”Pulangnya agak malem gak apa-apa ya? Sekalian nunggu MU
main,” kata Raka sesaat kami selesai makan di sebuah warung sate pinggir
jalan.
“Trus kita mau ke mana?” sahutku sambil melirik jam di
pergelangan tangan yang masih menunjukkan pukul 10 malam.
Jawaban ‘muter-muter dulu aja deh’ dari Raka pada akhirnya berujung
di depan pagar kosku. Kami duduk di trotoar di bawah sinar lampu jalan, lalu aku
menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Kita nabung yok buat backpacker-an
ke Inggris,” ucap Raka tiba-tiba.
“Kenapa kamu mau ke Inggris?” sebenarnya aku sudah bisa
menebak apa jawabannya.
“Mau ke Old Trafford, nonton MU secara langsung,” ia
tersenyum. Senyum yang membuat matanya menyipit seperti bulan sabit. Raka
memang sangat antusias kalau sudah membicarakan klub sepakbola kesayangannya
yang satu itu.
“Udah? Itu aja?” tanyaku lagi.
“Alasan kedua, aku pengen ngajak kamu naik keranjang
berputar versi Inggris”
Keranjang berputar merupakan istilah yang biasa kupakai untuk
menyebut bianglala, istilah buatanku sendiri tentunya. Aku dan Raka sering
menghabiskan malam-malam kencan kami ke Batu hanya untuk naik bianglala yang
ada di alun-alun kota. Aku sangat suka menikmati pemandangan dari atas sana.
“Ah iya London Eye!
Seandainya kita bener-bener bisa ke sana ya Ka..”
“Kita pasti bisa ke sana! Makanya diniatin dari sekarang.”
Raka mengacak rambutku sekilas.
“Aku juga pengen sekolah di Inggris. Tapi maunya di Hogwarts
supaya jadi juniornya Harry Potter,” lanjutku.
“Ngg.. agak susah kalo kamu maunya Hogwarts. Kamu harus
minjem otaknya Hermione dulu,” wajahnya terlihat serius.
Raka sangat menyukai karakter Hermione di film Harry Potter. Menurutnya, Hermione adalah tipikal wanita idaman semua pria di jagad raya. Sudah
pintar, baik, cantik pula. Aku hanya mendengus ketika Raka mengatakan hal itu.
Cemburu? Big no. Tidak ada alasan untuk
cemburu pada tokoh fiksi. Tapi tetep sebel dong kalo pacar memuji perempuan
lain.
“Ngejek banget! Otakku sama otaknya Hermione itu 11-12 tau!” Aku mencubit lengan Raka yang
sudah tidak bisa lagi menahan tawa.
“Jadi, alasan lainnya apa? Kenapa kita harus pergi ke
Inggris?” ia bertanya lagi.
“Hmm.. Kalau aku.. Aku pengen nemenin kamu berdiri di Old
Trafford nyanyiin lagu Glory Glory United.” Aku tidak pernah berusaha menyukai apa
yang Raka suka. Hanya saja aku selalu suka tinggal di dunia di mana Raka berada.
Can you guess what I
got then? Yap, forehead kiss.
“Makasih ya,” ucapnya kemudian.
“For what?”
“Everything”
Dan inilah lelakiku, yang selalu mengucapkan ‘terima kasih’, pada hal kecil yang kuucapkan sekalipun.
***
Malam itu mungkin akan menjadi malam terburuk seumur
hidupku. Ketika dia bersikeras tidak mau
menutup telpon, padahal dia sedang mengendarai sepeda motor. “Jangan ditutup
dulu. "Aku masih kangen kamu, masih pengen denger suara kamu,” merupakan kalimat
terakhir yang dia ucapkan. Lalu sambungan telpon terputus beberapa detik
setelah suara benturan hebat itu terdengar di telingaku.
I do love him. Tapi Tuhan lebih mencintainya.
Tiga tahun setelah kepergian Raka, aku seperti manusia yang
hidup tanpa jiwa. Suara benturan yang kudengar di telpon malam itu masih terngiang-ngiang
di telinga. Aku masih menduga-duga seperti apa sakit yang ia rasakan. Aku masih
berandai-andai, andai saja aku tidak menelponnya, mungkin malam itu Tuhan tidak
mengambil Raka dariku.
Tiga tahun setelah kepergian Raka, aku rutin ziarah ke
makamnya pada akhir pekan. Duduk berlama-lama di pinggir nisannya untuk
bercerita. Ditutup dengan memanjaatkan doa agar ia selalu bahagia di sana.
