19 Mei 2013

Perempuan dan Dilema Pendidikan


Dilema mahasiswa semester tua, dimana pertanyaan “mau kemana setelah lulus?” menggema setiap harinya.

Minggu lalu ketika saya pulang, Uni yang di Padang menelpon. Awalnya memang hanya bertanya kabar, tapi lama – lama nyerempet ke masalah “mau kemana setelah lulus?”. Pertanyaan yang saya sendiri belum tau jawabannya.

“pengen ngelanjutin S2, Ni”, saya jawab asal aja. Karena Uni itu dosen, saya pikir beliau akan mendukung kalau adiknya ini melanjutkan sekolah

Tapi ternyata, tanggapan Uni diluar dugaan saya.

“Jangan ngelanjutin sekolah dulu. Nikah dulu, setelah itu kalo mau sekolah kemana aja silahkan”

JEDAAAAAARRR. Kepala saya kayak dipukul pagoda raksasa. Oke, stop, ini lebay.

 Saya speechless. Uni menjelaskan panjang lebar tentang alasan kenapa menikah lebih diutamakan daripada melanjutkan sekolah. Bahkan sampe bawa sunnah Rasul segala. Rasanya waktu itu saya pengen teriak, “NGELANJUTIN SEKOLAH BUKAN BERARTI GAK NIKAH JUGA, NIII…!”.

Kemudian dari semua penjelasan tersebut, saya menyimpulkan alasan utamanya adalah karena saya perempuan. Dan mitos yang mengatakan kalau perempuan yang sekolahnya terlalu tinggi bakal susah dapet jodoh.


Miris dengan pemikiran – pemikiran tentang perempuan gak perlu sekolah tinggi – tinggi karena ujung – ujungnya bakal jadi ibu rumah tangga juga. Perempuan katanya cuma harus bisa 3M (Macak, Masak, Manak), gak sekolah tinggi juga gak apa – apa.

Ini mungkin karena budaya yang ada di masyarakat kita.

Para orang tua menyekolahkan anak setinggi – tingginya dengan tujuan supaya nanti bisa mendapat pekerjaan yang mapan. Coba deh dipikir lagi. Apa sekolah emang cuma buat nyari kerja? Bukannya yang bener itu sekolah buat nyari ilmu ya? Tapi di masyarakat kita, urusan perut memang diatas segalanya. Sekolah mahal – mahal, dapet ilmu tapi gak dapet kerjaan, pasti dicaci maki.

Kemudian, beberapa hari yang lalu saya menemukan artikel menarik, yang membahas tentang perempuan, pernikahan, dan pendidikan.

Ada kalimat yang mengatakan bahwa konon katanya laki - laki itu minder dengan perempuan bergelar banyak.

Laki – laki adalah makhluk yang egonya paling tinggi dan mengedepankan harga diri. Saya tidak menyalahkan laki – laki ya… tapi semua ini kembali pada budaya yang ada di masyarakat kita.

Ada mindset (yang entah darimana asalnya), laki – laki harus selalu satu level lebih tinggi daripada perempuan, dalam semua bidang. Mulai dari pendidikan, status sosial, status ekonomi, pokoknya semuanya.

Pasangan yang dianggap ideal dan seimbang adalah ketika yang laki – laki pendidikannya lebih tinggi daripada perempuan, ketika pekerjaan yang laki – laki lebih mapan daripada yang perempuan, ketika status sosial keluarga yang laki – laki lebih tinggi daripada status sosial keluarga yang perempuan.

Dan seandainya kedudukannya terbalik, misalnya pendidikan perempuan yang lebih tinggi, hal ini akan menjadi ancaman tersendiri bagi laki – laki. Akibatnya muncul pernyataan di artikel tadi, bahwa laki – laki itu minder dengan perempuan bergelar banyak.

Pola pikir seperti ini berdampak buruk pada kedua belah pihak, baik laki – laki atau perempuan.

Kasihan laki – laki karena beban hidupnya jadi lebih berat. Karena setelah berkeluarga nanti, semua tanggung jawab (terutama financial) ada dipundaknya. Semua kebutuhan istri dan anak sebisa mungkin harus dipenuhi. Mau ngumpulin berapa ratus juta buat beli rumah, kendaraan, biaya sekolah anak - anak, kebutuhan rumah tangga dan perintilan lainnya?

Kasihan juga sama perempuan karena segala sesuatunya dibatasi. Mulai dari pendidikan hingga pekerjaan. Jangan sampai lebih tinggi karena akan dianggap melukai harga diri laki – laki.

Kembali lagi ke masalah pendidikan.

Ya, saya miris kalau perempuan gak boleh sekolah cuma supaya laki – laki yang mau melamar gak mundur bubar jalan.

Saya jadi mikir, ini pada gak mau punya anak yang pinter apa ya? FYI, kecerdasan anak itu diturunkan dari ibunya lho.. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak – anaknya. Jadi, boys, kalo mau cari istri itu cari yang pinter supaya bisa ngasih edukasi yang baik buat anak – anak nantinya.

Dan kalo gak mau minder (karena terperangkap dalam budaya), ya berarti para kaum adam emang harus berusaha keras lagi memperbaiki diri. Sekolah setinggi mungkin, punya pekerjaan semapan mungkin, dan jadi laki – laki sehebat mungkin.

Hari ini udah banyak perempuan yang larinya “cepat”. Laki – laki harus bisa berlari “jauh lebih cepat”. Karena jadinya gak adil kalau para perempuan yang dipaksa “mengurangi kecepatan” dengan jalan memutus pendidikan.

PS: Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapapun. Kurang lebihnya mohon maaf :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comment here :D