20 Nov 2012

Jus Mangga Terakhir

Aku memunguti rambut rontokku yang menempel diatas bantal. Rontok yang bisa dibilang tidak banyak, tapi cukup membuat rambutku semakin tipis dari hari ke hari. Rambut-rambut rontok itu ku masukkan ke dalam kantong kresek yang tergantung di sebelah tempat tidur, mama yang menyediakannya.

Aku mengambil cermin kecil yang selalu ku taruh di bawah bantal. Wajah yang terpantul dari cermin itu tampak pucat dengan bagian bawah mata berkantung. Aku memang kurang tidur selama 2 hari belakangan ini. 2 hari yang ku habiskan dengan hunting foto ke beberapa tempat bersama Tari, sahabatku.

Kamera yang 2 hari lalu setia tergantung di leherku tergeletak di atas meja. Kamera itu pemberian dari seseorang. Seseorang yang menjadi alasanku untuk candu pada dunia fotografi, candu untuk mengabadikan apa saja yang tidak ingin ku lupakan. Dulu dia yang mengajariku memotret untuk pertama kali.

Aku sedang asik me re-play hasil huntingku kemarin, ketika tiba-tiba ada tangan yang menyelipkan poni panjangku ke belakang telinga. Aku mengangkat wajahku. Ternyata dia datang.

Tatapanku berubah menjadi dingin seketika.
“Mau ngapain kamu kesini?”, tanyaku ketus. Aku kembali fokus pada kameraku. Oke ralat, kameranya yang diberikan padaku.

“Kamu 2 hari kemaren kemana? Motret lagi? Aku kan udah bilang, kamu harus banyak istirahat..”, dia meletakkan jus mangga kesukaanku diatas meja, kemudian duduk di kursi sebelah tempat tidurku.

“Raka, tolong jangan memperlakukanku seolah-olah aku ini masih pacar kamu... atau mungkin lebih tepatnya selingkuhanmu?”, aku menatap tajam kedua matanya. Pernyataan yang ku lontarkan barusan pasti sangat menohok ke bagian paling dalam hatinya.

“Aku udah jelasin berkali-kali sama kamu ya Ras, kalo aku gak pernah bermaksud jadiin kamu selingkuhan. Aku beneran sayang sama kamu, dari dulu sampe sekarang dan sampai kapanpun gak akan pernah berubah...”

“Mending simpen semua rayuan kamu itu untuk selingkuhan-selingkuhanmu berikutnya”, potongku cepat. Aku membuang pandanganku keluar jendela.

“Jadi, kapan aku akan terima undangan pernikahanmu dengan Dinda? Kalo Tuhan masih memberiku umur panjang, aku pasti datang”. Hening. Tidak ada jawaban. Ku lihat ada kemarahan di wajahnya. Bagus, ini waktuku untuk mengakhiri semuanya, pikirku.

“Kata orang, menyiapkan pernikahan akan sangat menguras tenaga dan pikiran. Jadi, lebih baik mulai besok dan seterusnya kamu gak perlu buang-buang waktu lagi untuk datang kesini. Gak bagus juga kalo ada orang yang tau seorang calon mempelai pria menjenguk mantan selingkuhannya setiap hari“, Kata-kataku semakin pedas. Aku beranjak dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, berdiri membelakanginya. Kalimatku barusan adalah kalimat pengusiran paling halus yang pernah ku ucapkan, yang aku harap bisa membuatnya pergi meninggalkanku, untuk selamanya.

Aku mendengar langkahnya berjalan mendekatiku. Kemudian tiba-tiba dia mencengkram kedua bahuku, membalikkan tubuhku agar berhadapan dengannya. Kemarahan terpancar sangat jelas dari matanya.

“Pertama, daridulu kamu gak pernah ngasih aku kesempatan buat ngejelasin semuanya. Kamu seenaknya menarik kesimpulan dari sudut pandangmu sendiri. Kedua, gak akan pernah ada undangan pernikahan antara aku dan Dinda, dan aku bakal buktiin ini ke kamu!”

