28 Apr 2016

Behind the Scene: Studying in English Class

I really envy with students nowadays. I think they are so lucky because they acquire education system which is better than what I got in couple years ago. One of the lucks is English learning given from kindergarten (or may be children in playgroup have been taught English too?).  While I remember, I got my first English lesson when I was 4th grade in elementary school. It was around 2001. So, what I did in kindergarten? I think I just drew or colored or cut the pictures. I even didn’t know letters or numbers yet.

Anyway, I can say that English is the only subject with stable grade that I’ve ever had. I always got 8 or 9 in my school report, and it happened until I was in senior high school. Of course it made me be confidence with my English. Moreover, I wanted to choose English Literature as my major in college. I wanted to register this major via PMDK (one of tracks to go to college which is based on school report). But at the end, because of some of reasons, I canceled it.


It’s kinda God has been written my future to not be separated with English language. Even though I canceled my plan to go to English Literature, and I chose major of Communication Science, but I didn’t know why I chose English class which means that all of the subjects will be delivered in English. I felt like I’m going to die when I knew this truth. Then I realized that I had made a mistake when I filled the online registration form. I chose the wrong class.

9 Apr 2016

Surat Balasan

Aku masih menunggu tukang pos datang. Dari pagi hingga petang. Aku senantiasa mengintip dari balik jendela. Berharap seorang pria paruh baya berseragam orange akan datang membawakanku sepucuk surat di tangan. Namun hingga matahari tenggelam yang kutunggu tak juga tiba. Ah, mungkin besok, begitu batinku menghibur diri. Menelan pahit kecewa karena harus menanti lebih lama.

Esok harinya, aku melakukan ritual serupa. Aku masih menunggu tukang pos datang. Dari pagi hingga petang. Aku senantiasa mengintip dari balik jendela. Berharap seorang pria paruh baya berseragam orange akan datang membawakanku sepucuk surat di tangan. Namun hingga matahari tenggelam yang kutunggu tak juga tiba. Mungkin kau baru sempat menulis surat balasan untukku hari ini, itulah caraku menyemangati diri sendiri. Tak kubiarkan sedikitpun keraguan datang menghadang.

Esok harinya, aku masih melakukan ritual yang serupa. Bahkan hingga ke hari ke dua puluh dua.

Aku mulai bosan menunggu. Aku mulai hilang akal, tentang apa yang sekiranya dapat menjadi alasan paling logis mengapa aku tidak juga menerima surat balasan darimu.

Di hari ke empat puluh lima, akhirnya aku putus asa. Tak mampu lagi ku bendung rasa kecewa. Semua janji yang kau ucapkan ternyata hanya bualan. Aku mengutuk kebodohanku sendiri yang dengan setia menunggu surat balasan untuk sekian lama. Surat yang mungkin sekalipun tidak pernah kau tuliskan.

5 Apr 2016

Pengalaman Operasi Si Gigi Bungsu

Akhirnyaaaaa gigi bungsu dicabut jugaaaaa! *salto*

Jadi ceritanya saya punya gigi bungsu, geraham bawah sebelah kanan, yang tumbuh tidak di jalur yang benar. Dia terpisah jauh dengan teman-temannya yang sudah tumbuh terlebih dulu. Nyempil di pojokan belakang dan ndusel ke dinding pipi. Saya yang punya ketebalan pipi di atas rata-rata manusia pada umumnya, tentu merasa sangat terganggu dengan si gigi bungsu yang nusuk-nusuk dinding pipi. Belum lagi karena tumbuhnya gak di gusi, jadilan separuh bagian atas gigi itu nabrak daging mulut lainnya. Intinya, si gigi bungsu ini sangat amat mengganggu.

Sebenarnya si gigi bungsu udah sakit sejak kuliah. Tapi saya tahan, saya kira nanti lama-lama dia bakal tumbuh lurus. Entah, saya masih berharap akan ada keajaiban yang membuat si bungsu ini normal seperti kakak-kakaknya. Tapi, beberapa waktu belakangan, si gigi bungsu semakin sering membuat daging di sekitarnya terluka. Puncaknya adalah ketika saya akan melaksanakan test TOEFL 2 minggu yang lalu. Ia beraksi di waktu yang tidak tepat. Sahabat saya Yayuk sampai harus nganterin saya ngacak-ngacak daerah Suhat buat nyari apotek, untuk beli painkiller, supaya saya bisa mengerjakan soal-soal TOEFL dengan tenang. Akhirnya sepulang dari Malang, saya membulatkan tekad bahwa saya harus ke dokter gigi.

