28 Agu 2013

R, Aku Menyukainya


Aku menyukainya, urutan ke delapan belas pada alphabet.

Huruf R.

Aku menyukainya seperti aku menyukai sebuah nama, yaitu Raka. Huruf pertama yang ada pada namaku juga. Aku suka, karena dua huruf yang sama bersanding sempurna.

Dulu aku pernah membeli sebuah gantungan ponsel berhuruf R. Tidak perlu repot-repot seperti wanita lain yang harus membeli 2 huruf berbeda (namanya dan pasangannya), aku cukup membeli satu huruf yang bisa mewakili nama kami berdua.

Gantungan dengan hiasan 2 buah dadu berwarna merah dan putih yang senantiasa menemani. Dadu itu selalu mengingatkanku pada apa yang pernah Raka katakan.
“Kita harus melihat dunia seperti kita melihat dadu. Jangan melihat dari satu sisi, karena mungkin ada sisi lain yang tidak berada tepat di depan pandangan kita. Sejahat apapun seseorang, kita harus percaya bahwa ada sisi baik dalam diri mereka,” ucapnya.
Gantungan dengan huruf R di ujungnya yang sering kuputar-putar ketika aku bosan. Tidak protes pada apapun yang kulakukan. Termasuk ketika kupindah-pindah dari ponsel yang satu ke ponsel yang lainnya. Menjadi objek yang bisa kupandangi berlama-lama. Mengagumi setiap lekukan yang akhirnya membentuk satu huruf kesukaan.

24 Agu 2013

Pindah

gambar dipinjam di sini. terima kasih
Pindah.

Segala sesuatu yang disebut ‘pindah’, apapun jenisnya, bukan merupakan perkara mudah. Mulai dari pindah rumah, pindah tempat kerja, pindah sekolah, pindah agama, pindah hati, dan berbagai macam jenis ‘pindah’ lainnya.

Saya sendiri sudah mengalami berbagai jenis pindah. Mulai dari pindah rumah, pindah sekolah, dan juga pindah hati.

Yang saya tau, ketika kita pindah (karena keinginan, keharusan, atau paksaan), akan selalu ada sisi diri yang berusaha untuk bertahan. Keinginan untuk tetap tinggal. Hasrat untuk tetap berada pada situasi dan kondisi yang sudah ada.

Karena apa?

Karena manusia selalu memiliki rasa takut untuk menghadapi segala sesuatu yang baru. Kekhawatiran dan kecemasan akan selalu ada dalam diri kita ketika kita akan pindah. Hanya saja, kadar ketakutan setiap orang tentunya berbeda-beda.

Banyak dugaan-dugaan yang kita pikirkan tentang ‘tempat kita yang baru’ setelah pindah. Takut kurang nyaman, takut tidak betah, takut jika tempat yang baru lebih buruk dari tempat yang lama, dan masih banyak lagi hal-hal negatif yang kita perkirakan akan terjadi setelah kita pindah.

Cerpen: Aku Pulang (Part 2)

Setiap sudut kota ini mengingatkanku pada Raka. Bukan masalah aku pernah ke tempat itu bersamanya atau tidak, namun yang lebih aku ingat adalah bahwa aku dan Raka saat ini berada di kota yang sama. Jarak ratusan kilometer yang dulu membentang, sekarang sudah menghilang. Kami sudah menghirup udara yang sama, melihat birunya langit yang senada, merasakan cuaca yang juga tidak berbeda. Peluang kami untuk bertemu harusnya lebih besar, ya kan?

Selama di sini aku lebih menajamkan pandangan. Aku lebih sering keluar rumah. Ya siapa tau ketemu Raka di jalan. Oke, ini namanya ngarep banget.

Hingga suatu pagi aku memutuskan untuk lari-lari kecil atau istilah kerennya adalah jogging. Tidak bisa dikatakan jogging juga sih, karena kenyataannya aku jalan, bukan lari. Perjalananku pun terhenti di depan gerobak penjual bubur ayam kesukaanku dulu.

Mari kita buktikan, apakah bubur ayam ini masih kusuka sampai saat ini?

Sebenarnya aku agak kesulitan memberi nilai pada bubur ayam tersebut. Bagaimana aku bisa tau rasanya berbeda atau tidak kalau aku sudah lupa pada rasa bubur ayam yang lama? Menyerah untuk memberi penilaian pada si bubur ayam, akhirnya aku hanya mengaduk-aduk bubur di mangkuk itu.

