Pukul 22.00
Aku menelungkupkan
kepalaku di atas meja belajar. Sudah sejak sekitar 1,5 jam lalu tugas-tugas
kampus itu ku tinggalkan. Kertas-kertas yang berserakan seolah menjadi saksi
biksu bahwa sejak tadi yang ku lakukan hanya bolak-balik melihat handphone.
Berharap ada
notifikasi pesan singkat yang tidak terdengar. Berharap menemukan tulisan “one
message from Raka” tertulis di layar.
Tadi sore Raka
berangkat ke Semarang. Ada project
yang harus dia urus di sana. Sayangnya aku gak
bisa bergabung dalam tim, karena terbentur jadwal kuliah. Jadi, untuk satu
minggu ke depan aku dan Raka akan terpisah oleh 269 km yang membentang antara
Malang dan Semarang.
…
Waktu punya kecepatan
konstan. 24 jam sehari, 60 menit dalam sejam, dan 3600 detik tiap menitnya.
Ukuran matematis yang tidak akan berubah. Waktu memang memiliki kecepatan yang
konstan, tapi manusia punya andil dalam mengendalikan.
Buktinya seperti saat
ini. Aku melirik jam dinding kamar. Pukul 22.10. Sepertinya aku sudah
berjam-jam do nothing di meja ini
dengan pikiran fokus pada Raka yang entah sedang apa di sana, tapi ternyata
waktu yang berlalu hanya 10 menit dari waktu terakhir aku melihat jam.
Waktuku berjalan
lambat ketika Raka tidak ada. Dan sebaliknya, ketika Raka ada, bumi berputar
lebih cepat dari biasanya. Perubahan langit biru ke langit senja terjadi begitu
saja.
Seandainya aku punya
kemampuan memutar waktu menjadi satu minggu kemudian, ketika Raka sudah kembali
dari Semarang.
….
Aku tidak pernah
percaya pada cinta pada pandangan pertama. Karena menurutku jatuh cinta itu
butuh proses. Tidak bisa dengan hanya sekali melihat, kemudian kita bisa berkata,
“voilaaa, aku jatuh cinta!”.
Pertemananku dengan
Raka tahun ini memasuki tahun ketiga. Dan aku sangat yakin seyakin yakinnya
kalo dulu aku benar-benar menganggap Raka sebagai teman. Tidak lebih, dan tidak
pernah terpikirkan bahwa suatu saat nanti akan menjadi ‘lebih’.
Jadi, sejak kapan aku
menyukai Raka?
Tiba-tiba ingatanku
melayang pada suatu pagi, udara dingin pada ribuan meter di atas permukaan laut
yang sukses membuatku terserang flu, dan Raka yang sedang melempar-lempar
ranting kecil agar api unggun tetap menyala.
Saat itu Raka
bercerita tentang banyak hal dalam hidupnya. Mulai dari cita-cita untuk bisa
menjadi kebanggaan orang tua dan adik-adiknya suatu hari nanti. Keinginannya
untuk tetap bisa keluar masuk hutan dan mendaki. Prinsipnya untuk menjalani
hidup dengan caranya sendiri. Bebas dan jauh dari tekanan. Bisa melakukan
apapun karena dia menginginkan, bukan karena keharusan.
Semakin mengenal
Raka, aku jadi menyimpulkan bahwa Raka adalah pribadi yang penuh kejutan. Raka
punya pemikiran yang unik. Raka bisa melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda
dari orang kebanyakan.
Aku tidak tau sejak
kapan aku menyukai Raka. Yang aku tau hanyalah dari hari ke hari, semakin
banyak nilai plus dariku untuknya.
Nilai plus yang
seperti apa? ini juga sulit untuk ku deskripsikan.
Dan satu hal yang aku sadari belakangan ini, tiap kali Raka merangkulku, memegang tanganku, tersenyum padaku, I feel like there is butterfly in my stomach.
…
Pukul 22.20
Sepuluh menit
terlewati lagi. Sepertinya aku harus memejamkan mata. Bagaimana pun juga,
otakku harus punya waktu istirahat dari aktifitas memikirkan Raka.
Have a nice sleep, Ka :')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D