Situasi politik
negeri kita belakangan ini sangat mengerikan. Ada dua kubu yang sedang bersaing
memperebutkan kekuasaan. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari berorasi
mengenai visi dan misi, sampai menjelek-jelekkan lawan secara terang-terangan. Ironis
sekali.
Mereka bilang
kita negara demokrasi. Rakyat bebas bersuara dan mengeluarkan opini. Alhasil banyak
surat terbuka yang beredar di dunia maya. Balas-membalas pula.
Tapi sepertinya makna kata ‘bebas’ telah di-salah-arti-kan. Bagi saya bebas bukan berarti hilang kendali sama sekali. Ibarat layangan yang diterbangkan, harus tetap ada benang yang mengikatnya di bumi.
Tapi sepertinya makna kata ‘bebas’ telah di-salah-arti-kan. Bagi saya bebas bukan berarti hilang kendali sama sekali. Ibarat layangan yang diterbangkan, harus tetap ada benang yang mengikatnya di bumi.
Bebas yang
berbatas.
Sebab tanpa
batas, kita akan hilang dan tenggelam. Melupakan apa yang menjadi tujuan awal.
Masa orba memang
telah berlalu sekian lama, tapi tampaknya trauma itu masih ada. Saat kebebasan
berbicara sebagai warga negara dirampas. Mutlak. Saya masih ingat kala itu
(saya masih kelas 2 SD), orang tua mewanti-wanti agar saya tidak menyebut
nama-nama partai tertentu. Bahkan bibir anak kecil yang sejatinya tidak
mengerti apapun terpaksa dikunci.
Mungkin trauma
itu yang membentuk kita menjadi sosok yang sekarang. Vocal dan berani menyuarakan pikiran. Bukankah ini yang dulu kita
inginkan? Mulut yang tak lagi terpaksa bungkam karena rasa takut yang mencekam.
Status-status
berbau politik yang ramai diunggah ke social
media belakangan ini tidak lain adalah bentuk provokasi. Maka dari itu
harusnya kita lebih hati-hati agar tidak tersulut emosi. Kini politik dan agama
hampir tidak ada beda. Bagimu pilihanmu, bagiku pilihanku, begitu juga
seharusnya.
Dan untuk mereka
yang ngotot mengatakan bahwa pilihan
mereka adalah yang paling baik dan paling benar, mungkin mereka lupa kalau
mempersuasi dan memaksakan kehendak adalah dua hal yang berbeda.
Logikanya, kita gak bisa maksa orang yang gak suka durian untuk makan durian, walaupun (sampai mulut berbusa) kita bilang durian itu enak.
Ketika apa yang ingin kita suarakan malah berujung pada merampas hak orang lain untuk ikut berpendapat, ini namanya kebebasan yang kebablasan.
Logikanya, kita gak bisa maksa orang yang gak suka durian untuk makan durian, walaupun (sampai mulut berbusa) kita bilang durian itu enak.
Ketika apa yang ingin kita suarakan malah berujung pada merampas hak orang lain untuk ikut berpendapat, ini namanya kebebasan yang kebablasan.
Mungkin benar bahwa “be honest" tidak
sama dengan "be an assh*le”. Beda
pendapat itu wajar, tapi ketika disampaikan tanpa etika, artinya ada yang salah
dengan diri kita.
Itu hanya satu dari sekian metode penguasaan asing terhadap suatu negara. Lakukan adu domba....
BalasHapus