Soto ayam
tanpa kubis di hadapanku sepertinya mulai dingin. Aku belum menyentuhnya sama
sekali sejak ia disajikan di atas mejaku.
Aku mengaduk-aduk soto itu tanpa
semangat.
Raka di Semarang lagi apa? Dia udah bangun apa belum? Dia sarapan pake apa?
Kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Padahal aku berharap dengan memesan menu makanan kesukaan Raka, setidaknya bisa sedikit mengobati
rasa rindu.
Ponsel yang
ku letakkan di sebelah meja tiba-tiba bergetar. One message from Nayla tertulis di layar.
From: Nayla
Nanti siang
temenin aku belanja yuk?
Reply
To: Nayla
Ok
Berteman
dengan Raka membuatku sedikit ketularan kebiasaan buruknya. Salah satunya adalah
membalas sms dengan singkat.
Raka adalah
orang yang hemat ketikan. Dia benar-benar menerapkan kepanjangan SMS, Short
Message Service, dalam hidupnya. Aku sering mengejeknya, “Providermu apa sih,
Ka? Kalo sms bayarnya diitung per-huruf ya?”. Raka hanya tertawa mendengarku
berbicara seperti itu.
Sebenarnya
aku gak heran kalo para pria membalas sms dengan super duper singkat,
bahkan dengan satu huruf “Y” sekalipun. Karena kemampuan linguistik (disebabkan
oleh komposisi otak kiri dan kanan) mereka memang jauh dibawah wanita. Ini
pernah dijelaskan oleh dosen psikologi waktu aku semester 1. Itulah sebabnya mengapa
wanita lebih cerewet dibanding pria.
***
Aku sedang
berada di sebuah toko baju anak-anak, menemani Nayla belanja. Nayla rencananya
akan membelikan adiknya beberapa baju baru. Faris, adik bungsu Nayla ini masih
berumur 3 tahun.
Aku membantu
Nayla memilih-milih baju yang kira-kira cocok untuk Faris.
“Yang ini
lucu… yang ini juga lucu.. eh tapi yang ini gak kalah lucu, Nay”, aku sangat
antusias memilihkan baju untuk Faris. Maklumlah, aku tidak punya adik yang bisa
ku belikan baju lucu-lucu.
Aku suka
anak kecil. Lebih tepatnya mendadani anak kecil dengan baju-baju lucu. Hihihihi
“Bankrut aku
kalo beliin ini semua buat Faris”, gerutu Nayla.
Kemudian aku
melihat Nayla sedang berada di depan tumpukan kaos anak kecil yang bergambar
tim-tim sepak bola dunia seperti Madrid, Chelsea, Barcelona, MU, Inter dan
lain-lain. Aku pun mendekati Nayla.
“Faris mau
dibeliin kaos bola juga?”, tanyaku.
“Kayaknya
sih. Bagusan mana? Yang hitam apa yang biru kuning ini?”, kata Nayla sambil
mengangkat 2 kaos dengan warna berbeda.
“Yang ini
aja!” aku mengambil kaos lain berwarna merah hitam. Yap, yang sedang ada di tanganku
adalah kaosnya Ac Milan, tim sepak bola kesukaan Raka.
“Ih kenapa
harus merah hitam? Yang biru kuning ini warnanya lebih bagus”, kata Nayla.
“Yang biru
kuning itu Barca, Nay. Kalo yang hitam itu kaosnya Chelsea. Trus kalo yang
merah hitam ini punyanya Milan. Jadi, mending Milan aja”, aku berusaha memberi
penjelasan pada Nayla yang buta sepak bola ini.
“Aku gak
peduli tim sepakbolanya. Aku milih warnanya”, Nayla tetep kekeuh.
Yayaya, aku
menyerah. Aku gak bisa maksa Nayla. Yang jelas,
seandainya aku punya adik laki-laki yang masih kecil, aku akan memaksanya
memakai kaos Milan.
***
To be honest, aku gak suka sepak bola. Raka yang suka.
Dia tergila-gila pada olahraga yang satu itu.
“Kenapa suka
sepak bola?”, aku pernah menanyakan hal ini padanya.
“Kamu pernah
gak menyukai sesuatu tanpa tau alasannya? Aku suka sepak bola juga kayak gitu.
Ada perasaan yang tidak bisa dideskripsikan waktu nendang bola, apalagi bisa
nyetak gol!”, Raka sangat bersemangat tiap kali menceritakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan sepak bola.
Selain sepak
bola, Raka juga suka nge-game, hobi standart para pria sih. Raka menyukai semua
jenis game. Kecuali game kebun-kebunan seperti Ranch Rush atau Harvest Moon.
Salah satu
game jadul kesukaan Raka adalah Final Fantasy VIII. Raka pernah menceritakan padaku
tentang game ini. Seperti biasa, dia selalu bersemangat tiap kali membicarakan
hal-hal kesukaannya.
Aku juga berusaha
sebisa mungkin menyimak cerita Raka tentang FF VIII. Tapi yang ada aku malah
tenggelam dalam dua bola mata teduh itu. Dan dari semua penjelasan Raka tentang
FF VIII, yang bisa aku tangkap dan aku ingat hanyalah nama 2 karakter utama
dalam game tersebut, Squall Lion Heart dan Rinoa Heartilly.
Dulu Raka
juga sangat suka main poker di facebook. Dia bisa menghabiskan waktu semalam
suntuk untuk bermain. Karena penasaran, kemudian aku meminta Raka untuk
mengajariku. Aku bolak-balik bertanya pada Raka tentang istilah-istilah yang
ada di Poker, yang sulit untuk ku ingat, seperti raise, all in, straight, full
house, dan lain-lain.
Raka sangat
jenius untuk urusan nge-game. Jelas
aku kalah tiap kali bermain poker satu meja dengan Raka. Chipku selalu habis.
Dan dia selalu terlihat sangat bahagia tiap kali chipku habis.
Aku
mempelajari game-game kesukaan Raka supaya aku bisa bermain dengannya.
Aku tidak
pernah berusaha menyukai apa yang Raka suka. Tapi aku selalu suka berada di
dunia tempat di mana Raka berada.
bagus sih, tapi kalo boleh kasih saran konfliknya dibuat lebih ngena lagi ya, kurang terasa tensinya soalnya.... hehehehe salam kenal!
BalasHapusterima kasih sudah baca + sarannya ^^
BalasHapussalam kenal juga, zaturania :D
Raka di Semarang lagi apa?...
BalasHapusaku suka kalimat ini banget raudh :')
elyvia: suka Semarang-nya maksudnya el? :p
BalasHapus