31 Des 2015

Masa Kritis...

5 Desember 2015

Hari pertama Papa di ruang ICU.

Di lorong ruang tunggu ICU, ada sebuah telepon yang terletak di sudut dinding. Telepon itu adalah telepon yang digunakan dokter dan perawat di dalam ruang ICU untuk memanggil keluarga pasien yang sedang menunggu di luar.

Aku dan Mama tidur tidak jauh dari telepon itu. Setiap kali telepon berbunyi, darah kami berdesir. Menduga-duga bagaimana keadaan Papa di dalam sana.

Sepertinya hanya pagi itu, ketika aku dan Mama masih tidur, telepon berdering tepat pukul tujuh. Aku langsung terbangun, dalam keadaan kaget bercampur cemas, berlari mengangkat telepon.

“Hallo,” sahutku.

“Hallo, bisa bicara dengan keluarga Pak Hermon?” suara wanita dari seberang telepon.

Deg. Mendadak jantungku tak karuan iramanya.

25 Des 2015

The Day of CABG

4 Desember 2015

Aku hanya tidur 2 jam. Aku tertidur jam 12 dan bangun jam 2 dini hari dan tidak bisa tidur lagi sampai subuh. Dengan penampakan seperti zombie karena kebanyakan nangis dan kurang tidur, jam setengah 5 pagi aku sudah berada di rumah sakit.

Saat aku masuk kamar, ternyata Papa sedang mandi. Setelah Papa berganti pakaian dan sholat subuh, seorang dokter masuk ke kamar Papa. Beliau adalah dokter anastesi jantung, dokter yang akan membius Papa ketika operasi nanti. Namanya Dr. Muslim.

Dr. Muslim sedikit memberi gambaran kepada Papa tentang apa yang akan dilakukannya sebagai dokter bius. Tubuh Papa nanti akan dipasang banyak sekali selang. Selang dari mulut ke paru-paru untuk pernapasan, selang ke dalam perut untuk membuang sisa darah pasca operasi, selang yang bisa mengukur tekanan darah, kadar gula, detak jantung, dan masih banyak lagi.

“Jadi, nanti kalau Bapak sadar, satu hal yang harus Bapak lakukan adalah bernapas. Itu satu-satunya tugas Bapak. Kalau Bapak melihat dan merasa banyak selang di leher, tangan, perut, jangan hiraukan itu semua. Ibaratnya kalau Bapak lagi tidur terus ada anak kecil yang gangguin Bapak, jangan dipedulikan. Nanti alat-alat itu akan satu-persatu kita cabut kalau keadaan Bapak berangsur membaik,” kata Dr. Muslim.

24 Des 2015

H-2 Operasi CABG

2 Desember 2015

Kami ke RS pada pukul 9 pagi. Setelah selesai mengurus administrasi, Papa diantar ke kamar perawatan. FYI, Papa masuk kamar rawat dalam keadaan (seperti orang) sehat. Papa berjalan seperti biasa, tidak duduk di kursi roda. Lalu sesampainya di kamar, Papa diminta untuk ganti baju dengan seragam pasien. Gelang pasien juga sudah melingkar dipergelangan tangannya.

Melihat semua pemandangan itu lagi-lagi perasaan gentar muncul. Sebab sebelumnya Papa tidak pernah dirawat di RS dan aku tidak pernah melihat Papa memakai baju pasien.

Hari pertama dirawat di RS, Papa melakukan serangkaian medical check up. Beberapa kali perawat datang untuk mengambil sample darah Papa, melakukan rontgen dada, rekam jantung, mengukur tensi, dan fisioterapi. Malam itu hanya Mama yang menemani Papa di RS, sedangkan aku pulang kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang dan memindahkannya ke kos-kosan di belakang RS yang sudah aku sewa  untuk seminggu.

3 Desember 2015

Aku sudah di RS sejak jam 9 pagi dan sudah selesai memindahkan barang-barang. Setibanya di kamar, Mama bercerita kalau semalam Papa mendapat transfusi darah satu kantong, karena HB darah Papa rendah, tidak memenuhi syarat operasi.

