1 Feb 2016

Tragedi Kotak Kado

Dear Orion,

Seharian ini aku hanya bisa meringkuk di atas tempat tidur menahan sakit perut yang mengganggu setiap bulan. My period is killing me. Dan setiap kali sakit sialan ini datang, ingatan senantiasa melemparku pada peristiwa setahun lalu. Peristiwa yang menjadi penyebab berakhirnya hubungan kita.

Aku berniat mencari kotak kado pada hari itu. Kotak kado yang nantinya akan berisi sebuah flanel yang ingin kuberikan padamu. Sayangnya hari itu aku kedatangan tamu bulanan yang membuat perutku sakit.

Aku gamang. Keinginanku kuat untuk tetap pergi mencari kotak kado. Tapi perutku sakit. Tapi aku harus pergi karena besok kamu akan datang dan aku ingin memberimu hadiah secara langsung.

Akhirnya, aku pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari kosan. Kurang lebih setengah jam waktu yang kuhabiskan untuk masuk keluar toko mencari kotak kado yang pas. Mencari ukuran yang tidak terlalu besar agar tidak menghabiskan banyak space di dalam ranselmu, sekaligus mencari warna yang cukup maskulin supaya kamu berkenan menyimpannya.

Aku menemukan kotak kado yang sesuai dengan keinginanku. Warnanya biru gelap dengan pita perak menghiasi tutupnya. Ukurannya pun tidak terlalu besar, sehingga bisa dimasukkan ke dalam ransel. Walaupun itu berarti aku harus melipat flanelnya menjadi kecil dan membuatnya menjadi sedikit berkerut.

Setelah keluar dari pusat perbelanjaan tersebut, aku berjalan menuju sudut jalan di mana biasanya angkutan umum berhenti menunggu penumpang. Sambil sesekali memegangi perut yang masih sakit, aku bertekad bahwa sesampainya di kosan aku ingin segera minum obat dan tidur.

Tapi kemudian aku teringat bahwa stok obat penghilang rasa nyeriku sudah habis. Aku pun memutuskan untuk mampir ke apotek terlebih dahulu sebelum pulang ke kosan.

Setengah jam berlalu. Obat sudah di tangan dan aku juga sudah berdiri di pinggir jalan depan apotek menunggu angkutan umum yang tak kunjung datang.

Setelah kurang lebih 20 menit berdiri menunggu dengan menahan rasa sakit, aku pun baru ingat kalau angkutan umum yang kutunggu tidak melewati jalan itu. Harusnya aku menunggu di pertigaan ujung jalan, bukan di depan apotek. Aku mengumpat berkali-kali karena kebodohan yang kulakukan. Bisa-bisanya aku lupa jalur angkutan umum di saat genting seperti itu.

Sementara itu perutku semakin sakit, kepala mulai berat, dan ujung-ujung jari tanganku semakin dingin. Saat itu aku hanya bisa berdoa semoga aku tidak pingsan di tengah jalan.

Setelah perjuangan yang cukup menguras tenaga (dan emosi) karena harus berjalan kaki ke pertigaan jalan dalam keadaan perut melilit, akhirnya aku menemukan angkutan umum yang melewati jalan di depan gang kosan. Aku sampai di kos dengan selamat. Aku meminum obat dan tidur dengan bantal yang ditekan ke perut.

Saat itu aku hanya ingin segera tidur dan bertemu pagi. Tidak ada lagi yang kuinginkan selain secepatnya menemuimu untuk memberikan apa yang telah kusiapkan.

Orion,

Apa kamu tau, di bumi ini ada satu hukum yang menyebutkan bahwa ekspektasi akan selalu berbanding terbalik dengan kenyataan. Dan hukum tersebut benar-benar terjadi pada hari itu.

Ternyata semuanya tidak berjalan seperti yang kuharapkan.

Kamu tidak datang. Kamu tidak menemuiku. Kamu tidak punya waktu seluang itu.

Aku pun meradang. Merasa tidak diprioritaskan. Tidak dipedulikan. Tidak dipertimbangkan.

Kamu memberi penjelasan, membentangkan berbagai alasan yang menyebabkan kamu tidak bisa datang. Kamu berusaha menenangkanku, mengatakan bahwa kamu bisa mampir ke kosku tapi cuma sebentar.

Tapi aku terlanjur kecewa. Aku benar-benar marah, hingga mengatakan hal-hal yang tak semestinya.

Dan kamu pun akhirnya melakukan hal yang sama.

Setelah itu tak satupun di antara kita mau mundur walau hanya selangkah. Kita sama-sama tidak mau mengalah. Ego kita lebih penting dari segalanya, bahkan lebih penting dari hubungan yang sudah kita bina.

Kita saling mendorong, menyudutkan, menyalahkan. Hal itu kemudian membuat kita berdua sama-sama terjatuh, dan apa yang sudah kita susun sekian lama akhirnya hancur berantakan.

Di hari-hari berikutnya, aku terus berpikir panjang. Tentang apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Satu hal yang aku sadari kemudian adalah bahwa saat itu harusnya bukan siapa yang salah yang kita cari, melainkan solusi. Sebab mencari siapa yang salah hanya akan membuat kita saling mendorong. Saling menjauhkan diri.

Dan satu lagi, kita benar-benar harus belajar tentang bagaimana caranya mengendalikan emosi.

But, it has passed anyway. Bukankah tidak akan ada pembelajaran jika tidak ada kesalahan. Klise memang. Tapi kita bukan anak kecil yang merengek ketika lolipop kesayangan kita hilang. Hal itu yang setidaknya selalu kuingat setiap kali rasa marah, kecewa, sesal, dan sedih itu mencuat ke permukaan. Dan kamu pun begitu. Kamu selalu bisa melewatinya dengan baik, melebihiku.

Sekian surat hari ini, Orion. Selamat bekerja. Selamat bercengkrama dengan senja.

Salam,
Ruru.

#30HariMenulisSuratCinta #HariKe2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D