Bapak ingat kapan pertama kali bertemu saya? Hampir setahun lalu, Pak. Lebih tepatnya akhir bulan maret tahun lalu. Waktu itu, berbekal nama dan sedikit rumor tentang Bapak, saya mencari Bapak di ruang dosen. Kata teman-teman, Bapak adalah dosen baru di jurusan kami yang baru saja menyeselesaikan pendidikan S3 di Australia. Saya masuk ke ruang dosen dan kemudian melihat Bapak sedang menghadap laptop.
Kemudian, setelah memperkenalkan diri bahwa saya adalah mahasiswi bimbingan skripsi Bapak yang baru, saya menyerahkan outline skripsi dan lembar persetujuan dosen pembimbing yang harus Bapak tanda tangan. Saya agak shock ketika Bapak membaca outline saya dengan seksama. Outline yang saya buat dengan asal-asalan lebih tepatnya.
Setelah beberapa lama, saya melihat Bapak mengernyitkan dahi ketika membaca apa yang saya tulis di kertas itu.
"Apa itu analisis wacana?", tiba-tiba Bapak menanyakan hal tersebut pada saya. Jawaban saya? Tentu saja saya terdiam. Secara, saya belum belajar sama sekali tentang analisis wacana.
"Kenapa anda menggunakan analisis wacana kritis?", Bapak menanyakan pertanyaan lainnya yang lebih mematikan. Saya berusaha menjawab sebisa saya. Gelagapan dan berantakan tentunya.
"Loh, kok gak bisa jawab? Saya gak mau tanda tangan kalau Anda gak bisa jawab. Anda pelajari dulu apa itu analisis wacana, baru saya mau tanda tangan," kata Bapak kemudian.
Saya keluar dari ruang dosen dengan keringat dingin. Bingung, takut, dan malu, semua campur aduk jadi satu. Setelah itu, saya belajar mati-matian tentang analisis wacana. Saya gak berani ketemu Bapak lagi, bahkan setelah sebulan dari pertemuan pertama kita itu. Pertemuan yang cukup membuat mental saya jatuh, karena saat itu saya menyadari bahwa dosen pembimbing saya bukan tipikal dosen yang suka tanda tangan asal-asalan.
Sejak hari itu, setiap kali akan bertemu Bapak, saya selalu keringat dingin, Pak. Bahkan hal tersebut masih terjadi sampai sekarang. Saya masih nervous dan takut tiap kali mau bimbingan skripsi dengan Bapak.
Ternyata, gak cuma saya yang takut sama Bapak. Teman-teman saya banyak yang takut sama Bapak juga lho. Lebih tepatnya lagi, teman-teman saya takut ujian sempro atau komprenya diuji Bapak. Di kalangan mahasiswa, Bapak dikenal sebagai penguji yang killer dengan pertanyaan-pertanyaan yang berpotensi membuat mahasiswa mati kutu di ruang sidang. Hehehe.
Tapi, Pak, saya sungguh bersyukur karena Bapak yang menjadi dosen pembimbing saya. Paling tidak, dibimbing Bapak itu jauh lebih baik daripada diuji Bapak. Lebih baik mendengar pertanyaan-pertanyaan Bapak yang mematikan itu di ruang konsul daripada di ruang sidang. Hehehe.
Hari ini, sekitar 11 bulan sejak pertemuan pertama kita, Bapak mengijinkan saya untuk mengikuti ujian skripsi.
"Gimana? Anda siap untuk maju ujian skripsi sekarang?", kata Bapak.
"Menurut Bapak bagaimana? Saya udah siap apa belum Pak kira-kira?" saya bertanya balik. Maaf Pak, saya tidak punya rasa percaya diri setinggi itu untuk menyatakan kalau saya sudah siap.
"Hmm, ya gak apa-apa kalau Anda mau maju sidang sekarang. Saya ijinkan," kata Bapak lagi.
"InsyaAllah saya siap, Pak,"
Bapak tau tidak bagaimana perasaan saya waktu Bapak mengatakan hal itu? Senang dan takut campur aduk jadi satu, Pak! Saya senang karena akhirnya ujian juga. Tapi saya juga takut karena merasa ini terlalu mendadak.
Aaaaaaaaaaaaaakk rasanya saya ingin teriak sambil nangis, Pak! Memikirkan bagaimana 3 hari ke depan saya akan berada dalam keadaan underpressure. Membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi di ruang ujian nanti. Pak, saya takut... :'(
Pak, wish me luck, ya. Semoga semua penjelasan Bapak waktu konsul dapat daya serap dengan baik, sehingga saya tidak melakukan kesalahan fatal di ruang sidang. Amin.
Anyway, terima kasih sudah menjadi dosen pembimbing saya ya, Pak :)
Salam,
Dari mahasiswimu yang deg-degan menjelang ujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D