua Papa benar-benar seperti orang sakit. Aku bertanya-tanya, apa
jangan-jangan istilah ‘rumah sakit’ bisa mempengaruhi psikologis pasien
sehingga pasien yang awalnya segar akan benar-benar seperti ‘orang sakit’
setelah masuk rumah sakit.
Hari semakin malam dan saudara Papa semakin banyak yang
datang. Papa adalah anak ketiga dari 7 bersaudara, dan semua saudaranya datang malam itu juga.
Ada yang dari Bandung, Jawa Tengah, dan Pekanbaru. Ini membuat keadaan semakin mellow.
Karena Papa dan saudara-saudaranya jarang sekali bisa berkumpul semua seperti
itu. Apalagi ketika kakak Papa yang perempuan datang dari Pekanbaru, ketika
mereka berdua berpelukan, rasanya tidak ada seorang pun di ruang itu yang tidak
meneteskan air mata karena terharu. Papa dan kakak perempuannya memang sangat dekat.
Tidak hanya saudara-saudara, beberapa teman dan kenalan Papa
yang tinggal di Jakarta juga datang menjenguk. Malam itu kamar Papa ramai
sekali. Semuanya memberi Papa semangat, meminimalisir kekhawatiran Papa, dan
meyakinkan Papa kalau semuanya akan berjalan lancar.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Papa masih dikelilingi
saudara-saudranya. Aku tidak ingat betul apa yang mereka bicarakan waktu itu,
hanya saja aku mendengar Papa menangis. Aku yang berdiri di pintu kamar bisa
mendengar isakan Papa. Papa kemudian berpesan pada saudaran-saudranya, seandainya besok pagi
mereka tidak bisa datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit (karena jam setengah 7
pagi Papa sudah masuk ruang operasi), tidak apa-apa. Papa hanya minta didoakan
dan diikhlaskan. Kalimat itu membuat air mataku mengalir.
Setelah saudara-saudara Papa kembali ke penginapan, aku pun masuk ke kamar untuk berpamitan pada Papa.
Malam itu aku akan pulang ke kosan dengan Abang. Sebelum masuk kamar, aku
sempat mencuci muka dan memastikan kalau aku tidak terlihat seperti orang yang
habis menangis. Aku menemui Papa dengan ekspresi sebiasa mungkin.
“Pa, adek pulang ya, “ ucapku santai.
“Pulanglah, “ jawab Papa.
Aku kemudian mencium tangannya dan berbalik berjalan menuju
pintu.
“Besok kalau misal adek ketiduran, gak nutut ke rumah sakit pagi-pagi, gak apa-apa,” kata Papa lagi.
“Nutut kok Pa. Gak
bakal ketiduran,” jawabku singkat.
Papa kira aku bisa tidur malam ini? Lanjutku di dalam hati.
Aku pun keluar dari kamar Papa tanpa menoleh lagi.
Aku bertekad untuk tidak akan meninggalkan
kesan bahwa ini malam terakhirku melihat Papa. Tidak akan. Aku tetap bisa
bertemu Papa besok, besoknya lagi, dan seterusnya.
Setibanya dii kosan ternyata air mataku tidak berhenti mengalir. Abang yang
melihatku menangis semalaman hanya diam. Ia pun sepertinya sedang menahan
kesedihannya sendiri.
Malam itu mungkin akan menjadi malam yang paling tidak
kusukai seumur hidupku. Malam di mana detik yang berdetak seolah menjadi
kesempatan terakhirku untuk memiliki seorang Ayah. Sebab bagaimana pun juga,
mengantar orang yang kita sayangi ke dalam ruang operasi tidak ubah dengan
mengantarnya pada kematian. Itulah resiko tertinggi yang harus dihadapi. Resiko yang kupilih, karena di sanalah peluang Papa untuk terbebas dari penyakit yang membelenggunya selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D