Gambar dipinjam di sini. Terima kasih. |
Entah kapan dan di mana tepatnya saya membaca kalimat di atas, tetapi kalimat itu kemudian mengingatkan saya pada sepotong lirik lagu anak-anak yang berbunyi "mawar melati semuanya indah". Ehm, mungkin ada benarnya teori "mawar melati semuanya indah" ini. Sama seperti salah satu lagu Lady Gaga yang berjudul Beautiful in My Way.
Tapi, sepertinya teori cantik mawar melati itu tetap tetap tidak berguna jika setiap orang punya definisi cantik sendiri-sendiri. Hal ini tentu tidak hanya berlaku pada konsep "cantik" saja. IMO, semua "kata sifat" itu tidak punya parameter. Semua "kata sifat" itu relatif. Semua "kata sifat" itu tergantung selera.
Tapi, kalau diperhatikan lagi, cantik itu (biasanya) selalu diidentikkan dengan kulit putih. Di TV ataupun majalah (hampir) semua modelnya berkulit putih. Kenapa? Yak, tepat sekali! Semua karena konstruksi realitas sosial (teman-teman jurusan komunikasi atau sosiologi pasti tidak asing dengan konsep ini).
Apa itu konstruksi realitas sosial?
Konstruksi realitas sosial berasal dari konsep "pengetahuan" dan "realitas". Pengetahuan kita membentuk sebuah realitas yang kita percaya benar adanya. Jika setiap dari kita memiliki pengetahuan (latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi) yang berbeda, maka setiap dari kita juga pasti memiliki "realitas" yang berbeda. Benar menurut si A, belum tentu benar juga menurut si B, dan si C pasti memiliki versi kebenaran yang berbeda pula.
Artinya, realitas sifatnya selalu subjektif. Realitas tidak dapat bersifat objektif. Namun, "konstruksi realitas sosial" memaksakan realitas yang seharusnya bersifat subjektif ini menjadi sesuatu yang objektif.
Konstruksi realitas sosial biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan penggiringan opini. Tujuannya agar semua orang memiliki "realitas" yang sama. Misalnya, konsep tentang "cantik itu putih", "perempuan itu harus feminin", "laki-laki itu harus maskulin", merupakan beberapa konstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat kita, karena (hampir) semua orang meng-amini-nya.
Akhirnya, konstruksi realitas sosial menyebabkan sesuatu yang awalnya bersifat relatif berubah menjadi sesuatu yang mutlak, karena semua orang (dianggap) berpendapat sama. Di sini suara minoritas ditenggelamkan oleh suara mayoritas. Konstruksi realitas sosial menanamkan pemahaman atau pola pikir kepada masyarakat tentang apa yang benar, bagaimana sesuatu seharusnya terjadi, dan bagaimana sesuatu seharusnya berjalan.
Tapi, kalau diperhatikan lagi, cantik itu (biasanya) selalu diidentikkan dengan kulit putih. Di TV ataupun majalah (hampir) semua modelnya berkulit putih. Kenapa? Yak, tepat sekali! Semua karena konstruksi realitas sosial (teman-teman jurusan komunikasi atau sosiologi pasti tidak asing dengan konsep ini).
Apa itu konstruksi realitas sosial?
Konstruksi realitas sosial berasal dari konsep "pengetahuan" dan "realitas". Pengetahuan kita membentuk sebuah realitas yang kita percaya benar adanya. Jika setiap dari kita memiliki pengetahuan (latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi) yang berbeda, maka setiap dari kita juga pasti memiliki "realitas" yang berbeda. Benar menurut si A, belum tentu benar juga menurut si B, dan si C pasti memiliki versi kebenaran yang berbeda pula.
Artinya, realitas sifatnya selalu subjektif. Realitas tidak dapat bersifat objektif. Namun, "konstruksi realitas sosial" memaksakan realitas yang seharusnya bersifat subjektif ini menjadi sesuatu yang objektif.
Konstruksi realitas sosial biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan penggiringan opini. Tujuannya agar semua orang memiliki "realitas" yang sama. Misalnya, konsep tentang "cantik itu putih", "perempuan itu harus feminin", "laki-laki itu harus maskulin", merupakan beberapa konstruksi realitas sosial yang ada di masyarakat kita, karena (hampir) semua orang meng-amini-nya.
Akhirnya, konstruksi realitas sosial menyebabkan sesuatu yang awalnya bersifat relatif berubah menjadi sesuatu yang mutlak, karena semua orang (dianggap) berpendapat sama. Di sini suara minoritas ditenggelamkan oleh suara mayoritas. Konstruksi realitas sosial menanamkan pemahaman atau pola pikir kepada masyarakat tentang apa yang benar, bagaimana sesuatu seharusnya terjadi, dan bagaimana sesuatu seharusnya berjalan.
