19 Mei 2014

Perjalanan Mencari Jejak yang Hilang

”Pulangnya agak malem gak apa-apa ya? Sekalian nunggu MU main,” kata Raka sesaat kami selesai makan di sebuah warung sate pinggir jalan.

“Trus kita mau ke mana?” sahutku sambil melirik jam di pergelangan tangan yang masih menunjukkan pukul 10 malam.

Jawaban ‘muter-muter dulu aja deh’ dari Raka pada akhirnya berujung di depan pagar kosku. Kami duduk di trotoar di bawah sinar lampu jalan, lalu aku menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Kita nabung yok buat backpacker-an ke Inggris,” ucap Raka tiba-tiba.

“Kenapa kamu mau ke Inggris?” sebenarnya aku sudah bisa menebak apa jawabannya.

“Mau ke Old Trafford, nonton MU secara langsung,” ia tersenyum. Senyum yang membuat matanya menyipit seperti bulan sabit. Raka memang sangat antusias kalau sudah membicarakan klub sepakbola kesayangannya yang satu itu.

“Udah? Itu aja?” tanyaku lagi.

“Alasan kedua, aku pengen ngajak kamu naik keranjang berputar versi Inggris”

Keranjang berputar merupakan istilah yang biasa kupakai untuk menyebut bianglala, istilah buatanku sendiri tentunya. Aku dan Raka sering menghabiskan malam-malam kencan kami ke Batu hanya untuk naik bianglala yang ada di alun-alun kota. Aku sangat suka menikmati pemandangan dari atas sana.

“Ah iya London Eye! Seandainya kita bener-bener bisa ke sana ya Ka..”

“Kita pasti bisa ke sana! Makanya diniatin dari sekarang.” Raka mengacak rambutku sekilas.

“Aku juga pengen sekolah di Inggris. Tapi maunya di Hogwarts supaya jadi juniornya Harry Potter,” lanjutku.

“Ngg.. agak susah kalo kamu maunya Hogwarts. Kamu harus minjem otaknya Hermione dulu,” wajahnya terlihat serius.

Raka sangat menyukai karakter Hermione di film Harry Potter. Menurutnya, Hermione adalah tipikal wanita idaman semua pria di jagad raya. Sudah pintar, baik, cantik pula. Aku hanya mendengus ketika Raka mengatakan hal itu. Cemburu? Big no. Tidak ada alasan untuk cemburu pada tokoh fiksi. Tapi tetep sebel dong kalo pacar memuji perempuan lain.

“Ngejek banget! Otakku sama otaknya Hermione itu 11-12 tau!” Aku mencubit lengan Raka yang sudah tidak bisa lagi menahan tawa.

“Jadi, alasan lainnya apa? Kenapa kita harus pergi ke Inggris?” ia bertanya lagi.

“Hmm.. Kalau aku.. Aku pengen nemenin kamu berdiri di Old Trafford nyanyiin lagu Glory Glory United.” Aku tidak pernah berusaha menyukai apa yang Raka suka. Hanya saja aku selalu suka tinggal di dunia di mana Raka berada.

Can you guess what I got then? Yap, forehead kiss. “Makasih ya,” ucapnya kemudian.

“For what?”

“Everything”

Dan inilah lelakiku, yang selalu mengucapkan ‘terima kasih’, pada hal kecil yang kuucapkan sekalipun.
***

Malam itu mungkin akan menjadi malam terburuk seumur hidupku. Ketika dia bersikeras tidak mau menutup telpon, padahal dia sedang mengendarai sepeda motor. “Jangan ditutup dulu. "Aku masih kangen kamu, masih pengen denger suara kamu,” merupakan kalimat terakhir yang dia ucapkan. Lalu sambungan telpon terputus beberapa detik setelah suara benturan hebat itu terdengar di telingaku.

I do love him. Tapi Tuhan lebih mencintainya.

Tiga tahun setelah kepergian Raka, aku seperti manusia yang hidup tanpa jiwa. Suara benturan yang kudengar di telpon malam itu masih terngiang-ngiang di telinga. Aku masih menduga-duga seperti apa sakit yang ia rasakan. Aku masih berandai-andai, andai saja aku tidak menelponnya, mungkin malam itu Tuhan tidak mengambil Raka dariku.