Hanya dengan sekali lihat keadaan si gigi bungsu, Pak Dokter tanpa ragu-ragu menyarankan saya untuk operasi gigi. Menurutnya, tidak ada cara lain selain mencabut si gigi bungsu. Saya sendiri sebenarnya tidak kaget dengan hal itu, mengingat ia memang berada di tempat yang tidak semestinya. Saya pun setuju untuk operasi. Setelah mengatur jadwal, ditetapkanlah bahwa si gigi bungsu akan dieksekusi hari ini, jam 1 siang tadi.

3 Apr 2016

Susahnya Menjadi (dan Mencari) Pendengar yang Baik

Belakangan ini saya banyak dikecewakan teman-teman sendiri. Teman yang awalnya saya percaya sebagai tempat untuk berbagi cerita. Teman yang saya kira adalah sosok yang tepat untuk menceritakan seluruh kesedihan dan kesulitan yang saya alami. Tapi ternyata saya salah. Mungkin juga harapan saya pada mereka yang terlalu tinggi, jadi tidak heran kalau hanya berujung kecewa pada akhirnya.

Teman pertama, saya bercerita padanya tentang pengalaman saya mengikuti Leaderless Group Discussion. Saya bercerita bahwa saat sesi diskusi, ada satu istilah yang tidak saya mengerti, kemudian saya menanyakan arti istilah itu di forum. Kemudian, respon yang saya dengar adalah, "Ya paling gak kalau mau diskusi gitu jangan kosongan,". Perkataannya benar-benar membuat saya kecewa. Saya merasa dihakimi, dituduh pergi diskusi dengan otak kosong. Tanpa dia tau apa yang sudah saya persiapkan untuk mengikuti LGD itu.

Teman kedua, saya bercerita tentang keraguan saya untuk pergi ke jakarta guna mengikuti tes kerja. Saya menceritakan berbagai pertimbangan yang harus saya pikirkan sebelum pergi, tapi respon yang saya dapat kemudian adalah, "Kamu aja yang gak niat cari kerja di Jakarta,". Perkataan yang saya terima lagi-lagi mengecewakan. Saya dituduh "tidak niat" hanya karena saya tidak yakin untuk pergi. Seolah dia yang paling tau apa niat saya. Jugdement itu pun ia keluarkan tanpa mau tau sikon yang saya hadapi.

2 Apr 2016

Jarak

Sebagian orang mengartikan jarak sebagai hitungan matematis. Sekian meter, sekian kilometer, hingga sekian mil. Namun bagiku, jarak adalah sesuatu yang abstrak dan tak bisa diukur. Saat jarak ribuan mil tidak membuatku merasa jauh darimu, sedangkan bentangan 30 km menjadikan sosokmu (seolah) begitu jauh, saat itulah aku meyakini bahwa jarak tidak punya perhitungan yang konstan.

Aku merasa menjadi manusia terjahat sedunia setiap kali perasaan tidak senang karena kamu pulang itu muncul. Iya, aku sejahat itu, karena tidak senang setiap kali kamu di kelilingi keluarga, sahabat, dan teman-teman kesayanganmu. Karena saat itu adalah saat di mana kamu akan melupakanku. Jauh berbeda ketika kamu tengah jauh dari rumah, kamu akan rajin menghubungiku dan berbagi cerita mengenai apa saja.
Kamu, tentu saja mengingkari hal ini, dan berulang kali mengatakan bahwa itu cuma perasaanku saja, bahwa kamu tidak pernah melupakanku. Tapi, ini kenyataan yang tidak hanya sekali-dua kali ku alami. Kamu mungkin hanya tidak menyadarinya (atau tidak mau mengakuinya?).

Perasaan tidak senang -karena kamu pulang- yang kerap muncul itu membuatku mengumpat pada diri sendiri. Aku tau betul bahwa aku tidak seharusnya merasakan hal itu. Hanya saja, jarak yang tidak konstan ini benar-benar menyebalkan. Bagaimana bisa 30 km sialan itu mampu memisahkanmu begitu jauh dariku, membuatmu berada di luar jangkauanku.

Satu hal yang mungkin mampu menenangkanku adalah, bahwa kamu tidak sedang berada di tempat yang berbahaya. Tempat yang memaksamu untuk mempertaruhkan nyawa. Setidaknya cukup dengan mengingat fakta ini, aku bisa menerima kepulanganmu dengan perasaan lega. Walau di sisi lain aku harus kehilanganmu untuk sementara waktu.