“Kenapa bilang makasih?”
“Karena menurutku sunset itu hadiah.”
“Kenapa?”
“Tiap kali melihat sunset, aku seperti mendengar ada yang berkata, "Selamat, kamu sudah melakukan yang terbaik untuk hari ini, dan sunset adalah hadiah untukmu.”
***
Aku tersenyum mendengar apa yang ia katakan saat itu. Saat aku mengajaknya melihat sunset dari atas bukit di belakang rumah kami, di mana kiri dan kanan jalan setapak yang kami lewati tumbuh ilalang-ilalang tinggi.
Semburat jingga yang dipancarkan oleh senja kala itu menemani langkah kakiku dan dia. Menjadi saksi dari jari-jari kami yang saling menggenggam. Erat.
Banyak hal yang kami bicarakan selama perjalanan. Mulai dari yang tidak penting untuk diperdebatkan, seperti kenapa senja itu berwarna jingga, sampai dengan bercerita tentang mimpi.
“Kamu tau, mimpi itu harusnya seperti senja. Jadi, kalau hari ini ada mimpi kita yang terbenam, harusnya kita bisa memastikan mimpi itu terbit lagi esok hari.” Jelasnya.
“Bagaimana kalau mimpi itu terbenam untuk selamanya?” tanyaku.
“Berarti gak akan ada yang namanya kehidupan. Untuk selamanya.” Jawabnya singkat.
“Tapi mimpiku hidup di orang-orang yang ada di sekitarku, termasuk kamu.”
“Kalau suatu hari orang-orang di sekitarmu, termasuk aku, tiba-tiba menghilang.. artinya mimpimu juga ikut menghilang. Ujung-ujungnya tetap gak ada kehidupan kan?”
Aku terdiam mendengar apa yang dia katakan.
“Aku pengen ngeliat kamu nulis lagi. Aku pengen jadi orang pertama yang baca tulisan-tulisan kamu kayak dulu.” Tambahnya.
***
Aku dan dia melangkah pelan membelah bukit. Senja di hadapan kami memendarkan warna jingganya yang begitu cantik. Saat itu yang kuinginkan hanya satu: waktu yang tidak terlalu cepat berlalu.
Aku berharap matahari sore itu bergerak pelan, seiring dengan langkah kaki kami. Lebih dari itu, aku ingin waktu berhenti sebentar saja.
Aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Never thought that he’ll ease my pain and be someone that I love. Surely, he’s a miracle in my life.
“Aku pengen ngeliat kamu nulis lagi. Aku pengen jadi orang pertama yang baca tulisan-tulisan kamu kayak dulu.” Aku menatapnya.
“Sulit buat aku menulis di lingkunganku yang sekarang.” Ia tersenyum samar.
Aku melakukannya lagi. Memintanya untuk menulis
Aku mengenggam jarinya lebih erat, kemudian menepuk-nepuk lengannya pelan dengan tangan kiriku yang sedari tadi bergerak bebas. Aku tidak pernah tau apa yang harus kulakukan untuk membuatnya nyaman.
“Nyanyi yok.” Ujarnya. Kemudian ia menyenandungkan sebuah lagu milik Slank dengan suara beratnya itu.
Cinta kita takkan terbelah, walau banyak cerita-cerita, yang gak mengasyikkan…
***
Di ujung jalan setapak yang sejak tadi kami lalui, akhirnya
aku menarik lengannya untuk duduk di sampingku, di atas rerumputan rendah.
“Cinta kita takkan terpisah, walau penuh kisah dan kisah,
yang coba tuk menghancurkan kita..” Ia ikut menyanyikan lagu yang tadi kunyanyikan.
Ini senja terindah yang pernah kulihat. Selain
karena seharian ini langit tampak ceria, mungkin senja kali ini menjadi lebih
indah dari biasanya karena keberadaannya. Sigh, gadis ini berhasil membuatku tampak seperti lelaki melankolis penggemar lagu-lagu Kerispatih.
Lalu apa yang harus kulakukan? Denial pada diri sendiri itu
tidak mudah, kawan. Ia benar-benar membuatku candu. Hanya ini yang kutau.
“Kenapa kamu suka sunset?” tiba-tiba ia bertanya.
“Karena…sunset itu perpisahan terindah.” Bibirnya membentuk sebuah lengkung saat mendengar jawabanku.
Hari semakin gelap. Pendar jingga perlahan lenyap. Aku dan dia berdiri, berjalan kembali melewati jalan setapak yang ditumbuhi ilalang tinggi di kanan dan kiri. Namun kali ini tidak ada pembicaraan apa-apa di antara kami. Tampaknya dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Karena…sunset itu perpisahan terindah.” Bibirnya membentuk sebuah lengkung saat mendengar jawabanku.
***
Hari semakin gelap. Pendar jingga perlahan lenyap. Aku dan dia berdiri, berjalan kembali melewati jalan setapak yang ditumbuhi ilalang tinggi di kanan dan kiri. Namun kali ini tidak ada pembicaraan apa-apa di antara kami. Tampaknya dia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ralat, tampaknya kami sedang sibuk dengan pikiran kami sendiri.
Yang tidak berubah hanyalah jari kami yang masih bertautan seperti tadi.
“Makasih untuk hadiah hari ini.” Akhirnya aku membuatnya menoleh padaku.
“Sunset.” Lanjutku.
“Sama-sama.” Ia tersenyum.
***
Senja telah pergi, matahari dan bulan bertukar kedudukan, kami pun harus mengakhiri kebersamaan.
Kuharap satu kecupan yang kudaratkan di keningnya tadi dapat mengungkapkan semua rasa yang tak mampu kuucapkan.
“Terima kasih untuk dua hadiah yang kudapat hari ini: senja dan dia.” bisikku dalam hati.
***
foto ini dipinjam dari IG-nya kak Windy Ariestanty |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Leave your comment here :D