Aku terpaku di pintu gerbang itu. Gerbang yang dulu aku lewati setiap hari. Gerbang yang menjadi saksi bisu sebuah perpisahan dan berakhirnya sebuah cerita.
Tidak banyak yang berubah dari sekolah ini. Hanya dindingnya saja yang sudah berganti warna. Selain itu, setiap sudutnya masih tampak sama seperti 2 tahun yang lalu. Aku berjalan perlahan melewati pintu gerbang. Disebelah kanan masih ada pos satpam yang dulu menjadi hunian penjaga sekolah yang sangat baik hati, yang bersedia membukakan pagar untuk siswa-siswa yang terlambat. Salah satu siswa itu adalah aku. Ya, dulu aku memang sering terlambat, hampir setiap hari malah. Aku tersenyum simpul mengingat masa-masa itu. Aku melangkahkan kakiku lagi berjalan masuk ke dalam gedung “mantan” SMAku itu.
Aku sampai di depan lapangan serbaguna. Sebuah lapangan yang fleksibel, bisa berubah fungsi setiap saat tergantung kebutuhan. Bisa jadi lapangan upacara, bisa jadi lapangan basket, bisa jadi lapangan futsal, bisa jadi lapangan untuk pensi, dan masih banyak lagi fungsi lainnya. Itulah sebabnya mengapa lapangan ini disebut lapangan serbaguna.
Banyak kenangan yang aku tinggalkan di sekolah ini. Selain teman-teman, sahabat karib, guru-guru, ada satu orang lagi yang selalu dan masih aku ingat sampai detik ini. Seseorang yang menjadi salah satu bagian dari kenangan masa SMAku. Seseorang yang selama 3 tahun, entah kebetulan atau tidak, kelasnya selalu bersebelahan dengan kelasku. Seseorang yang sekedar aku tau namanya tanpa sempat aku mengenalnya. Seseorang yang selalu mengawasi gerak gerikku dari kejauhan. Seseorang yang selalu memandangku dengan tatapan seolah dia mengenalku dengan sangat baik. Seseorang yang awalnya tak pernah ku sadari keberadaannya, hingga suatu hari sahabatku, Luna, berkata “Kayaknya dia daritadi ngeliatin kamu terus..”
***