Kemudian aku duduk di samping tempat tidur Papa, berbicara banyak hal tentang transfusi darah. Saat itu Papa menasihatiku agar suatu hari mau melakukan donor. Aku memang tidak pernah donor darah karena takut jarum suntik. Alasan klasik.

Road to CABG (part 3)

Setelah jadwal operasi resmi ditunda menjadi tanggal 29 Oktober 2015, kami pun pulang. Tinggal di Jakarta dalam waktu sebulan tidak memungkinkan, mengingat biaya hidup yang harus dikeluarkan bisa membuat sakit kepala.

Dalam rentang waktu menunggu itu, muncul keraguan Papa. Alasannya adalah untuk beberapa hari kondisi tubuhnya fit dan tidak merasa sakit apa-apa.

“Udah 3 hari ini gak terasa sakit. Apa pantas Papa dioperasi?” kata Papa.

“Pa, kalau gak sakit hari ini, apa ada jaminan bakal gak sakit selama-lamanya? Udah jelas penyumbatan pembuluh darahnya 100%, kok masih nanya pantas apa nggaknya dioperasi,” aku mulai gemas.

Dan biasanya, hanya beberapa jam setelah mempertanyakan apakah ia pantas dioperasi atau tidak, sakitnya kambuh lagi.

Perbincangan seperti di atas tidak hanya terjadi sekali dua kali. Terkadang, kalau kesabaranku sudah habis, karena Papa bersikeras mengatakan bahwa kondisinya belum terlalu parah sehingga tidak pantas untuk dioperasi, maka aku akan bilang.

22 Des 2015

Road to CABG (part 2)

Operasi. Keputusan yang telah diambil Papa dan mendapat dukungan penuh dariku, mama, juga abang. Walaupun jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam kami tidak menginginkan itu. Tapi terkadang hidup memang menawarkan sebuah jalan keluar yang tidak mudah untuk dilalui.

Okay, step selanjutnya adalah menemui dokter bedah jantung. Papa mempercayakannya pada Dr. Tarmizi Hakim SP.BTKV. Siapa itu Dr. Tarmizi (sepertinya aku akan membuat satu chapter khusus tentang Dr. Tarmizi karena banyak hal yang ingin aku ceritakan tentang beliau)? Singkat cerita, Dr. Tarmizi adalah dokter yang sudah pernah menangani beberapa orang saudara Papa yang juga melakukan operasi jantung dan operasi tersebut berjalan sukses. Jadi, Papa ingin dipegang oleh dokter yang sama, berharap akan memperoleh hasil yang sama pula.

Kesan yang kutangkap ketika pertama kali bertemu Dr. Tarmizi adalah optimismenya tentang keberhasilan operasi yang akan dijalani Papa.

“Untuk operasi By Pass, ada empat syarat yang harus dipenuhi pasien. Pertama, usia di bawah 70 tahun. Bapak masih 56 tahun, jadi masih masuk kategori aman untuk operasi. Lain cerita kalau sudah 70 tahun ke atas, itu umur yang lebih beresiko. Kedua, fungsi pompa jantung itu minimal 30-40%. Dari hasil echo, fungsi pompa jantung Bapak juga masih bagus, ada 70%. Ketiga, kondisi ginjal. Hasil lab pun menunjukkan kalau ginjal Bapak tidak ada masalah. Yang terakhir, Bapak tidak ada riwayat stroke. Pasien yang pernah stroke itu resikonya lebih tinggi untuk melakukan operasi,” jelas Dr. Tarmizi panjang lebar.

17 Des 2015

Road to CABG (part 1)

Dulu aku pernah berjanji pada Papa untuk menuliskan ceritanya di sini. "Kalau Papa udah selesai operasi, nanti tulisin di blog ya dek," begitu ucapnya. Dan kini aku ingin memenuhi janji itu. Tulisan ini akan sedikit panjang, aku akan berusaha bercerita sedetail mungkin, dengan harapan bahwa tulisan ini nantinya mampu memberi gambaran mengenai operasi jantung by pass.

So, here we go.