Di dalam salah satu buku yang ditulisnya, Ayu Utami sempat mengatakan, "Konstruksi sosial makin lama makin ngaco!". Uhm, tapi kalau dipikir-pikir emang bener sih. Gimana nggak, kita sekarang sedang terkungkung dalam konstruksi-konstruksi sosial yang semakin tidak jelas asal usulnya.
Contoh pertama, anak IPA yang katanya lebih pintar daripada anak IPS. Saya sendiri sebenarnya juga heran, kenapa anak yang pintar hitung-hitungan lebih diunggulkan dan anak yang tidak bisa hitung-hitungan dianggap bodoh dalam segala hal? Membandingkan anak IPA dengan anak IPS merupakan sesuatu yang konyol karena keduanya jelas punya ranah ilmu yang berbeda. Jadi, akan sangat tidak adil kalau "pintar" didefinisikan sebagai mereka yang pintar hitung-hitungan seperti anak-anak IPA. Huft.
Contoh kedua, di masyarakat kita sepertinya memang ada sejenis kesepakatan (yang tidak jelas dari mana asalnya), tentang "perempuan berusia xx (silahkan angkanya diisi sendiri) itu sudah harus menikah". Kemudian bagi mereka yang usianya melebihi angka tersebut dan belum juga menikah, pasti si perempuan ini sudah menjadi bahan pembicaraan. Mulai dari dikatain "jelek", "gak laku", "jual mahal", "pendidikan terlalu tinggi" (oh men, jadi mending gak sekolah aja biar cepet laku gitu?), dan judgement lain-lain yang makin ngaco. Intinya, mindset tentang "perempuan harus menikah di umur sekian, atau kalau mereka belum juga menikah di umur segitu artinya mereka begini atau begitu", harus benar-benar dihilangkan! Huft (lagi).
Contoh ketiga, ucapan "kamu harus jadi contoh untuk adik-adikmu" yang sering dilontarkan kepada anak sulung. Ini saya baca di sebuah novel berjudul "Sabtu Bersama Bapak". Salah satu kalimatnya kurang lebih berbunyi: "Seorang anak, tidak wajib menjadi baik dan pintar hanya karena dia sulung. Nanti yang sulung benci sama takdirnya dan si bungsu tidak belajar tanggung jawab dengan cara yang sama", dan saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut.
Jujur saja, saya kadang kasihan pada para anak sulung yang sebenarnya tidak pernah meminta untuk dilahirkan pertama, tapi diberi beban untuk menjadi lebih baik dalam segala hal dan punya tanggung jawab yang lebih besar. Adakalanya ketika si sulung diberi beban "harus memberi contoh yang baik kepada adik", maka yang terjadi adalah sebaliknya. Karena apa? Karena beban itu akan membuat ia kelelahan. Sebaliknya, saya juga kasihan pada nasib anak bungsu yang kadang suaranya tidak didengarkan atau keberadaannya tidak dipertimbangkan. Karena apa? karena anak bungsu dianggap sebagai kasta terendah dalam keluarga yang "harusnya" manut-manut aja.
Sulung ataupun bungsu hanya istilah yang menandai siapa yang lahir duluan kan? Jadi, sulung atau bungsun tidak ada hubungannya dengan "harus menjadi contoh", "harus lebih pintar", "harus lebih baik", dan harus-harus lainnya kan? Jadi, semua anak harusnya punya hak dan kewajiban yang sama kan? Huft (lagi) (lagi).
Baiklah, sekian penjelasan tentang apa itu kontruksi realitas sosial. Mari kita kembali lagi ke topik utama tentang konsep "cantik" tadi.
Beberapa waktu yang lalu, saya dengan salah satu teman sempat membuka IG teman-teman perempuan lainnya yang seluruhnya menurut kami memiliki definisi "cantik" yang berbeda. Ada yang cantik karena paduan dari aksesoris yang digunakan, ada yang cantik karena kegiatan sosial yang dilakukan, ada yang cantik karena aktivitas jelajah alam, ada yang cantik karena seragam yang dikenakan, ada yang cantik karena tanggung jawab yang diemban, dan masih banyak lagi perempuan-perempuan lain yang cantik dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Hal-hal yang tidak hanya sebatas pada warna, bentuk, ataupun ukuran.
Akhir kata, mari belajar membuka pikiran seluas-luasnya, karena sudut pandang kita dalam melihat sesuatu akan menentukan cara kita melihat dunia. \(^o^)/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D