Kemarahan yang tadi berkobar di matanya, kini menghilang seketika. Menyusut entah kemana. Tatapannya kini berubah menjadi teduh. Tatapan yang dulu pernah membuatku jatuh cinta.

Tiba-tiba dia mengecup bibirku.

Aku mendorongnya sekuat tenaga. PLAK! Tamparan pertama kali dariku sukses mendarat di pipinya.

“Udah? Cuma sekali namparnya?”

Aku mengepalkan kedua tanganku. Berusaha sekuat tenaga menahan emosi untuk tidak menamparnya lagi. Genangan air mata yang daritadi ku tahan pun akhirnya luruh di pipi.

“Tampar aku sebanyak yang kamu mau, Ras. Aku bakal terima. Apa lagi yang harus aku lakukan supaya kamu mau maafin aku? Supaya kamu bisa percaya lagi sama aku?”

Gak ada, Ka. Aku gak mau percaya lagi sama kamu. Aku hany bisa menjawab dalam hati. Aku lelah menyakiti diriku sendiri dengan cara menyakiti Raka. Aku lelah untuk beradu argumen. Aku terlalu lelah


“Gak apa-apa kalo kamu gak mau bicara lagi sama aku, Ras. Tapi yang satu ini aja tolong dengerin kata-kataku. Kamu harus jaga kesehatan. Jangan hunting foto ke tempat yang terlalu jauh. Jaga kesehatan kamu, tolong jangan nyakitin diri kamu sendiri, Ras..”,  

“Aku nggak ngerasa nyakitin diriku sendiri. Kehadiranmu yang berulang kali bikin aku sakit, Ka”, Ujarku lirih. Bulir-bulir air mata mengalir dari sudut mataku.

Perlahan tangannya menghapus air mataku. Kali ini aku membiarkan tangan itu menyentuh pipiku.

“Oke, aku bakal pergi. Aku bakal selesein urusanku sama Dinda. Tapi kamu harus janji, selama aku pergi kamu gak boleh terlalu memforsir tenaga kamu buat motret. Kamu harus minum semua obat kamu. Kamu harus berjuang untuk tetap hidup. Janji ya, Ras?”

Aku gak bisa janji untuk hal yang satu itu, Raka..

Jawaban yang lagi-lagi hanya bisa ku katakan di dalam hati.

Dia mengecup keningku lembut, kemudian berbalik pergi. Punggungnya menghilang di balik pintu. Tangisku benar-benar pecah. Bukan kepergian Raka yang aku tangisi, tapi kepergianku yang tinggal menghitung waktu..

Aku sudah tidak sanggup menahan rasa sakit yang disebabkan oleh kanker otak yang sudah lama ku derita ini. Raka tidak seharusnya bersama dengan orang yang sisa waktu hidupnya tinggal sedikit. Raka harus bahagia tanpa aku.

Aku meminum jus mangga yang tadi diletakkan Raka di atas meja. Mungkin ini akan jadi jus mangga dari Raka yang terakhir untukku. Dan sebagai gantinya aku akan menuliskan sepucuk surat terakhir juga untuknya.

Raka,
Maaf karena aku gak bisa nepatin janji
Maaf atas semua kata-kata kasar yang pernah aku lontarkan
Maaf karena aku pernah ngusir kamu
Maaf karena aku gak bisa nunggu
Maaf karena aku harus pergi

Terima kasih untuk kesabaran, kebaikan, perhatian, dan semua yang udah kamu kasih buat aku
Terima kasih untuk selalu jadi penenang yang menyenangkan
Terima kasih untuk support kamu yang luar biasa tiap kali aku putus  asa
Terima kasih udah jadi sandaran terbaik yang pernah aku punya
Terima kasih untuk jus mangga yang dulu tiap hari kamu bawa

Yang terakhir,
Terima kasih udah hadir di hidup aku yang cuma sebentar ini, Ka
Aku bahagia bisa kenal kamu
Sangat bahagia

Raka,
Setelah kepergianku, kamu juga harus bahagia
Entah dengan Dinda, atau dengan siapapun yang nanti bakal jadi pendamping kamu

Love you.. Always.
Raras

3 komentar:

Leave your comment here :D