11 Mei 2014

Loving Him Was Red

Aku percaya bahwa lagu tidak ubahnya seperti lorong waktu. Bagaimana tidak, dengan lagu kita bisa kembali ke masa lalu. Seperti halnya lagu milik Ran dengan judul Selamat Pagi yang mengingatkanku pada hari pertama SNMPTN empat tahun yang lalu. Lagu yang menjadi moodbooster-ku, lagu yang kuharap dapat meredakan nervous yang sedang kurasakan saat itu. Sebait liriknya yang berbunyi, “Dan kini kusiap tuk jalani hari ini..” ibarat mantra untuk mensugesti diri bahwa aku akan mengerjakan soal-soal ujian dengan lancar.

Selain itu, lagu juga dapat membawa kita mengingat lagi perasaan-perasaan tertentu. Seperti halnya lagu Jar of Heart yang dinyanyikan oleh Christina Perri, lagu galau maksimal yang sering kudengarkan beberapa bulan yang lalu ketika sedang patah hati. Tapi lama-lama lagu itu menjadi sedikit f*cking sh*t karena ia seperti ‘lagu wajib’ yang selalu diputar di kafe-kafe yang biasanya kudatangi untuk menyesap secangkir kopi. Mood yang awalnya baik-baik saja (karena lagi nongkrong sama teman-teman) bisa hancur seketika. Bawaannya pengen cepet pulang supaya bisa galau bareng guling di kamar.

Dari sekian banyak penyanyi di muka bumi, Taylor Swift adalah salah satu penyanyi favoritku. “You Belong With Me” merupakan lagu pertama yang membuatku menyukai suara penyanyi cantik berambut pirang ini. Walaupun tidak semua lagunya kusuka, at least aku selalu mendengarkan lagu-lagu yang baru saja ia release.

And in my future, Taylor Swift’s song that I’m listening now will always remind me about him, about how I fall in love with him

***

Loving him is like driving a new Maserati down a dead-end street
Faster than the wind, passionate as sin, ending so suddenly
Loving him is like trying to change your mind once you're already flying through the free fall
Like the colors in autumn, so bright just before they lose it all

Dia pintar, dia baik, dia menyenangkan, dia tampan, dan setumpuk pujian lain mungkin pernah dia terima dari wanita-wanita yang menyukainya. Tentu saja aku tidak bisa untuk tidak sepakat pada pujian-pujian tersebut karena memang benar begitu adanya (walaupun aku sangat ingin menambahkan kalimat, “tapi dia juga egois, keras kepala, dan menyebalkan” di belakangnya).

Namun apa yang sebenarnya ingin kujelaskan adalah bahwa aku tidak jatuh cinta padanya karena alasan-alasan tersebut. Bukan karena dia pintar, baik, menyenangkan, atau tampan, karena aku percaya bahwa ada sejuta pria berkriteria seperti itu di jagad raya. Mungkin juga karena aku bukan tipikal yang bisa jatuh cinta pada hal-hal biasa. Just in this case, aku menyukainya karena dia berbeda.

Losing him was blue like I'd never known
Missing him was dark grey all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
But loving him was red
Loving him was red

Dia adalah pria paling berkarakter yang pernah kukenal. Aku jatuh cinta pada cara berpikirnya, pada imajinasinya, pada cerita-cerita ciptaannya, dan pada keteguhan prinsip yang dia punya. Dari dia aku belajar banyak hal. Kenapa harus begini, kenapa harus begitu, dia bisa menjelaskan alasan dibalik semua pertanyaan “kenapa” yang sering kulontarkan.

Dan bagiku, tidak ada yang lebih menyenangkan selain bisa belajar dari seseorang yang punya kepribadian serta belajar banyak hal yang sebelumnya tidak kukenal.

Touching him was like realizing all you ever wanted was right there in front of you
Memorizing him was as easy as knowing all the words to your old favorite song
Fighting with him was like trying to solve a crossword and realizing there's no right answer
Regretting him was like wishing you never found out that love could be that strong

Seperti pasangan-pasangan pada umumnya, hubunganku dan dia juga membentuk garis naik turun pada kurva. Pertengkaran dalam hubungan kami tentu saja tidak dapat dihindari, karena bagaimanapun juga aku dan dia adalah dua pribadi yang berbeda. Nada suara salah satu dari kami pernah meninggi. Kami pernah tidak bertegur sapa untuk beberapa waktu. Bahkan kami pernah mengalihkan panggilan telpon menjadi nada sibuk saat sedang tidak ingin bicara.

Tapi yang sering membuatku heran adalah aku lebih merindukannya saat kami sedang ‘marahan’ dan aku semakin menyayanginya setelah kami 'baikan'. Isn’t it weird, huh? Sehingga kadang aku jadi senyum-senyum sendiri tiap kali (tidak sengaja) membuatnya marah. Lucky me for have a boyfriend like him, because he’s so cute when he’s angry. *dikeplak*

Remembering him comes in flashbacks and echoes
Tell myself it's time now, gotta let go
But moving on from him is impossible
When I still see it all in my head
In burning red
Burning, it was red

Aku tidak bisa mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik, tapi aku bisa memastikan bahwa dia lebih baik dari  lelakiku yang dulu-dulu. Aku bisa bertemu dengan yang lebih baik dan aku sangat bersyukur untuk hal ini. For me it's enough.

Dia memang baik, tapi itu tidak serta merta membuatku bisa menyebutnya sebagai ‘pria baik-baik’. Karena yang aku percaya, tidak ada satupun manusia yang berhati malaikat sepenuhnya, dia pun begitu.

Cukup dengan dia baik dan selalu mengingatkanku untuk berbuat baik, maka alasan kenapa aku menyukainya semakin bertambah.

And that's why he's spinnin' 'round in my head
Comes back to me, burning red

Suatu ketika aku bertanya pada Rachel tentang arti dari kalimat ‘loving him was red’ yang ada pada lagu ini.

“Kenapa merah?”, tanyaku. “Karena cinta itu membara, seperti api.” kata Rachel. Aku tersenyum mendengar jawaban yang kuterima.

Currently, my love for him is really red. Namun aku tidak ingin api yang terlalu besar, karena nanti ia bisa membakar. Aku ingin cintaku padanya seperti api yang ada pada ujung lilin, menerangi kegelapan. Aku ingin cintaku padanya seperti api di kayu bakar ketika berada di pegunungan, menghangatkan dan memberi kehidupan.

There are two things that I wanna tell him everytime: thank you for being with me and thank you for this (sweet) lovestory :)

*Inspired from Taylor Swift's Song - Red

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D