Morning, my sunshine. Masih seperti
pagi kemarin. Aku duduk di hadapan Raka yang sedang menyantap soto tanpa kubis
kesukaannya.
Berada di dekat Raka pagi ini
paling tidak sedikit membantu memperbaiki moodku yang sudah kusut sejak semalam.
Lebih tepatnya sejak si you-know-who
yang tidak boleh disebut namanya itu mengirimkan sebuah message padaku melalui
facebook.
Memang harusnya aku nge-block akun fbnya dari jaman baheula.
Apa isi message yang menyebabkan
moodku kusut itu tidak akan ku ceritakan dalam episode ini karena hanya akan
memperburuk suasana hati.
“Kok ngelamun?”, Raka memecah
keheningan.
“Gak ngelamun kok, Ka”, aku
membantah, tersenyum sekilas, kemudian menyeruput es tehku perlahan untuk
menutupi kegugupan yang mulai merambat.
“Kamu masih gak mau nyari pacar?,”
“UHUK!”, kalimat Raka sukses membuatku keselek dan membuat tumpahan es teh dimana-mana. Untung saja gak muncrat ke muka Raka. Ergg..
“Pelan-pelan kalo minum.”, dengan
polosnya Raka bilang ‘pelan-pelan’ tanpa menyadari bahwa dia lah yang
menyebabkan aku keselek waktu lagi minum.
“Kenapa kok tiba-tiba nyuruh aku
nyari pacar?”, tanyaku kemudian sambil membersihkan tumpahan es teh dengan tisu.
“Soalnya belakangan ini kamu kayak lagi banyak pikiran. Jadi kalo kamu punya pacar, kamu gak lagi terbebani dan memikirkan semuanya sendiri”,
Raka, beban pikiranku selama ini,
selain tugas kampus dan si you-know-who yang tidak boleh disebut namanya,
adalah kamu! Yang selama ini aku pikirin itu tentang kita. Well, lebih tepatnya
tentang aku yang nggak lagi nganggep
kamu sebagai teman biasa. Shit, seandainya aku benar-benar bisa mengucapkan
kalimat ini.
“Kalo cuma buat berbagi cerita,
aku kan bisa cerita ke kamu, Ka. Gak ada aturan yang menyebutkan bahwa tempat curhat
yang baik adalah pacar. A friend is better, I think ”, aku tersenyum. Menyebut
kata “friend” benar-benar memaksaku untuk tersenyum. Tersenyum pahit.
“Tapi buktinya kamu jarang cerita. Malah aku ngerasa, aku yang lebih sering cerita",
Aku terdiam.
"Dan kalo emang kamu pikir tempat cerita yang baik itu adalah teman, jadi sekarang kamu harus cerita, kenapa kamu udah ngelamun sepagian ini?”, Raka menambahkan.
Aku terdiam.
"Dan kalo emang kamu pikir tempat cerita yang baik itu adalah teman, jadi sekarang kamu harus cerita, kenapa kamu udah ngelamun sepagian ini?”, Raka menambahkan.
Aku mengaduk-aduk es tehku yang
tidak lagi dingin. Seandainya Raka tau kalo aku menceritakan semua hal padanya,
tanpa ada satu pun yang terlewatkan, walau hanya dalam diam.
“Aku masih punya waktu sekitar
satu jam lagi sebelum konsul”, lanjut Raka kemudian.
Raka
masih menatapku. Menungguku yang tidak kunjung bersuara. Dan... tatapan teduhnya itu benar-benar
penetralisir mood buruk yang paling juara
Aku memang selalu merasa tidak perlu menceritakan apapun masalahku pada Raka. Karena bagiku, keberadaannya saja sudah cukup memberikan kekuatan. Bisa menghabiskan waktu dengannya adalah suatu kebahagaiaan.
Hanya dengan melihat Raka, aku
merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Gak ada apa-apa, Raka. I’m totally fine. Emang lagi gak ada
yang mau aku ceritain”, kali ini aku benar-benar tersenyum dengan tulus.
Kalau suatu saat moodku memburuk
lagi, sepertinya cukup dengan Raka menatapku penuh kepedulian bercampur
kekhawatiran seperti tadi, itu semua bisa membuat suasana hatiku menjadi jauh
lebih baik.
“Yaudahlah kalo emang sekarang
gak ada apa-apa. Tapi.. kapanpun kamu butuh teman cerita, just call me! Aku siap
jadi pendengar yang baik. Oke?”, kata Raka lagi.
“Siap bos!”
“Eh tapi aku serius nanya, kamu
beneran masih gak mau punya pacar? Apa mau aku cariin?”, Raka tersenyum jahil.
“Boleh.. asalkan kandidatnya
bukan Dendi, Sony, Lukman, Dion, atau teman-temanmu yang udah aku kenal itu.
Soalnya aku udah tau busuk-busuknya mereka. Hahaha”
“Hahaha.. ya nggak lah, bukan
mereka. Aku bakal nyariin yang high quality. Tapi syaratnya, kamu harus buka
hati dan belajar ngasih kesempatan”, Raka tersenyum lebar.
.....
.....
Sebenarnya dia gak perlu nyariin aku siapa-siapa. Karena aku udah ketemu seorang Raka yang aku mau. Aku udah buka
hati dan gak pernah lagi mengingat-ingat masa lalu. Dan sekarang kalo
pertanyaannya dibalik, apa dia mau ngasih aku kesempatan?
Lagi-lagi kalimatku hanya sampai
di tenggorokan. Tak terucapkan.
Mungkin saat ini bukan waktu yang
tepat. Walaupun aku juga tidak tau kapan sebuah waktu bisa dikatakan ‘tepat’. Bahkan tidak ada
yang bisa memastikan bahwa ‘waktu yang tepat’ itu benar-benar
ada nantinya.
Satu hal yang aku tau, satu-satunya cara untuk tetap bisa berada di samping orang yang kamu
sayangi adalah dengan menjadi temannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D