.........
Kalimati
Jam 11 malam persiapan untuk
summit attack dimulai. Jaket, masker, gatter (gak tau tulisannya bener apa
nggak), sarung tangan, headlamp, air minum, roti sisir, coklat, dan tas kecil
berisi kamera, itulah benda-benda yang saya bawa menuju puncak. Kira-kira jam 12
lewat, rombongan yang jumlahnya sekitar lebih dari 30 orang itu bergerak
beririnfan memasuki hut`n kecil di kaki Mahameru..
Karena sedang musim kemarau, perjalanan ke Arcopodo
cukup menyiksa. Jalannya sangat berdebu. Semakin berdebu oleh hentakan
30-an pasang sepatu. Setelah dari Semeru kayaknya saya harus sedot paru-paru..
Arcopodo
Rombongan
sampai di Arcopodo sekitar jam setengah 2 dini hari. Ketinggian yang semakin
bertambah menyebabkan oksigen semakin tipis. Mual dan rasa ingin muntah
itu wajar. Tapi saat itu saya tidak merasakan mual, pengen muntah, ataupun sejenisnya. Keadaan saya baik-baik saja. Amat sangat baik malah. Semangat untuk menggapai puncak
Mahameru sudah berkobar, walaupun dengan jalan lambat seperti siput...
Rombongan pun melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di Kelik, ada sedikit briefing
untuk terus berhati-hati sepanjang perjalanan ke Puncak. Salah satu kakak senior
juga berpesan, dia bilang nanti di lautan pasir kalo ngeluh di dalam
hati aja.
Satu kata ajaib yang selalu saya ingat saat itu adalah SEMANGAT. Cuma orang-orang yang punya semangat lebih yang bisa sampai di puncak Mahameru. Katanya sih begitu.. *pasang iket kepala*
Cemoro
Tunggal
Dari Kelik menuju lautan pasir, jalannya semakin
terjal. Ada 2 buah jurang yang harus dilewati (kalo gak salah). Jurang yang
kiri kanannya pasir. Pohon-pohonan pun gak rimbun lagi. Didepan saya terhampar lautan
pasir dengan kemiringan 45 derajat (atau lebih?). Saya berjalan sedikit demi
sedikit. Ergg.. kayaknya itu merangkak deh, bukan berjalan.
Cemoro tunggal adalah batas vegetasi. Dimana cuma
ada satu pohon yang berdiri. Pohon terakhir yang kita jumpai.
Saya dan teman-teman masih merangkak di lautan
pasir. Melewati Cemoro Tunggal. Jalan 5 langkah, mundur 3 langkah. Iya, jadi mundurnya
itu gara-gara pasir. Jangankan waktu jalan, waktu kita berdiri (gak pake jalan)
juga bakal mundur sendiri kok. Mau duduk juga merosot otomatis. Satu langkah di lautan pasir itu
sangat berarti...
Semangat yang lebih dari biasanya.. Semangat yang lebih dari biasanya.. Kalimat itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga saya. Kalimat yang pernah dikatakan oleh seseorang yang bulan Agustus lalu juga baru turun dari Mahameru.. :')
Semangat yang lebih dari biasanya.. Semangat yang lebih dari biasanya.. Kalimat itu yang selalu terngiang-ngiang di telinga saya. Kalimat yang pernah dikatakan oleh seseorang yang bulan Agustus lalu juga baru turun dari Mahameru.. :')
Ya Allah, rasanya kaki mau patah
gara-gara jalan 5 langkah mundur 3 langkah itu. Kepala juga pegel ngeliat ke
atas terus. Bulan penuh yang semalaman menyinari pun lama-lama tenggelam..
bertukar dengan fatamorgana di ufuk timur..
Lautan Pasir, 29 September 2012
Sebentar lagi pagi..
