“Aneh, bagaimana bisa
seseorang yang sudah tahunan kita kenal, hampir setiap hari bertatapan wajah
dengan kita, tiba-tiba berubah menjadi sosok baru yang membuat hati bergetar? kenapa
sekarang? Kenapa tidak setahun yang lalu, atau bahkan ketika aku pertama kali
kenal dengannya?”, - Perkara Bulu Mata (Salah satu cerpen dalam Autumn Once
More)
Beberapa waktu belakangan ini, beberapa sudut
tempat seolah punya kenangan tersendiri untukku. Dua tempat yang sering
membangkitkan beberapa ingatan adalah pagar di depan kosan dan pertigaan dekat
kosan.
Ada rasa sesak tiap kali aku melewati dua
tempat tersebut. Karena hal – hal yang dulunya pernah terjadi dan aku
menganggapnya biasa saja, sekarang menjadi kenangan yang sering ku putar ulang
dalam labirin memori sambil membatin ‘it was
kind of sweet moment ever’. Tidak bisa ku pungkiri bahwa ada penyesalan dalam
hati. Selama ini aku punya banyak waktu bersama Raka dan aku tidak menggunakannya sebaik
mungkin. Bodoh.
Pagar depan kosan adalah tempat biasanya Raka
menungguku. Entah untuk menjemput atau meminjam sesuatu. Tidak hanya itu, obrolan
singkatpun sering terjadi di sana. Di bawah langit senja dengan pendar orange-nya yang merona, Raka selalu bisa
membuatku tertawa.
Pagar yang menjadi saksi bisu saat Raka
mengantarku pulang. ‘Terima kasih dan hati – hati’ menjadi kalimat perpisahan yang
ku ucapkan padanya. Dan aku yang tetap berdiri melihat punggung itu menghilang
dibalik belokan.
Perempatan di depan kosan itu juga pernah
menjadi tempat dimana Raka menungguku. Jadi waktu itu jalan depan kos ditutup
karena ada ‘mantenan’. Raka
menungguku lumayan jauh dan lumayan lama di pertigaan. Dan Raka tertawa mendengar ceritaku tentang bagaimana berisiknya speaker yang berdiri tepat di depan pagar
kos dan memutar lagu dangdut sepanjang hari itu.
…
Beberapa waktu belakangan ini aku menyadari
bahwa aku mulai canggung tiap kali berada di dekat Raka. Aku merasa menjadi
orang yang berbeda. Maksudnya canggung disini bukanlah perasaan tidak nyaman,
melainkan lebih mengarah pada bagaimana tiba – tiba degup jantungku tidak lagi
beraturan tiap kali berada di dekat Raka. Iramanya kacau berantakan.
Aku masih ingat malam itu, saat aku tidak tau kalau
Raka sedang berdiri di belakangku. Tiba-tiba aku memutar tubuh, aku hampir saja
menabraknya. Aku dan Raka berdiri berhadapan dengan jarak yang terlalu dekat. Saat
itu aku baru sadar bahwa Raka jauh lebih tinggi dariku, bahwa kepalaku
hanya sebatas bahunya.
Setiap kali berbicara dengan Raka, aku juga
selalu melihat jauh ke dalam dua matanya. Berusaha mencari tau apa yang menarik
dari seorang Raka hingga aku bisa menyukainya. Ah iya, senyumnya. Kedua bola
mata itu menyipit seperti bulan sabit setiap kali ia tersenyum. Bagiku, senyum
dan tawa Raka selalu tulus dan penuh dengan kejujuran.
Pantas saja aku menyukai Raka bukan sejak
pandangan pertama, melainkan setelah beberapa lama, karena Raka adalah kategori
yang tidak akan memberi senyumnya pada sembarang orang, terlebih pada yang baru
dikenal.
Senyumnya bukan satu-satunya yang menjadi alasan.
Karakternya, kepribadiannya, ketegasannya, semuanya aku suka. Memang tidak
berguna jika mendaftar satu-persatu alasan yang membuatku menyukai Raka, karena pasti
aku hanya akan bercerita dari segi yang baik – baik saja.
Sepenuhnya aku pun sadar, bahwa Raka bukan dewa.
Dia juga punya segudang kelakuan menyebalkan, yang cukup untuk membuatku
menghela nafas panjang serta melatih kesabaran.
...
For God’s Sake, I like
him too much. I’m madly in love. Dan sayangnya aku masih belum bisa memutuskan apa perasaan ini harus
diperjuangkan atau sebaiknya dilupakan? Apa
perasaan ini hadir disaat yang tepat atau mungkin aku sudah terlambat? Seems like many things
that I have to think,
karena aku tidak ingin hidup dalam penyesalan di masa depan.
Seandainya dalam hidup ini kita tidak perlu membuat keputusan sendiri. Seandainya setiap manusia memiliki catatan masing - masing tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan. Seandainya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D