Aku masih menunggu tukang pos datang. Dari pagi hingga petang. Aku
senantiasa mengintip dari balik jendela. Berharap seorang pria paruh baya
berseragam orange akan datang membawakanku sepucuk surat di tangan. Namun
hingga matahari tenggelam yang kutunggu tak juga tiba. Ah, mungkin besok,
begitu batinku menghibur diri. Menelan pahit kecewa karena harus menanti lebih
lama.
Esok harinya, aku melakukan ritual serupa. Aku masih menunggu tukang pos datang. Dari pagi hingga petang. Aku senantiasa mengintip dari balik jendela. Berharap seorang pria paruh baya berseragam orange akan datang membawakanku sepucuk surat di tangan. Namun hingga matahari tenggelam yang kutunggu tak juga tiba. Mungkin kau baru sempat menulis surat balasan untukku hari ini, itulah caraku menyemangati diri sendiri. Tak kubiarkan sedikitpun keraguan datang menghadang.
Esok harinya, aku masih melakukan ritual yang serupa. Bahkan hingga ke hari ke dua puluh dua.
Aku mulai bosan menunggu. Aku mulai hilang akal, tentang apa yang sekiranya dapat menjadi alasan paling logis mengapa aku tidak juga menerima surat balasan darimu.
Di hari ke empat puluh lima, akhirnya aku putus asa. Tak mampu lagi ku bendung rasa kecewa. Semua janji yang kau ucapkan ternyata hanya bualan. Aku mengutuk kebodohanku sendiri yang dengan setia menunggu surat balasan untuk sekian lama. Surat yang mungkin sekalipun tidak pernah kau tuliskan.
Esok harinya, aku melakukan ritual serupa. Aku masih menunggu tukang pos datang. Dari pagi hingga petang. Aku senantiasa mengintip dari balik jendela. Berharap seorang pria paruh baya berseragam orange akan datang membawakanku sepucuk surat di tangan. Namun hingga matahari tenggelam yang kutunggu tak juga tiba. Mungkin kau baru sempat menulis surat balasan untukku hari ini, itulah caraku menyemangati diri sendiri. Tak kubiarkan sedikitpun keraguan datang menghadang.
Esok harinya, aku masih melakukan ritual yang serupa. Bahkan hingga ke hari ke dua puluh dua.
Aku mulai bosan menunggu. Aku mulai hilang akal, tentang apa yang sekiranya dapat menjadi alasan paling logis mengapa aku tidak juga menerima surat balasan darimu.
Di hari ke empat puluh lima, akhirnya aku putus asa. Tak mampu lagi ku bendung rasa kecewa. Semua janji yang kau ucapkan ternyata hanya bualan. Aku mengutuk kebodohanku sendiri yang dengan setia menunggu surat balasan untuk sekian lama. Surat yang mungkin sekalipun tidak pernah kau tuliskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D