Langit semakin terang. Udara pagi di lereng semeru
berhembus sangat segar. Saya masih merangkak di lautan pasir. Puncak sepertinya
sudah dekat. Di depan sana udah banyak batu-batu. Saya pikir jalannya sebentar
lagi mulai landai... tapi nyatanya nggak . Jalannya malah makin susah. Mungkin
karena udah pagi, jadi pergeseran yang cuma beberapa langkah itu semakin terasa
dan bikin hopeless. Tenaga
benar-benar sudah terkuras habis..
Jam menunjukkan pukul setengah 8 ketika saya
melewati 2 orang mas-mas pendaki yang duduk-duduk santai. Mas-nya bilang kalo
puncaknya masih jauh. Sekitar 2 jam lagi, hiks. Dia bilang gak nutut waktunya
kalo saya maksain buat muncak, hiks. Tapi saya tetep jalan, dengan speed yang
semakin kacrut
Akhirnya, kalo ngga salah sekitar jam 8-an, saya mengibarkan bendera putih alias menyerah. Matahari makin tinggi, keringat mengucur deras di dahi. Laper, haus, ngantuk, campur aduk jadi satu. Saya nyari sebuah batu untuk bersandar. Setelah menemukan batu yang cukup besar, saya duduk berlindung di bawahnya. Pemandangan di depan saya waktu itu adalah lautan pasir curam dan gumpalan awan yang mirip gula-gula kapas. Dan yang saya pikhrkan saat itu adalah, nanti gimana turunnya...
....
Ini belum nyampe puncak, tapi disini rasanya tenang banget. Saking tenangnya, saya pun tertidur...
....
Beberapa saat kemudian..
Tiba-tiba saya mendengar ada yang manggil-manggil. "Rau, Rau.. Raaaaauuu!!!". Ternyata Ayu yang berjarak beberapa meter disamping saya, manggil-manggil... sambil nangis.
"Yuk, kamu nyampe puncak?" Itu pertanyaan yang saya lontarkan pertama kali.
"Enggak. Waktunya ngga cukup. Trus tadi wedus gembelnya keluar, trus aku takut, langsung turun deh", Ayu masih mengusap-ngusap bekas air mata di pipinya.
"Loh, trus kamu kenapa nangis?", waktu itu saya masih separuh sadar sebenarnya. Nyawa belum terkumpul seutuhnya.
"IYA, KAMU DIBANGUNIN GAK BANGUN-BANGUN DARITADI!! Aku pikir kamu pingsan atau kenapa gitu Rau. Soalnya aku mikir kamu pasti udah lama disini. Apa kedinginan, apa kelaperan, gituuu...",
"HUAHAHAHAHAHA. Aku ketiduran yuk!! Eh kamu udah lama bangunin aku? kok aku ngga denger ya?", saya masih tertawa.
"Udaaah daritadiiiii , Rau!! Kamu ngga bangun-bangun. Siapa yang ngga takut coba. Kirain pingsa atau ALM.." sekarang gantian Ayu yang ketawa. Separah itu ya susahnya saya dibangunin sampe dikira mati
Puas ketawa-ketawa karena insiden konyol itu, saya dan Ayu melanjutkan perjalanan turun. Berhubung kita berdua gak bisa foto-foto di puncak, akhirnya kita foto-foto di lautan pasir kayak gini, Jeng.. jeng.. jeng...
Akhirnya, kalo ngga salah sekitar jam 8-an, saya mengibarkan bendera putih alias menyerah. Matahari makin tinggi, keringat mengucur deras di dahi. Laper, haus, ngantuk, campur aduk jadi satu. Saya nyari sebuah batu untuk bersandar. Setelah menemukan batu yang cukup besar, saya duduk berlindung di bawahnya. Pemandangan di depan saya waktu itu adalah lautan pasir curam dan gumpalan awan yang mirip gula-gula kapas. Dan yang saya pikhrkan saat itu adalah, nanti gimana turunnya...
....
Ini belum nyampe puncak, tapi disini rasanya tenang banget. Saking tenangnya, saya pun tertidur...
....
Beberapa saat kemudian..