Ritual yang kulakukan untuk mengobati rinduku pada Raka yang seolah tidak ada habisnya.
Kepergian Raka tidak serta merta membuatku lupa pada kenangan yang ia tinggalkan. Aku masih mengingat dengan jelas malam-malam yang kami habiskan untuk menonton pertandingan sepak bola saat piala dunia di tahun 2010. Siapa jagoan Raka saat itu? Tentu saja Inggris. Aku masih ingat waktu itu Inggris bertemu dengan Jerman di babak 16 besar. Kami membuat taruhan untuk seru-seruan. Karena tidak mungkin berada di kubu yang sama dengan Raka, aku pun otomatis memegang Jerman. Dan aku masih ingat bagaimana wajah kesal Raka ketika Der Panzer membantai Inggris 4-0.
"Isn't it scare you, when time flies and nothing changes?" merupakan sebuah kalimat yang kutemukan dalam novel kesukaanku, Antologi Rasa, dan rasanya kalimat tersebut menggambarkan bagaimana keadaanku saat ini. Perhelatan piala dunia 2014 yang sebentar lagi digelar akan membuat kenanganku bersama Raka semakin lekat dalam ingatan. Aku masih seperti sedang bermimpi. Raka yang dulu selalu ada di sampingku tiba-tiba menghilang begitu saja. Ia tidak bisa lagi kutemui, meskipun aku mencarinya ke seluruh pelosok bumi.
Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya: sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sembuh dari luka yang disebabkan oleh kematian?
***
Sebagai mahasiswi semester lima, yang semua kebutuhan hidup masih bergantung pada orang tua, bagiku keinginan untuk pergi ke Inggris itu hanya sebatas khayalan. Tapi tidak bagi Raka. Pergi ke Inggris, berdiri di Old Trafford, menyaksikan pertandingan Manchester United secara langsung adalah mimpi yang suatu hari akan ia ubah menjadi nyata. Aku tidak heran melihat Raka seobsesi itu. Raka yang kukenal memang sosok berkepala batu. Dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Sayangnya Tuhan menghentikan langkah Raka di usianya yang masih sangat muda.
Dan entah sejak kapan tekad itu ada dalam diriku. Tekad bahwa aku harus
melanjutkan perjuangan Raka untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, bagaimanapun
caranya.
“Kamu percaya kan kalau aku bisa mewujudkan mimpi kamu, mimpi kita, Ka?” sebuah pertanyaan yang kulontarkan ketika ziarah ke makamnya bulan
lalu.
Hening. Tidak ada jawaban.
Tapi kemudian aku seperti mendengar suaranya yang berkata, “Dari
dulu sampe sekarang, kamu adalah orang yang selalu bikin aku bangga. Aku
percaya kamu bisa, sayang.”
Setitik air mata akhirnya luruh. Dadaku tidak kuat
lagi untuk menampung rindu yang menyesakkan. Rindu yang selama
bertahun-tahun harus kutahan.
***
“Good morning, ladies
and gentleman. Welcome abroad Singapore Airlines Flight SQ 322 to Hathrow…”
"7 jam perjalanan yang akan kutempuh ini semoga bisa membuatku
merasakan keberadaannya di sampingku. Semoga saat di Old Trafford aku bisa
merasakan genggaman tangannya seperti dulu. Semoga ketika di London Eye nanti aku
bisa merasakan hangat peluknya kembali." batinku.
Aku mengencangkan safety belt dan pesawat bersiap untuk lepas landas.
KRIIIIIIIIINGG!
Aku membuka mata sesaat setelah menghapus air mata di pipi. Mimpi yang sama untuk ke sekian kalinya. I promise, someday my dream will come true.
*Postingan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi blog yang diadakan oleh Mister Potato. Wish me luck! ;)
Aku mengencangkan safety belt dan pesawat bersiap untuk lepas landas.
***
KRIIIIIIIIINGG!
Aku membuka mata sesaat setelah menghapus air mata di pipi. Mimpi yang sama untuk ke sekian kalinya. I promise, someday my dream will come true.
***
*Postingan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi blog yang diadakan oleh Mister Potato. Wish me luck! ;)
Wah yo iki, jerman inggris kudune menang 40 rb, malah ditinggal mlayu koncoku.. Dan sampek sekarang masih kabuuurr.. Fuuuck..
BalasHapusSorry curcol.. Hahaha