Ares mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celananya. Mengacuhkan
Reina yang sejak tadi membujuknya untuk pulang ke rumah malam ini.
“Jangan merokok lagi, Res”, kata Reina. Kemudian Reina menyambar rokok
yang baru saja dibakar itu. Membuangnya ke tanah.
Ares bergeming, kemudian mengeluarkan sebatang rokok lagi.
“Aku bilang jangan merokok, Res!”, lagi – lagi Reina membuang rokok
yang baru saja dinyalakan oleh Ares.
“Kamu apa-apaan sih Rei? Ini belinya pake duit tau!”, bantah Ares.
Lelaki itu mengeluarkan sebatang rokok dan
memantiknya lagi.
Kali ini Reina terdiam. Menatap Ares yang sedang menghisap rokoknya
dalam-dalam. Bola-bola asap keluar dari bibirnya yang hitam.
Tiba-tiba Reina mengambil rokok yang sedang dipegang Ares. Tetapi Reina
tidak lagi membuangnya. Reina mematikan rokok yang menyala
itu dengan tangannya.
Ares terkejut. Secepat kilat dia menyambar tangan Reina yang menggenggam rokok, meniup-niup telapak
tangan Reina yang terbakar.
“Kamu jangan gila Rei!”, Bentak Ares. Ia masih meniup-niup telapak tangan Reina.
“Ikut aku, kita cari obat!”, Ares menarik tangan Reina dengan kasar, berjalan
masuk ke dalam bar.
Reina yang berjalan di belakang Ares diam-diam tersenyum.
“Susah banget ya Res dapet perhatian dari kamu. Aku harus menderita
dulu”, ujar Reina
***
Aku teringat sebuah adegan antara
Ares dan Reina dalam novel berjudul Summer
Breeze yang pernah ku baca ketika masih duduk di bangku SMA.
Apa aku harus mempraktekkan apa
yang dilakukan Reina juga buat mendapatkan perhatian dari Raka? Hahaha, aku
tertawa dalam hati. Aku tidak segila Reina. Selain itu, kasusku dengan Reina
itu jauh berbeda.
Dalam cerita itu, Reina tau kalo
Ares menyayanginya. Reina tau
bahwa Ares hanya terlalu takut untuk percaya pada Reina. Ares takut untuk percaya bahwa Reina memilih dia dibandingkan Orion,
kembarannya yang nyaris sempurna itu. Ares takut jika suatu hari nanti
Reina menjadi orang ke sekian yang mengkhianatinya.
Sedangkan dalam ceritaku, aku
tidak tau sama sekali perasaan Raka. Oke, kebalik. Raka tidak tau perasaanku. Raka tidak tau bahwa
aku menyukainya. Dan aku
juga tidak berencana untuk memberitahunya. Fix, ini akan jadi
cinta terpendam, mungkin untuk selamanya.
Raka adalah seorang perokok berat. Aku
sudah sangat sering mengingatkan Raka untuk mengurangi jumlah batang rokok yang
dihisapnya setiap hari.
“Apa sih enaknya ngerokok? Cuma buang-buang
duit. Sekarang buang-buang duit buat beli rokok. Nanti kalo udah tua
buang-buang duit buat ngobatin paru-paru,”, ucapku panjang lebar.
Raka bilang merokok itu buat nyari
inspirasi. Raka bilang kalo gak merokok itu bikin lidahnya pahit. Raka bilang
merokok itu buat ngilangin stress. Dan segudang alasan klasik lainnya.
Aku bermimpi suatu hari nanti
bisa mengucapkan kalimat, “Jangan merokok lagi, Ka”, padanya. Wanita mana yang sanggup
melihat pria yang dicintainya menghisap jutaan racun? Terlebih lagi ketika itu
dilakukan di hadapannya.
***
Aku duduk di samping Raka yang
sedang memegang rokok di tangan kirinya. Iya, Raka sudah kembali dari Semarang sejak
tadi malam. Akhirnya setelah seminggu atau 168 jam atau 10.080 menit atau lebih
tepatnya lagi selama 36.288.000 detika gak ketemu Raka, akhirnya aku bisa
melihat 2 mata teduh itu lagi. Akhirnya aku bisa melihat senyum itu lagi.
Senyum yang membuatku candu, juga rindu.
“Bisa gak kita kayak gini terus, Ka?
Kamu yang ada di sampingku. Kamu yang ada di sekitarku. Kamu yang selalu ada
dalam jangkauan pandangku..”, lagi – lagi aku hanya bisa bicara dalam hati.
Aku menyimak Raka yang sedang
bercerita banyak hal tentang project-nya
di Semarang kemarin. Ini adalah momen yang paling ku suka. Karena aku bisa
menatap mata teduhnya berlama-lama.
Sejujurnya, aku bukan orang yang
bisa menatap mata lawan berbicara. Aku biasanya melihat ke arah lain ketika
berbicara, dengan siapapun. Ini hanya masalah kebiasaan. Dulu Raka menegurku
yang sedang memutar – mutar bolpoin diatas meja ketika Raka bicara.
“Aku dengerin kok, Ka”, kataku
waktu itu.
“Liat ke aku yang lagi ngomong!”,
Raka bersikeras.
Waktu itu aku hanya tertawa
mendengar protes Raka. Sejak saat itu aku mulai belajar menatap mata lawan bicara, terutama Raka. Walaupun
sesekali aku tetap harus
mengalihkan pandangan karena belum terbiasa berbicara dengan menatap matanya, apalagi kalau harus
berlama-lama.
***
Ya Tuhan, I really really fall in love with him. Kenapa Raka gak bisa ngeliat
kalo di mataku sekarang lagi ada gambar hatinya?
Sigh, jatuh cinta bisa bikin orang jadi norak seketika.
Ada yang bilang kalau jatuh cinta
itu selalu satu paket dengan patah hati. Aku jatuh cinta, tetapi apa aku siap patah hati?
Aku bertanya lagi, apa di dunia ini ada orang yang
siap patah hati?
Konon katanya, orang yang jatuh cinta tapi
tidak siap patah ati adalah orang-orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.
Mengingat teori itu rasanya aku ingin menjedutkan kepalaku ke tembok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D