Tiba-tiba saya mendengar ada yang manggil-manggil. "Rau, Rau.. Raaaaauuu!!!". Ternyata Ayu yang berjarak beberapa meter disamping saya, manggil-manggil... sambil nangis.
"Yuk, kamu nyampe puncak?" Itu pertanyaan yang saya lontarkan pertama kali.
"Enggak. Waktunya ngga cukup. Trus tadi wedus gembelnya keluar, trus aku takut, langsung turun deh", Ayu masih mengusap-ngusap bekas air mata di pipinya.
"Loh, trus kamu kenapa nangis?", waktu itu saya masih separuh sadar sebenarnya. Nyawa belum terkumpul seutuhnya.
"IYA, KAMU DIBANGUNIN GAK BANGUN-BANGUN DARITADI!! Aku pikir kamu pingsan atau kenapa gitu Rau. Soalnya aku mikir kamu pasti udah lama disini. Apa kedinginan, apa kelaperan, gituuu...",
"HUAHAHAHAHAHA. Aku ketiduran yuk!! Eh kamu udah lama bangunin aku? kok aku ngga denger ya?", saya masih tertawa.
"Udaaah daritadiiiii , Rau!! Kamu ngga bangun-bangun. Siapa yang ngga takut coba. Kirain pingsa atau ALM.." sekarang gantian Ayu yang ketawa. Separah itu ya susahnya saya dibangunin sampe dikira mati
Puas ketawa-ketawa karena insiden konyol itu, saya dan Ayu melanjutkan perjalanan turun. Berhubung kita berdua gak bisa foto-foto di puncak, akhirnya kita foto-foto di lautan pasir kayak gini, Jeng.. jeng.. jeng...
Lautan Pasir |
Ayu |
Perjalanan turun udah kayak maen ski
dengan wahana pasir. Harus ekstra hati-hati. Jadi, sebelum ke Semeru saya sempet
googling. Katanya kebanyakan pendaki yang nyasar di semeru itu gara-gara
terlalu mengambil jalur ke kanan waktu turun dari puncak. Berbekal sedikit pengetahuan dari google itu, saya pun mengambil
jalur kiri..
.......
Sesampainya di Kalimati, penampakan
para pejuang Mahameru ini udah gak karuan. Seluruh tubuh penuh pasir. Rambut
dan alis berubah jadi warna abu-abu. Kita tampak 50 tahun lebih tua dari usia
sebenarnya..
Sekitar jam 3, setelah makan siang
dan tidur siang di Kalimati, rombongan melanjutkan perjalanan kembali ke
Ranukumbolo. Saya sampai di ranukumbolo sekitar jam 6 sore dalam keadaan tepar.
Malam itu suhu di ranukumbolo lebih dingin dari malam pertama waktu nginap di sana.
Pada dini hari, suhunya mencapai -5 derajat celcius..
.......
Pagi yang sempurna untuk kedua kalinya saya
dapatkan lagi di ranukumbolo. Tempat ini benar-benar ‘surga’. Berat rasanya mau
ninggalin ranukumbolo. Semakin berat ketika melihat track ke pos 4 yang nanjak...
Jam 12 siang, saya dan teman-teman meninggalkan
Ranukumbolo. Saya tiba di Ranupane jam setengah 5 sore dalam keadaan 'nyawa'
tinggal separuh. Welcome back to the world, Rau~
......
......
That’s all cerita yang saya bawa dari
Semeru. Rasa syukur yang tak terhingga saya panjatkan pada Allah SWT karena telah diberi
kesempatan menikmati kemegahanNya yang luar biasa. Tidak lupa juga terima kasih untuk
teman-teman KOMPAS OA ES, my second family and the best partner 'mbolang' ever, yang telah menemani saya menjelajahi
tempat-tempat impian istimewa..
Mahameru berikan damainya
Di dalam beku arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa
(Dewa 19 - Mahameru)
(Dewa 19 - Mahameru)
you are invited to follow my blog
BalasHapus