Aku memunguti rambut rontokku yang menempel
diatas bantal. Rontok yang bisa dibilang tidak banyak, tapi cukup membuat
rambutku semakin tipis dari hari ke hari. Rambut-rambut rontok itu ku masukkan
ke dalam kantong kresek yang tergantung di sebelah tempat tidur, mama yang
menyediakannya.
Aku mengambil cermin kecil yang selalu ku
taruh di bawah bantal. Wajah yang terpantul dari cermin itu tampak pucat dengan
bagian bawah mata berkantung. Aku memang kurang tidur selama 2 hari belakangan
ini. 2 hari yang ku habiskan dengan hunting foto ke beberapa tempat bersama
Tari, sahabatku.
Kamera yang 2 hari lalu setia tergantung di
leherku tergeletak di atas meja. Kamera itu pemberian dari seseorang. Seseorang
yang menjadi alasanku untuk candu pada dunia fotografi, candu untuk
mengabadikan apa saja yang tidak ingin ku lupakan. Dulu dia yang mengajariku memotret
untuk pertama kali.
Aku sedang asik me re-play hasil huntingku
kemarin, ketika tiba-tiba ada tangan yang menyelipkan poni panjangku ke
belakang telinga. Aku mengangkat wajahku. Ternyata dia datang.
“Mau ngapain kamu kesini?”, tanyaku ketus. Aku
kembali fokus pada kameraku. Oke ralat, kameranya yang diberikan padaku.
“Kamu 2 hari kemaren kemana? Motret lagi? Aku
kan udah bilang, kamu harus banyak istirahat..”, dia meletakkan jus mangga
kesukaanku diatas meja, kemudian duduk di kursi sebelah tempat tidurku.
“Raka, tolong jangan memperlakukanku seolah-olah
aku ini masih pacar kamu... atau mungkin lebih tepatnya selingkuhanmu?”, aku
menatap tajam kedua matanya. Pernyataan yang ku lontarkan barusan pasti sangat
menohok ke bagian paling dalam hatinya.
“Aku udah jelasin berkali-kali sama kamu ya
Ras, kalo aku gak pernah bermaksud jadiin kamu selingkuhan. Aku beneran sayang
sama kamu, dari dulu sampe sekarang dan sampai kapanpun gak akan pernah berubah...”
“Mending simpen semua rayuan kamu itu untuk
selingkuhan-selingkuhanmu berikutnya”, potongku cepat. Aku membuang pandanganku
keluar jendela.
“Jadi, kapan aku akan terima undangan
pernikahanmu dengan Dinda? Kalo Tuhan masih memberiku umur panjang, aku pasti
datang”. Hening. Tidak ada jawaban. Ku lihat ada kemarahan di wajahnya. Bagus,
ini waktuku untuk mengakhiri semuanya, pikirku.
“Kata orang, menyiapkan pernikahan akan sangat
menguras tenaga dan pikiran. Jadi, lebih baik mulai besok dan seterusnya kamu
gak perlu buang-buang waktu lagi untuk datang kesini. Gak bagus juga kalo ada
orang yang tau seorang calon mempelai pria menjenguk mantan selingkuhannya
setiap hari“, Kata-kataku semakin pedas. Aku beranjak dari tempat tidur,
berjalan menuju jendela, berdiri membelakanginya. Kalimatku barusan adalah
kalimat pengusiran paling halus yang pernah ku ucapkan, yang aku harap bisa
membuatnya pergi meninggalkanku, untuk selamanya.
Aku mendengar langkahnya berjalan mendekatiku.
Kemudian tiba-tiba dia mencengkram kedua bahuku, membalikkan tubuhku agar
berhadapan dengannya. Kemarahan terpancar sangat jelas dari matanya.
“Pertama, daridulu kamu gak pernah ngasih aku
kesempatan buat ngejelasin semuanya. Kamu seenaknya menarik kesimpulan dari
sudut pandangmu sendiri. Kedua, gak akan pernah ada undangan pernikahan antara
aku dan Dinda, dan aku bakal buktiin ini ke kamu!”
Kemarahan yang tadi berkobar di matanya, kini
menghilang seketika. Menyusut entah kemana. Tatapannya kini berubah menjadi
teduh. Tatapan yang dulu pernah membuatku jatuh cinta.
