6 Mar 2013

Short Story: Waktu yang Tepat

Morning, my sunshine. Masih seperti pagi kemarin. Aku duduk di hadapan Raka yang sedang menyantap soto tanpa kubis kesukaannya.

Berada di dekat Raka pagi ini paling tidak sedikit membantu memperbaiki moodku yang sudah kusut sejak semalam. Lebih tepatnya sejak si you-know-who yang tidak boleh disebut namanya itu mengirimkan sebuah message padaku melalui facebook.

Memang harusnya aku nge-block akun fbnya dari jaman baheula.

Apa isi message yang menyebabkan moodku kusut itu tidak akan ku ceritakan dalam episode ini karena hanya akan memperburuk suasana hati.

“Kok ngelamun?”, Raka memecah keheningan.

“Gak ngelamun kok, Ka”, aku membantah, tersenyum sekilas, kemudian menyeruput es tehku perlahan untuk menutupi kegugupan yang mulai merambat.

“Kamu masih gak mau nyari pacar?,”

“UHUK!”, kalimat Raka sukses membuatku keselek dan membuat tumpahan es teh dimana-mana. Untung saja gak muncrat ke muka Raka. Ergg..

“Pelan-pelan kalo minum.”, dengan polosnya Raka bilang ‘pelan-pelan’ tanpa menyadari bahwa dia lah yang menyebabkan aku keselek waktu lagi minum.

“Kenapa kok tiba-tiba nyuruh aku nyari pacar?”, tanyaku kemudian sambil membersihkan tumpahan es teh dengan tisu.

“Soalnya belakangan ini kamu kayak lagi banyak pikiran. Jadi kalo kamu punya pacar, kamu gak lagi terbebani dan memikirkan semuanya sendiri”,

Raka, beban pikiranku selama ini, selain tugas kampus dan si you-know-who yang tidak boleh disebut namanya, adalah kamu! Yang selama ini aku pikirin itu tentang kita. Well, lebih tepatnya tentang aku yang nggak lagi nganggep kamu sebagai teman biasa. Shit, seandainya aku benar-benar bisa mengucapkan kalimat ini.

“Kalo cuma buat berbagi cerita, aku kan bisa cerita ke kamu, Ka. Gak ada aturan yang menyebutkan bahwa tempat curhat yang baik adalah pacar. A friend is better, I think ”, aku tersenyum. Menyebut kata “friend” benar-benar memaksaku untuk tersenyum. Tersenyum pahit.

“Tapi buktinya kamu jarang cerita. Malah aku ngerasa, aku yang lebih sering cerita",

Aku terdiam.

"Dan kalo emang kamu pikir tempat cerita yang baik itu adalah teman, jadi sekarang kamu harus cerita, kenapa kamu udah ngelamun sepagian ini?”, Raka menambahkan.

Aku mengaduk-aduk es tehku yang tidak lagi dingin. Seandainya Raka tau kalo aku menceritakan semua hal padanya, tanpa ada satu pun yang terlewatkan, walau hanya dalam diam.

“Aku masih punya waktu sekitar satu jam lagi sebelum konsul”, lanjut Raka kemudian.

Raka masih menatapku. Menungguku yang tidak kunjung bersuara. Dan... tatapan teduhnya itu benar-benar penetralisir mood buruk yang paling juara

Aku memang selalu merasa tidak perlu menceritakan apapun masalahku pada Raka. Karena bagiku, keberadaannya saja sudah cukup memberikan kekuatan. Bisa menghabiskan waktu dengannya adalah suatu kebahagaiaan.

Hanya dengan melihat Raka, aku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Gak ada apa-apa, Raka. I’m totally fine. Emang lagi gak ada yang mau aku ceritain”, kali ini aku benar-benar tersenyum dengan tulus.

Kalau suatu saat moodku memburuk lagi, sepertinya cukup dengan Raka menatapku penuh kepedulian bercampur kekhawatiran seperti tadi, itu semua bisa membuat suasana hatiku menjadi jauh lebih baik.

“Yaudahlah kalo emang sekarang gak ada apa-apa. Tapi.. kapanpun kamu butuh teman cerita, just call me! Aku siap jadi pendengar yang baik. Oke?”, kata Raka lagi.

“Siap bos!”

“Eh tapi aku serius nanya, kamu beneran masih gak mau punya pacar? Apa mau aku cariin?”, Raka tersenyum jahil.

“Boleh.. asalkan kandidatnya bukan Dendi, Sony, Lukman, Dion, atau teman-temanmu yang udah aku kenal itu. Soalnya aku udah tau busuk-busuknya mereka. Hahaha”

“Hahaha.. ya nggak lah, bukan mereka. Aku bakal nyariin yang high quality. Tapi syaratnya, kamu harus buka hati dan belajar ngasih kesempatan”, Raka tersenyum lebar.

.....

Sebenarnya dia gak perlu nyariin aku siapa-siapa. Karena aku udah ketemu seorang Raka yang aku mau. Aku udah buka hati dan gak pernah lagi mengingat-ingat masa lalu. Dan sekarang kalo pertanyaannya dibalik, apa dia mau ngasih aku kesempatan?

Lagi-lagi kalimatku hanya sampai di tenggorokan. Tak terucapkan.

Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat. Walaupun aku juga tidak tau kapan sebuah waktu bisa dikatakan tepat’. Bahkan tidak ada yang bisa memastikan bahwa ‘waktu yang tepat’ itu benar-benar ada nantinya.

Satu hal yang aku tau, satu-satunya cara untuk tetap bisa berada di samping orang yang kamu sayangi adalah dengan menjadi temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D