Papa divonis menderita jantung koroner di tahun 2013. Tepatnya saat bulan puasa, Papa pernah mendapat serangan jantung sebanyak 3x dan menyebabkan Papa dilarikan ke UGD. Kemudian, sekitar akhir tahun 2013, ketika Papa sedang di Jakarta, Papa kembali memdapat serangan dan langsung di bawa ke rumah sakit jantung Harapan Kita. Setelah melakukan serangkaian test seperti treadmill, EKG, echo, dsb, maka dokter pun akhirnya memastikan bahwa pembuluh darah jantung Papa mengalami penyumbatan. Dokter menyarankan Papa untuk segera melakukan kateterisasi jantung untuk melihat berapa banyak penyumbatan yang ada di jantung Papa.

14 Des 2015

Matikan Rokok Sekarang Juga!

Sebelumnya, aku tidak pernah punya masalah dengan para perokok. Sejak dulu aku sudah dikelilingi oleh para perokok. Mulai dari Papa, Abang, hingga teman-teman. Aku tidak pernah protes tentang asap yang (terpaksa) kuhirup. Aku tidak pernah (merasa) terganggu dengan bau asap rokok yang menyengat. Aku tidak pernah komplen dengan baju dan kerudungku yang bau rokok setiap kali bertemu mereka.

Tapi setelah aku lulus kuliah dan tidak lagi bertemu dengan teman-teman perokok, juga setelah Papa berhenti merokok 2 bulan lalu, secara otomatis aku pun berubah menjadi sangat sensitif terhadap bau rokok. Sekarang hidungku tidak lagi bisa menghirupnya dan menganggap bahwa baunya biasa saja. Aku tidak bisa lagi dekat-dekat dengan para perokok karena baunya benar-benar menggangguku. Bahkan sekarang ketika melihat laki-laki merokok, walaupun dia adalah Lee Min Ho wannabe, maka besar kemungkinan dia akan kucoret dari daftar calon pasangan yang potensial.

Tapi, lebih dari semua alasan itu, alasan paling utama yang membuatku tidak lagi bisa kompromi terhadap perokok adalah karena melihat Papa sakit.

Aku adalah saksi mata dari perjuangan Papa melawan penyakit jantung koronernya. Aku mengingat dengan baik bagaimana Papa melewati hari-harinya 2 tahun belakangan ini, sejak divonis menderita jantung oleh dokter. Bagaimana Papa harus menahan rasa sakitnya. Bagaimana Papa harus tergantung dengan obat-obatan yang menjadi pertolongan pertama setiap jantungnya mendapat serangan. Bagaimana Papa menjalani pengobatan tradisional ke Serpong, Tanjung Alam, Banyuwangi, Kepanjen, Pandaan, yang dijalani hingga berbulan-bulan. Bagaimana pada akhirnya Papa harus menyerah dengan pengobatan tradisional itu dan kemudian memutuskan untuk dilakukannya tindakan medis. Bagaimana menyiapkan mentalnya di hari-hari menjelang operasi. Bahkan hingga saat ini, bagaimana Papa harus bersabar melewati masa pemulihan pasca operasi.

12 Des 2015

Berbagi Cerita Manusia

Dari sekian banyak hal yang kubenci, ternyata ada satu hal yang membuatku menyukai rumah sakit. Ya, di sini, aku bertemu dengan banyak orang yang punya banyak cerita.
Seperti mbak Lala yang pernah kuceritakan di postingan sebelum ini.

Seperti mbak-mbak berkerudung panjang yang kutemui di ruang tunggu ICU. Yang bercerita tentang paru-paru ibunya yang terendam air. Yang mengatakan kalau usianya sudah 39 tahun walaupun aku bersikukuh bahwa ia masih terlihat sangat muda dan aku mengira usianya masih 28-an.  Yang menceritakan pengalamannya dan menasihatiku untuk mulai memikirkan masalah jodoh dari sekarang. Yang mengatakan bahwa ia sangat bersyukur memiliki suami yang sangat sabar dan mampu mengimbangi sifatnya yang keras.

Seperti mas-mas pramusaji yang biasa mengantar makanan ke kamar Papa. Yang membangunkanku saat aku tertidur di selasar rumah sakit. Yang dengan sangat ramah menyapaku setiap kali kami berpapasan. Yang menanyakan banyak hal mulai dari umur, pendidikan, pekerjaan, sampai mempertanyakan apakah aku sudah punya pacar.