Tiga tahun setelah kepergian Raka, aku rutin ziarah ke makamnya pada akhir pekan. Duduk berlama-lama di pinggir nisannya untuk bercerita. Ditutup dengan memanjaatkan doa agar ia selalu bahagia di sana. Ritual yang kulakukan untuk mengobati rinduku pada Raka yang seolah tidak ada habisnya.

Kepergian Raka tidak serta merta membuatku lupa pada kenangan yang ia tinggalkan. Aku masih mengingat dengan jelas malam-malam yang kami habiskan untuk menonton pertandingan sepak bola saat piala dunia di tahun 2010. Siapa jagoan Raka saat itu? Tentu saja Inggris. Aku masih ingat waktu itu Inggris bertemu dengan Jerman di babak 16 besar. Kami membuat taruhan untuk seru-seruan. Karena tidak mungkin berada di kubu yang sama dengan Raka, aku pun otomatis memegang Jerman. Dan aku masih ingat bagaimana wajah kesal Raka ketika Der Panzer membantai Inggris 4-0.

"Isn't it scare you, when time flies and nothing changes?" merupakan sebuah kalimat yang kutemukan dalam novel kesukaanku, Antologi Rasa, dan rasanya kalimat tersebut menggambarkan bagaimana keadaanku saat ini. Perhelatan piala dunia 2014 yang sebentar lagi digelar akan membuat kenanganku bersama Raka semakin lekat dalam ingatan. Aku masih seperti sedang bermimpi. Raka yang dulu selalu ada di sampingku tiba-tiba menghilang begitu saja. Ia tidak bisa lagi kutemui, meskipun aku mencarinya ke seluruh pelosok bumi.

Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya: sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk seseorang sembuh dari luka yang disebabkan oleh kematian?

***

Sebagai mahasiswi semester lima, yang semua kebutuhan hidup masih bergantung pada orang tua, bagiku keinginan untuk pergi ke Inggris itu hanya sebatas khayalan. Tapi tidak bagi Raka. Pergi ke Inggris, berdiri di Old Trafford, menyaksikan pertandingan Manchester United secara langsung adalah mimpi yang suatu hari akan ia ubah menjadi nyata. Aku tidak heran melihat Raka seobsesi itu. Raka yang kukenal memang sosok berkepala batu. Dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Sayangnya Tuhan menghentikan langkah Raka di usianya yang masih sangat muda.

Dan entah sejak kapan tekad itu ada dalam diriku. Tekad bahwa aku harus melanjutkan perjuangan Raka untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, bagaimanapun caranya.

“Kamu percaya kan kalau aku bisa mewujudkan mimpi kamu, mimpi kita, Ka?” sebuah pertanyaan yang kulontarkan ketika ziarah ke makamnya bulan lalu.

Hening. Tidak ada jawaban. 

Tapi kemudian aku seperti mendengar suaranya yang berkata, “Dari dulu sampe sekarang, kamu adalah orang yang selalu bikin aku bangga. Aku percaya kamu bisa, sayang.”

Setitik air mata akhirnya luruh. Dadaku tidak kuat lagi untuk menampung rindu yang menyesakkan. Rindu yang selama bertahun-tahun harus kutahan.

***

“Good morning, ladies and gentleman. Welcome abroad Singapore Airlines Flight SQ 322 to Hathrow…”

"7 jam perjalanan yang akan kutempuh ini semoga bisa membuatku merasakan keberadaannya di sampingku. Semoga saat di Old Trafford aku bisa merasakan genggaman tangannya seperti dulu. Semoga ketika di London Eye nanti aku bisa merasakan hangat peluknya kembali." batinku.

Aku mengencangkan safety belt dan pesawat bersiap untuk lepas landas.

***

KRIIIIIIIIINGG!

Aku membuka mata sesaat setelah menghapus air mata di pipi. Mimpi yang sama untuk ke sekian kalinya. I promise, someday my dream will come true.

***


*Postingan ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi blog yang diadakan oleh Mister Potato. Wish me luck! ;) 

1 komentar:

  1. Wah yo iki, jerman inggris kudune menang 40 rb, malah ditinggal mlayu koncoku.. Dan sampek sekarang masih kabuuurr.. Fuuuck..

    Sorry curcol.. Hahaha

    BalasHapus

Leave your comment here :D