Aku jadi ingat bahwa Raka tidak suka bubur ayam.  Jangankan bubur ayam, dia pun tidak suka makan nasi yang terlalu lembek. Enek, begitu katanya.

Kemudian bubur yang tinggal separuh itu kubiarkan begitu saja. Dulu aku memang suka bubur ayam. Tapi sekarang tidak lagi. Mungkin karena aku sudah terlalu lama tidak memakannya. Ternyata apa yang kita suka bisa berubah seiring berjalannya waktu.

12 Agu 2013

Cerpen: Aku Pulang (Part 1)

gambar dipinjam di sini. terima kasih.
Aku pulang.

Akhirnya, aku berada di sini lagi. Sebuah kota yang kutinggalkan beberapa tahun lalu dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah untuk melupakan kenangan.

Udara sejuk seketika menyapu tubuh ketika kakiku menjejaki aspal di sebuah tepian jalan. Ya, para supir bus memang sudah biasa menjadikan perempatan ini sebagai tempat pemberhentian.  Beberapa orang yang tadi satu bus denganku tampaknya sangat bahagia karena ada keluarga ataupun saudara yang menjemput mereka, menunggu kedatangannya.

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka lima. Suasana sore menjelang tibanya waktu berbuka puasa itu sangat ramai. Dua polisi cilik terlihat sedang sibuk mengatur kendaraan yang melintas di perempatan sembari meniup-niup peluitnya. Tongkat lampu berwarna merah di tangan kanan mereka gerakkan untuk mentertibkan para pengguna jalan. Aku menghembuskan nafas panjang. Ternyata berapa lama pun aku meninggalkan kota ini, suasananya akan selalu sama. Seperti yang dulu pernah kurasa.

2 Agu 2013

Untuk Ibu, Idola Nomor Satu

gambar dipinjam di sini. trims.

Fenomena apapun yang terjadi di sekitarmu adalah peringatan untuk dirimu sendiri, itu yang aku percaya. Seperti halnya ketika salah satu sahabatku kehilangan ibunda tercinta.

Tapi sebelumnya, ijinkan aku untuk berjanji pada diri sendiri agar tidak menangis selagi mengetik tulisan ini.


Jika ditanya, siapa orang yang paling kamu cinta?

Jawabanku adalah mama. Aku pun sangsi, apakah ada anak yang tidak mencintai ibunya? Karena menurutku, ibu adalah idola anak nomor satu di seluruh dunia.

Apa yang tidak pernah dilakukan ibu untukmu?

Jawabanku adalah tidak ada. Ia akan melakukan apa saja untuk anak-anaknya, untuk keluarganya. Bahkan jika harus mengorbankan nyawa sekalipun, ia tidak akan ragu.

Apa kamu pernah durhaka kepada ibumu?

Jawabanku adalah iya. Setiap anak pasti pernah membantah ibunya. Baik yang disengaja ataupun tidak. Aku pun begitu. Sesaat aku lupa pada semua pengorbanan yang dilakukannya untukku. Seringnya nada suaraku meninggi tiap kali aku tidak sependapat dengannya. Sesekali amarahku membersit di hati tiap kali ibu tidak merestui apa yang aku inginkan.

1 Agu 2013

Kerja Apa Ya?

gambar dipinjam di sini . trims
Menyandang status sebagai mahasiswa tingkat atas (jangan sebut tua!), akhirnya membuat saya berpikir, "mau kemana setelah ini?". Dan saya yakin, ribuan mahasiswa tingkat atas lainnya juga memikirkan hal yang sama seperti saya. 

Mau kemana? Mau jadi apa? Mau kerja di mana? Kerja apa nikah dulu ya? *eh

Dulu saya pikir jadi dokter itu yang paling enak. Tapi ternyata dokter itu di masa depan 90% kehidupannya di rumah sakit. Dan menurut saya, pekerjaan yang memaksa kita berada di satu tempat yang sama dalam jangka waktu yang lama adalah pekerjaan yang membosankan. Walaupun duitnya banyak sih.

Selain dokter, dulu saya pikir jadi pengacara itu juga keren. Tapi setelah melihat pengacara-pengacara di tipi, yang banyak kena kasus suap sana sini, pengacara udah gak keren lagi di mata saya. Jadi pengacara itu serba salah. Kalau jujur kehidupan terancam. Gak jujur lebih terancam.

Tapi kalau ditanya keinginan pribadi, tentang profesi apa yang saya inginkan di masa depan, jawabannya adalah arsitek! Ya, saya mahasiswa ilmu komunikasi yang pengen jadi arsitek! Gak nyambung sama sekali memang.