Tiba-tiba dia mengecup bibirku.
Aku mendorongnya sekuat tenaga. PLAK! Tamparan
pertama kali dariku sukses mendarat di pipinya.
“Udah? Cuma sekali namparnya?”
Aku mengepalkan kedua tanganku. Berusaha
sekuat tenaga menahan emosi untuk tidak menamparnya lagi. Genangan air mata
yang daritadi ku tahan pun akhirnya luruh di pipi.
“Tampar aku sebanyak yang kamu mau, Ras. Aku
bakal terima. Apa lagi yang harus aku lakukan supaya kamu mau maafin aku?
Supaya kamu bisa percaya lagi sama aku?”
Gak ada, Ka. Aku gak mau percaya lagi sama
kamu. Aku hany bisa menjawab dalam hati. Aku lelah menyakiti diriku sendiri
dengan cara menyakiti Raka. Aku lelah untuk beradu argumen. Aku terlalu lelah
“Gak apa-apa kalo kamu gak mau bicara lagi
sama aku, Ras. Tapi yang satu ini aja tolong dengerin kata-kataku. Kamu harus
jaga kesehatan. Jangan hunting foto ke tempat yang terlalu jauh. Jaga kesehatan
kamu, tolong jangan nyakitin diri kamu sendiri, Ras..”,
“Aku nggak ngerasa nyakitin diriku sendiri.
Kehadiranmu yang berulang kali bikin aku sakit, Ka”, Ujarku lirih. Bulir-bulir
air mata mengalir dari sudut mataku.
Perlahan tangannya menghapus air mataku. Kali
ini aku membiarkan tangan itu menyentuh pipiku.
“Oke, aku bakal pergi. Aku bakal selesein
urusanku sama Dinda. Tapi kamu harus janji, selama aku pergi kamu gak boleh
terlalu memforsir tenaga kamu buat motret. Kamu harus minum semua obat kamu.
Kamu harus berjuang untuk tetap hidup. Janji ya, Ras?”
Aku gak bisa janji untuk hal yang satu itu,
Raka..
Jawaban yang lagi-lagi hanya bisa ku katakan
di dalam hati.
Dia mengecup keningku lembut, kemudian
berbalik pergi. Punggungnya menghilang di balik pintu. Tangisku benar-benar
pecah. Bukan kepergian Raka yang aku tangisi, tapi kepergianku yang tinggal
menghitung waktu..
Aku sudah tidak sanggup menahan rasa sakit
yang disebabkan oleh kanker otak yang sudah lama ku derita ini. Raka tidak seharusnya
bersama dengan orang yang sisa waktu hidupnya tinggal sedikit. Raka harus
bahagia tanpa aku.
Aku meminum jus mangga yang tadi diletakkan
Raka di atas meja. Mungkin ini akan jadi jus mangga dari Raka yang terakhir
untukku. Dan sebagai gantinya aku akan menuliskan sepucuk surat terakhir juga
untuknya.
Raka,
Maaf karena aku gak bisa nepatin janji
Maaf
atas semua kata-kata kasar yang pernah aku lontarkan
Maaf
karena aku pernah ngusir kamu
Maaf karena
aku gak bisa nunggu
Maaf
karena aku harus pergi
Terima
kasih untuk kesabaran, kebaikan, perhatian, dan semua yang udah kamu kasih buat
aku
Terima
kasih untuk selalu jadi penenang yang menyenangkan
Terima
kasih untuk support kamu yang luar biasa tiap kali aku putus asa
Terima
kasih udah jadi sandaran terbaik yang pernah aku punya
Terima
kasih untuk jus mangga yang dulu tiap hari kamu bawa
Yang
terakhir,
Terima
kasih udah hadir di hidup aku yang cuma sebentar ini, Ka
Aku
bahagia bisa kenal kamu
Sangat
bahagia
Raka,
Setelah
kepergianku, kamu juga harus bahagia
Entah
dengan Dinda, atau dengan siapapun yang nanti bakal jadi pendamping kamu
Love
you.. Always.
Raras
waaaaaaaaa.... cerpen ya! sedih bgt :(((
BalasHapusterima kasih sudah baca :)
BalasHapusmewek :"(
BalasHapus