Seperti mas-mas yang tempat tidurnya di depan tempat tidur Papa. Yang bercerita bahwa ia menderita infeksi radang tenggorokan. Ia yang berasal dari Cirebon dan tidak punya keluarga di Jakarta sehingga ia harus sendirian di rumah sakit. Yang cukup kesulitan untuk ke kamar mandi karena harus membawa tiang infus sendiri. Yang sudah pernah menikah namun bercerai di usia yang masih sangat muda.

8 Des 2015

Belajar Dari Mbak Lala

"Mbak, bapaknya sakit apa?"

"Stroke ama ginjal," jawab perempuan berkerudung panjang itu.

Itulah awal mula perkenalanku dengan mbak Lala, teman baruku di rumah sakit.

Mbak Lala menjaga ayahnya yang berusia 74 tahun bernama Bapak Syamsudin. Walaupun sesekali bergantian jaga dengan sang adik, tapi mbak Lala lah yang paling sering menjaga. Tempat tidur Papa di rumah sakit bersebelahan dengan pak Syamsudin, sehingga membuat aku dan mbak Lala sering bertukar cerita.

Dari mbak Lala aku mengetahui kalau ayahnya adalah pensiunan Pertamina yang dulunya bekerja di kapal. Saat masih muda, Pak Syamsudin sering dengan sengaja menaikkan tekanan darahnya supaya diijinkan turun kapal. Setelah berhasil membuat tekanan darahnya tinggi, Pak Syamsudin diperbolehkan turun ke darat untuk berobat ke rumah sakit, kemudian ia akan naik kapal lagi setelah tekanan darahnya kembali normal. Inilah yang sering dilakukan Pak Syamsudin setiap kali ia ingin turun ke darat. Suatu tindakan yang memberikan dampak buruk di masa tuanya. Beliau sudah sering terkena stroke, dan kini ditambah lagi ginjal yang tak lagi berfungsi yang menyebabkan ia harus cuci darah 2x seminggu.

Dan yang ingin kuceritakan di sini adalah tentang rasa kagumku pada mbak Lala yang dengan sangat sabar dan telaten merawat ayahnya.

Well, penderita stroke biasanya emosian dan cepat marah. Begitu juga dengan Pak Syamsudin. Walaupun ia hanya terbaring di tempat tidur dan tidak bisa menggerakkan tangan atau kakinya, Pak Syamsudin masih bisa marah. Beliau akan mengerang tiap kali merasakan sesuatu yang tidak membuatnya nyaman, seperti perawat yang menusukkan jarum suntik ke tangannya ataupun perawat yang membersihkan kerongkongannya dengan menggunakan selang. Untuk kegiatan membersihkan kerongkongan ini tak jarang mbak Lala ikut turun tangan.

"Maaf yaa Pap, maaf banget. Buka dong mulutnya. Sebentar lagi selesai kok. Maaf ya Pap," ujar mbak Lala sembari menyemprotkan selang.

Tidak hanya itu, mbak Lala juga sering mengajak ayahnya ngobrol, walaupun sang ayah tidak lagi bisa memberi respon terhadap apa yang mbak Lala katakan.

"Hallo Pap, Assalamu'alaikum", itulah sapaan yang biasa digunakan mbak Lala kepada ayahnya sesaat ia tiba di rumah sakit.

"Pap, bangun. Jangan tidur terus. Nih pacarnya dateng nih," kata mbak Lala kepada ayahnya ketika sang ibu datang menjenguk.

Apa yang mbak Lala ucapkan atau caranya berbicara dengan sang ayah sering membuatku senyum-senyum sendiri. Caranya memperlakukan ayahnya dengan sangat manis benar-benar membuatku salut. Ia selalu menyapa ayahnya dengan senyum, lembut, dan sayang. Walaupun penyakit yang diderita Pak Syamsudin tidak dapat dikatakan sebagai penyakit ringan, tetapi mbak Lala tetap tersenyum menghadapi ayahnya.

Itulah sebabnya aku senantiasa menjadi penonton setia tiap kali mbak Lala berinteraksi dengan Pak Syamsudin.

