13 Mar 2013

Short Story: Sejak Kapan?


Pukul 22.00

Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja belajar. Sudah sejak sekitar 1,5 jam lalu tugas-tugas kampus itu ku tinggalkan. Kertas-kertas yang berserakan seolah menjadi saksi biksu bahwa sejak tadi yang ku lakukan hanya bolak-balik melihat handphone.

Berharap ada notifikasi pesan singkat yang tidak terdengar. Berharap menemukan tulisan “one message from Raka” tertulis di layar.

Tadi sore Raka berangkat ke Semarang. Ada project yang harus dia urus di sana. Sayangnya aku gak bisa bergabung dalam tim, karena terbentur jadwal kuliah. Jadi, untuk satu minggu ke depan aku dan Raka akan terpisah oleh 269 km yang membentang antara Malang dan Semarang.


Waktu punya kecepatan konstan. 24 jam sehari, 60 menit dalam sejam, dan 3600 detik tiap menitnya. Ukuran matematis yang tidak akan berubah. Waktu memang memiliki kecepatan yang konstan, tapi manusia punya andil dalam mengendalikan.

Buktinya seperti saat ini. Aku melirik jam dinding kamar. Pukul 22.10. Sepertinya aku sudah berjam-jam do nothing di meja ini dengan pikiran fokus pada Raka yang entah sedang apa di sana, tapi ternyata waktu yang berlalu hanya 10 menit dari waktu terakhir aku melihat jam.

Waktuku berjalan lambat ketika Raka tidak ada. Dan sebaliknya, ketika Raka ada, bumi berputar lebih cepat dari biasanya. Perubahan langit biru ke langit senja terjadi begitu saja.

Seandainya aku punya kemampuan memutar waktu menjadi satu minggu kemudian, ketika Raka sudah kembali dari Semarang.

….

Aku tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama. Karena menurutku jatuh cinta itu butuh proses. Tidak bisa dengan hanya sekali melihat, kemudian kita bisa berkata, “voilaaa, aku jatuh cinta!”.

Pertemananku dengan Raka tahun ini memasuki tahun ketiga. Dan aku sangat yakin seyakin yakinnya kalo dulu aku benar-benar menganggap Raka sebagai teman. Tidak lebih, dan tidak pernah terpikirkan bahwa suatu saat nanti akan menjadi ‘lebih’.

Jadi, sejak kapan aku menyukai Raka?

Tiba-tiba ingatanku melayang pada suatu pagi, udara dingin pada ribuan meter di atas permukaan laut yang sukses membuatku terserang flu, dan Raka yang sedang melempar-lempar ranting kecil agar api unggun tetap menyala.

Saat itu Raka bercerita tentang banyak hal dalam hidupnya. Mulai dari cita-cita untuk bisa menjadi kebanggaan orang tua dan adik-adiknya suatu hari nanti. Keinginannya untuk tetap bisa keluar masuk hutan dan mendaki. Prinsipnya untuk menjalani hidup dengan caranya sendiri. Bebas dan jauh dari tekanan. Bisa melakukan apapun karena dia menginginkan, bukan karena keharusan.

Semakin mengenal Raka, aku jadi menyimpulkan bahwa Raka adalah pribadi yang penuh kejutan. Raka punya pemikiran yang unik. Raka bisa melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda dari orang kebanyakan.

Aku tidak tau sejak kapan aku menyukai Raka. Yang aku tau hanyalah dari hari ke hari, semakin banyak nilai plus dariku untuknya.

Nilai plus yang seperti apa? ini juga sulit untuk ku deskripsikan.

Dan satu hal yang aku sadari belakangan ini, tiap kali Raka merangkulku, memegang tanganku, tersenyum padaku, I feel like there is butterfly in my stomach.


Pukul 22.20

Sepuluh menit terlewati lagi. Sepertinya aku harus memejamkan mata. Bagaimana pun juga, otakku harus punya waktu istirahat dari aktifitas memikirkan Raka.

Have a nice sleep, Ka :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D