29 Mar 2013

Short Story: Aku Jatuh Cinta

Ares mengeluarkan sebatang rokok dari kantong celananya. Mengacuhkan Reina yang sejak tadi membujuknya untuk pulang ke rumah malam ini.

“Jangan merokok lagi, Res”, kata Reina. Kemudian Reina menyambar rokok yang baru saja dibakar itu. Membuangnya ke tanah.

Ares bergeming, kemudian mengeluarkan sebatang rokok lagi.

“Aku bilang jangan merokok, Res!”, lagi – lagi Reina membuang rokok yang baru saja dinyalakan oleh Ares.

“Kamu apa-apaan sih Rei? Ini belinya pake duit tau!”, bantah Ares. Lelaki itu mengeluarkan sebatang rokok dan memantiknya lagi.

Kali ini Reina terdiam. Menatap Ares yang sedang menghisap rokoknya dalam-dalam. Bola-bola asap keluar dari bibirnya yang hitam.

Tiba-tiba Reina mengambil rokok yang sedang dipegang Ares. Tetapi Reina tidak lagi membuangnya. Reina mematikan rokok yang menyala itu dengan tangannya.

Ares terkejut. Secepat kilat dia menyambar tangan Reina  yang menggenggam rokok, meniup-niup telapak tangan Reina yang terbakar.

“Kamu jangan gila Rei!”, Bentak Ares. Ia masih meniup-niup telapak tangan Reina.

“Ikut aku, kita cari obat!”, Ares menarik tangan Reina dengan kasar, berjalan masuk ke dalam bar.

Reina yang berjalan di belakang Ares diam-diam tersenyum.

“Susah banget ya Res dapet perhatian dari kamu. Aku harus menderita dulu”, ujar Reina

***

Aku teringat sebuah adegan antara Ares dan Reina dalam novel berjudul Summer Breeze yang pernah ku baca ketika masih duduk di bangku SMA.

Apa aku harus mempraktekkan apa yang dilakukan Reina juga buat mendapatkan perhatian dari Raka? Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku tidak segila Reina. Selain itu, kasusku dengan Reina itu jauh berbeda.

Dalam cerita itu, Reina tau kalo Ares menyayanginya. Reina tau bahwa Ares hanya terlalu takut untuk percaya pada Reina. Ares takut untuk percaya bahwa Reina memilih dia dibandingkan Orion, kembarannya yang nyaris sempurna itu. Ares takut jika suatu hari nanti Reina menjadi orang ke sekian yang mengkhianatinya.

Sedangkan dalam ceritaku, aku tidak tau sama sekali perasaan Raka. Oke, kebalik. Raka tidak tau perasaanku. Raka tidak tau bahwa aku menyukainya. Dan aku juga tidak berencana untuk memberitahunya. Fix, ini akan jadi cinta terpendam, mungkin untuk selamanya.

Raka adalah seorang perokok berat. Aku sudah sangat sering mengingatkan Raka untuk mengurangi jumlah batang rokok yang dihisapnya setiap hari.

“Apa sih enaknya ngerokok? Cuma buang-buang duit. Sekarang buang-buang duit buat beli rokok. Nanti kalo udah tua buang-buang duit buat ngobatin paru-paru,”, ucapku panjang lebar.

Raka bilang merokok itu buat nyari inspirasi. Raka bilang kalo gak merokok itu bikin lidahnya pahit. Raka bilang merokok itu buat ngilangin stress. Dan segudang alasan klasik lainnya.

Aku bermimpi suatu hari nanti bisa mengucapkan kalimat, “Jangan merokok lagi, Ka”, padanya. Wanita mana yang sanggup melihat pria yang dicintainya menghisap jutaan racun? Terlebih lagi ketika itu dilakukan di hadapannya.

***

Aku duduk di samping Raka yang sedang memegang rokok di tangan kirinya. Iya, Raka sudah kembali dari Semarang sejak tadi malam. Akhirnya setelah seminggu atau 168 jam atau 10.080 menit atau lebih tepatnya lagi selama 36.288.000 detika gak ketemu Raka, akhirnya aku bisa melihat 2 mata teduh itu lagi. Akhirnya aku bisa melihat senyum itu lagi. Senyum yang membuatku candu, juga rindu.

“Bisa gak kita kayak gini terus, Ka? Kamu yang ada di sampingku. Kamu yang ada di sekitarku. Kamu yang selalu ada dalam jangkauan pandangku..”, lagi – lagi aku hanya bisa bicara dalam hati.

Aku menyimak Raka yang sedang bercerita banyak hal tentang project-nya di Semarang kemarin. Ini adalah momen yang paling ku suka. Karena aku bisa menatap mata teduhnya berlama-lama.

Sejujurnya, aku bukan orang yang bisa menatap mata lawan berbicara. Aku biasanya melihat ke arah lain ketika berbicara, dengan siapapun. Ini hanya masalah kebiasaan. Dulu Raka menegurku yang sedang memutar – mutar bolpoin diatas meja ketika Raka bicara.

“Aku dengerin kok, Ka”, kataku waktu itu.

“Liat ke aku yang lagi ngomong!”, Raka bersikeras.

Waktu itu aku hanya tertawa mendengar protes Raka. Sejak saat itu aku mulai belajar menatap mata lawan bicara, terutama Raka. Walaupun sesekali aku tetap harus mengalihkan pandangan karena belum terbiasa berbicara dengan menatap matanya, apalagi kalau harus berlama-lama.

***

Ya Tuhan, I really really fall in love with him. Kenapa Raka gak bisa ngeliat kalo di mataku sekarang lagi ada gambar hatinya?

Sigh, jatuh cinta bisa bikin orang jadi norak seketika.

Ada yang bilang kalau jatuh cinta itu selalu satu paket dengan patah hati. Aku jatuh cinta, tetapi apa aku siap patah hati?

Aku bertanya lagi, apa di dunia ini ada orang yang siap patah hati?

Konon katanya, orang yang jatuh cinta tapi tidak siap patah ati adalah orang-orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri.

Mengingat teori itu rasanya aku ingin menjedutkan kepalaku ke tembok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D