Tidak hanya itu, Ibu Syamsudin juga memperlakukan suaminya dengan sangat baik. Ibu pyang hanya selisih umur 2 tahun lebih muda dari si bapak akan duduk di samping tempat tidur. Lalu tangannya akan mengelus-ngelus kepala suaminya itu dengan lembut.

"Yang kuat ya, Pap. Yang sabar.." ucap Ibu Syamsudin tiap kali suaminya marah atau rewel. Dan ajaibnya, si Bapak akan dengan mudah reda dan kembali kalem setelah si Ibu mengatakan hal itu.

Ini benar-benar pemandangan yang membuatku terenyuh. Inilah yang namanya the power of love, dan dalam kasus ini istilah itu tidak lagi terdengar bullshit.

Mbak Lala dan Ibu Syamsudin secara tidak langsung mengajarkan padaku cara memperlakukan orang sakit dengan baik, mengajarkan bagaimana caranya memberi support dan semangat kepada yang sedang sakit. Menurutku ini adalah bagian yang paling sulit, tetap tersenyum di depan orang yang kita khawatirkan keadaannya. Pretend to be okay is never easy. Terlebih aku tipikal yang buruk dalam berpura-pura. Tapi mbak Lala dan Ibunya bisa melakukan hal itu dengan sangat baik.

Aku percaya bahwa apapun yang kita lihat, baik ataupun buruk, sejatinya adalah pengingat untuk diri sendiri. Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi di masa depan, dan selalu ada kemungkinan untuk kita berada di posisi orang lain yang dulu mungkin pernah kita lihat.

Perkenalanku dengan mbak Lala mungkin adalah salah satu cara Tuhan mengingatkanku tentang bagaimana cara merawat dan menjaga Mama Papa dengan baik. Apalagi kalau mengingat sifatku yang tidak sabaran dan cukup emosional. Ehehehe.

Sekarang tiap kali melihat mbak Lala dengan ayahnya, aku seolah mendengar bisikan, "Masih mau ngelawan, ngedumel, marah-marah sama orang tua? Tuh liat ada anak yang lebih bisa memperlakukan orang tuanya dengan baik,"

Rasanya kayak digampar bolak-balik.

Ah, makasih banyak mbak Lala karena sudah secara tidak langsung memberi contoh dan mengingatkanku untuk selalu berbakti pada orang tua. Semoga Pak Syamsudin lekas sembuh. Amin

5 Des 2015

Mati

Malam kedua di lorong ruang ICU.

Sejak menempati lorong ini dari kemarin sore, sudah ada 3 pasien yang meninggal di sini. Tampaknya malaikat maut sedang sangat sibuk menjalankan tugasnya. Di tempat yang sama, 3 kehidupan telah diambil dalam waktu kurang dari 24 jam. Debaran jantung, kecemasan, kegelisahan, mencuat dari diri kami -keluarga pasien- setiap kali telepon di lorong ini berdering. Telepon dari perawat ruang ICU yang ingin menyampaikan kabar baik ataupun kabar buruk.

Di sebuah blog pribadi seorang dokter yang pernah kubaca, kematian bagi para pekerja medis adalah hal biasa yang mereka temui. Mengutip kalimat dari dokter tersebut, ia mengatakan bahwa mati sepasti inti matahari yang berfusi.

Kalimat yang sangat kusukai.

4 Des 2015

An Uphill Battle

Mungkin ini adalah malam yang paling berat.
Ketika melihat lelaki yang paling kuat dan tegar yang pernah kukenal, menangis pilu di dalam pelukan orang-orang yang ia cintai.
Ketika detik yang berdetak seolah menjadi kesempatan terakhir untuk bercerita, tertawa, atau hanya untuk sekadar bertatap muka.
Ketika rasa takut kehilangan berada di titik tertinggi dan doa-doa baik mengalir tiada henti.
Ketika menyadari bahwa manusia adalah selemah-lemahnya makhluk yang tidak akan pernah bisa menentukan hidup dan mati.

Lets do our best, Pa. Setelah itu biarkan Tuhan mengerjakan bagiannya. Konon katanya, selain ilmu syukur, di dunia ini kita juga harus mempelajari ilmu ikhlas. Be tougher. Be brave. You should through it well, then I'll keep my promise to write down your stories here.

Warmest hug,
Your little daughter.