DIPIKIR DULU AJA, GARAPNYA GAK TAU KAPAN. HAHAHA. pic source |
Di sebuah pagi yang biasa aja indah, aku sudah
menginjakkan kaki di lantai 2 gedung A FISIP. Berdiri dan mengintip dari balik
pintu. Seseorang yang kucari ternyata sudah berada di dalam ruangan, sedang membaca
buku dengan serius. Iya, beliau adalah dosen pembimbing 1 skripsiku.
Aku mengetuk pintu dan langsung menuju ke meja beliau.
“Permisi pak, saya mau minta tanda tangan Bapak untuk surat tugas pembimbing skripsi,” kataku to the point.
“Oh ya? Coba saya lihat dulu,” jawab beliau.
Aku pun menyerahkan form persetujuan pembimbing skripsi
beserta outline yang sudah kukerjakan asal-asalan dua bulan
sebelumnya. Kemudian beliau membaca judul skripsiku, dengan wajah yang datar,
dan sedikit agak lama, yang membuat perutku mendadak mulas.
“Si bapak kok lama banget ya baca judulnya?” batinku.
“Jadi, kenapa kamu memakai Analisis Wacana Kritis?” suara si
Bapak tiba-tiba memecah keheningan.
Aku menahan napas beberapa detik. Well, ini pertanyaan dasar
yang harusnya aku tau jawabannya. Tapi sayangnya, aku tidak tau. Lebih tepatnya
belum mencari tau.
Ternyata apa yang terjadi pagi ini di luar prediksi. Aku
pikir tidak ada acara tanya jawab, aku pikir beliau akan langsung memberiku
tanda tangan dan kemudian berpesan “nanti kalau mau konsul, sms dulu ya,”
seperti dosen-dosen lainnya. Tapi ternyata apa yang beliau katakan saat itu
membuatku ingin segera mencari…..baygon.
Aku terdiam a.k.a tidak bisa menjawab.
“Sebenarnya analisis wacana kritis itu apa sih?” lanjut si
Bapak sambil membolak-balik outlineku.
Another question
yang benar-benar membuatku skak mat. Ibaratnya aku sedang berperang tapi tidak
membawa peluru. Ini kebodohan pertama yang kulakukan di awal tahun.
“Hmm yang sempet saya baca Pak, analisi wacana kritis itu
dasarnya mengkritisi…. (sumpah ini jawabanku sotoy be ge te!)” aku mencoba menjawab ngawur, supaya gak keliatan bego-bego banget. Gitu.
“Iya.. terus?” si bapak mendengarkan sambil membaca outline skripsiku.
“Jadi, ketika terjadi sebuah fenomena, pasti akan ada
dua pihak yang merasakan efek dari fenomena tersebut. Ada yang pro, ada yang
kontra. Ada yang kuat, ada yang lemah. Ada yang diuntungkan, ada yang dirugikan. Akan
selalu muncul dua kubu yang bertolak belakang. Contohnya, ketika sebuah film
mengangkat wacana feminism, maka wacana tersebut akan membentuk dua kubu, yang
pro dan kontra, siapa yang mendominasi siapa. Jadi melalui analisis wacana
kritis, kita menganalisis bagaimana wacana feminism itu ditunjukkan di dalam
film hingga akhirnya membentuk dua kubu tersebut,” Aku berbicara apapun yang
waktu itu terlintas di kepalaku, yang pada akhirnya aku sadari bahwa jawabanku
sangat absurd.
“Nah iya, jadi analisis wacana kritis itu apa?” Si bapak
masih mempertanyakan hal yang sama.
Ternyata penjelasanku yang panjang lebar lebar tadi sama
sekali tidak menjawab pertanyaan. Rasanya setelah baygon, aku juga membutuhkan
tali tambang.
Kemudian aku menundukkan kepala dan bergumam lirih, “Ngggg..
belum belajar Pak,”
“Lah, masak gak tau? Kamu harus bertanggung jawab sama apa
yang kamu tulis dong,” si Bapak masih membaca outlineku.
Aku berharap ditelan bumi saat itu juga. Alih-alih menjawab
pertanyaan si Bapak, aku malah memainkan tali tas. Si bapak memberiku waktu
untuk berpikir. Sementara itu, beliau berjalan ke pojok ruangan untuk membuat
kopi.
Mau dikasih waktu dua abad pun, aku gak akan tau jawabannya
karena aku belum baca apapun yang berhubungan dengan analisis wacana kritis.
Bagaimana outline yang sudah kubuat? Oh, tentu saja aku lupa apa isinya.
Si bapak kembali ke kursinya. Aku masih diam seribu bahasa.
“Kamu semester berapa?”
“Semester 7, Pak”
“Udah ngambil MPK (baca: Metode Penelitian Komunikasi), kan?”
“Udah Pak”
“Nah, masak udah dapat MPK gak bisa jawab”
“…”
Anyway, MPK itu
mata kuliah yang kuambil waktu semester 4. Apa yang bisa kuingat dari materi
kuliah satu setengah tahun yang lalu?
"Kalau tokoh-tokohnya kamu tau siapa aja?"
Aku pikir si Bapak lagi bercanda. Mana mungkin aku tau siapa nama tokohnya kalau menjelaskan definisinya saja berantakan? Apa aku tampak begitu jenius? Apa beliau tidak bisa mendeteksi ekspresi wajah pasrahku ini?
“Ya udah kamu belajar dulu. Baca-baca dulu. Saya gak mau tanda tangan kalau kamu gak bisa jawab,” beliau memberikan ultimatum.
“Ya udah kamu belajar dulu. Baca-baca dulu. Saya gak mau tanda tangan kalau kamu gak bisa jawab,” beliau memberikan ultimatum.
“Iya pak. Kapan saya bisa menemui bapak lagi?” tanyaku.
“Hari jumat ya,”
“Jam berapa kira-kira, Pak?” tanyaku lagi.
“InsyaAllah pagi. Telpon dulu aja,” kata si Bapak lagi.
Aku pun keluar dari ruang dosen dengan nyawa tinggal
seperempat.
***
Hampir sebulan setelah peristiwa perang tanpa peluru
tersebut, aku belum menemui beliau lagi
Kenapa?
Karena aku tidak menemukan jawaban kenapa aku harus menggunakan
Analisis Wacana Kritis pada masalah yang ingin kuangkat dalam skripsi. Karena
setelah kupikir-pikir lagi, masalah yang kuangkat terlalu mengada-ada. Karena
setelah kurenungkan berulang-ulang, aku bukan menemukan masalah, tapi sengaja
membuat masalah.
*mamam lacun*
Setelah laporan magang menjadi legenda dan say good bye dengan segala keruwetannya,
aku pengen rehat sebentar. Masih pengen mengistirahatkan otak. Masih pengen refreshing. Masih pengen liburan. Masih
pengen nonton konsernya CNBLUE dulu di NY. Iya, yang terakhir emang cuma mimpi.
Setelah keluar dari kandang harimau, kenapa harus masuk
kandang singa? Apa gak bisa maen-maen dulu di taman bunga? Argghh… skrip-shit-sweet
benar-benar menambah 78 persen beban kehidupan mahasiswa.
Semangat. semoga kita lulus secepatnya..
BalasHapusAmin ya robbal'alamin. SEMANGAT! :D
BalasHapus